Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Winning Mindset Generasi Z: antara Ambisi, Etika, dan Tantangan Kegagalan

10 September 2024   23:42 Diperbarui: 10 September 2024   23:48 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai kesimpulan, sejauh mana winning mindset mendorong Generasi Z untuk tetap etis bergantung pada bagaimana pola pikir ini dibentuk dan dipraktikkan. Generasi Z memerlukan panduan moral yang kuat agar dapat mencapai tujuan mereka tanpa mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan integritas. Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant, “Act only according to that maxim whereby you can, at the same time, will that it should become a universal law.” Kata-kata ini mengingatkan bahwa tindakan kita harus mampu diterapkan secara universal, memastikan bahwa cara mencapai tujuan kita tetap berlandaskan prinsip-prinsip etika yang dapat diterima oleh semua.

Pertanyaan Kritis #5: Apakah Winning Mindset Mampu Bertahan dalam Menghadapi Kegagalan dan Ketidakpastian, ataukah Memerlukan Penyesuaian Konsep untuk Tetap Relevan bagi Generasi Z?

Winning mindset sering kali diasosiasikan dengan ketangguhan, daya juang, dan tekad untuk mencapai tujuan, tetapi ketika dihadapkan dengan kegagalan dan ketidakpastian, konsep ini memerlukan penyesuaian agar tetap relevan bagi Generasi Z. Winning mindset pada dasarnya berfokus pada keberhasilan dan pencapaian, sehingga bisa menimbulkan risiko saat individu harus berhadapan dengan kegagalan yang berulang atau keadaan yang tidak menentu. Generasi Z yang memegang teguh pola pikir ini perlu belajar untuk memandang kegagalan bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Penyesuaian konsep winning mindset yang memasukkan elemen ketangguhan dan kemampuan untuk bangkit dapat membantu mereka melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk berkembang (Dweck, 2017).

Untuk menghadapi ketidakpastian, winning mindset perlu berkembang menjadi pola pikir yang lebih fleksibel, di mana kemampuan untuk beradaptasi menjadi kunci. Di dunia yang terus berubah dengan cepat, Generasi Z perlu memiliki strategi yang tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses yang berkelanjutan. Ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian, seperti perubahan karir yang tak terduga atau dinamika ekonomi global, winning mindset yang terlalu kaku bisa membuat individu merasa gagal jika mereka tidak segera mencapai tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, penyesuaian konsep winning mindset dengan menambahkan elemen adaptabilitas memungkinkan Generasi Z untuk menavigasi perubahan dengan lebih baik, tetap termotivasi, dan menyesuaikan strategi mereka sesuai keadaan (Hollingworth & McLellan, 2016).

Kegagalan sering kali menjadi ujian sejati bagi winning mindset. Pola pikir ini bisa kehilangan relevansinya jika tidak disertai dengan kesiapan mental untuk menghadapi kegagalan. Generasi Z perlu mengembangkan apa yang disebut sebagai "grit" atau ketabahan—kemampuan untuk tetap bertahan dan bekerja keras meskipun menghadapi kesulitan. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki grit cenderung lebih berhasil dalam jangka panjang karena mereka tidak mudah menyerah saat menghadapi rintangan. Mereka mampu mempertahankan semangat dan motivasi bahkan ketika gagal, yang menunjukkan bahwa winning mindset yang dipadukan dengan ketabahan bisa menjadi kombinasi yang kuat (Duckworth, 2016).

Selain itu, penting bagi Generasi Z untuk mengubah persepsi mereka terhadap kegagalan dengan menganggapnya sebagai umpan balik yang berharga, bukan sebagai bukti ketidakmampuan. Winning mindset yang telah diadaptasi untuk menerima kegagalan dapat membantu mereka mempelajari apa yang tidak berhasil dan membuat perbaikan yang diperlukan. Dengan cara ini, kegagalan menjadi bagian integral dari pertumbuhan, bukan hambatan yang harus dihindari. Generasi Z yang mengembangkan pendekatan ini akan lebih siap untuk menghadapi ketidakpastian dan tetap percaya diri dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan jangka panjang (Sheldon et al., 2019).

Kesimpulannya, winning mindset memerlukan penyesuaian agar tetap relevan di tengah kegagalan dan ketidakpastian. Pola pikir ini harus digabungkan dengan fleksibilitas, ketabahan, dan kemauan untuk belajar dari kegagalan agar Generasi Z dapat terus maju tanpa kehilangan motivasi. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Friedrich Nietzsche, “That which does not kill us makes us stronger.” Kata-kata ini menekankan bahwa pengalaman pahit, termasuk kegagalan, adalah kesempatan untuk memperkuat diri dan tumbuh menjadi lebih baik, bukan alasan untuk menyerah.

Kesimpulan

Winning mindset bagi Generasi Z bukan sekadar pola pikir yang mendorong mereka untuk meraih keberhasilan, tetapi merupakan fondasi yang memampukan mereka menghadapi tantangan dengan keberanian, ketahanan, dan fleksibilitas. Dalam konteks dunia yang dinamis dan penuh persaingan, winning mindset tidak hanya membentuk cara pandang Generasi Z terhadap kesuksesan, tetapi juga bagaimana mereka merespons kegagalan dan ketidakpastian. Winning mindset yang sehat mengintegrasikan ambisi dengan keseimbangan etis, mendorong kolaborasi di tengah persaingan, serta memupuk ketangguhan dalam menghadapi kesulitan. Namun, penting bagi Generasi Z untuk terus mengembangkan versi winning mindset yang adaptif, yang mengakui nilai proses, menerima kegagalan sebagai pelajaran, dan menempatkan integritas di atas segala pencapaian (Dweck, 2017; Duckworth, 2016). Dengan demikian, winning mindset yang berimbang mampu menjadi kunci bagi Generasi Z untuk mencapai kesuksesan sejati—yang tidak hanya terukur dari hasil, tetapi juga dari cara mereka bertumbuh menjadi pribadi yang bijaksana, tangguh, dan beretika. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” Kata-kata ini menekankan bahwa kesuksesan tidak datang dari hasil sesaat, melainkan dari pola pikir dan tindakan konsisten yang dijalankan dengan penuh ketekunan dan nilai-nilai luhur.

Referensi

Bazerman, M. H., & Tenbrunsel, A. E. (2011). Blind Spots: Why We Fail to Do What’s Right and What to Do about It. Princeton University Press.

Deloitte. (2021). Global Human Capital Trends 2021: The Social Enterprise in a World Disrupted. Deloitte Insights.

Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun