"Jasmine?"
Aku memeluk tangan tua yang masih berkharisma itu. Beliau tersenyum. Di belakangku, aroma maskulin blue ocean menggodaku. Dia di belakangku. Bahkan sekarang berdiri sejajar denganku. Dekat disampingku. Sampai merontokkan seluruh sendi-sendi sadarku. Aku ingin teriak lantang tapi tak bisa bersuara.
        "Kok kebetulan, ya? Jasmine kamu ada pekerjaan di kampus ini?"
Aku tersenyum malu-malu saat sadar masih memakai stelan blazer hitam dan stiletto hitam bertumit di siang-siang bolong di tengah kampus. Aku lupa ganti kostum di mobil yang ku parkir di parkiran depan kampus.
        "Saya selesai interview live di balai kota, prof."
Profesor Ken mengangguk bangga.
        "Ini saya mau meeting dengan anak saya, Sabda."
Aku tersengat ribuah watt. Anaknya?Manusia sempurna yang selama ini mengisi ruang-ruang hampa di hatiku selama 10 tahun ini, anak Profesor Ken? Kenapa aku tak pernah tahu? Aku memang tidak begitu memperhatikan keluarga Profesor Ken, kecuali hanya tahu istri beliau yang sangat ramah dan beliau punya seorang putra yang memilih tinggal mandiri selama kuliah. Aku tak pernah tahu. Melihat foto keluarganya pun tak pernah, karena aku bukan orang yang sibuk mengorek-ngorek pribadi seseorang.
        "Jasmine,ini anak saya, Sabda. Kamu kenal, kan?"
Aku terpaku tak bisa bergerak. Aku belum mengenalnya langsung. Tapi aku sangat mengenali semua tentangnya.
        "Sudah kenal saya, Ayah. Jasmine, temennya Regi."