Selain itu, winning mindset yang berfokus pada hasil akhir sering kali menciptakan justifikasi moral yang berbahaya, di mana tujuan dianggap lebih penting daripada cara mencapainya. Dalam situasi seperti ini, Generasi Z mungkin mengembangkan pandangan bahwa jika tujuan tercapai, maka segala cara yang dilakukan menjadi sah.
Pendekatan ini tidak hanya mengikis nilai-nilai kejujuran, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang toksik di mana praktik-praktik tidak etis dianggap normal atau bahkan diperlukan.
Dengan demikian, winning mindset tanpa keseimbangan etis dapat merusak integritas pribadi dan profesional, yang pada akhirnya berisiko menurunkan kualitas kepemimpinan masa depan (Treviño & Nelson, 2017).
Namun, tidak semua pengaruh winning mindset pada etika bersifat negatif. Ketika Generasi Z dibekali dengan pendidikan etis yang kuat, winning mindset justru dapat menjadi kekuatan pendorong untuk menavigasi tantangan dengan cara-cara yang lebih bermoral.
Mereka yang memiliki kesadaran etis yang baik cenderung menilai kesuksesan tidak hanya dari pencapaian tetapi juga dari bagaimana cara mereka mencapai tujuan tersebut. Winning mindset dapat mendorong mereka untuk bertindak dengan tanggung jawab sosial, mengutamakan integritas dalam pengambilan keputusan, dan memprioritaskan keadilan dalam setiap langkah mereka (Gino & Margolis, 2011).
Sebagai kesimpulan, sejauh mana winning mindset mendorong Generasi Z untuk tetap etis bergantung pada bagaimana pola pikir ini dibentuk dan dipraktikkan. Generasi Z memerlukan panduan moral yang kuat agar dapat mencapai tujuan mereka tanpa mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan integritas.
Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant, “Act only according to that maxim whereby you can, at the same time, will that it should become a universal law.” Kata-kata ini mengingatkan bahwa tindakan kita harus mampu diterapkan secara universal, memastikan bahwa cara mencapai tujuan kita tetap berlandaskan prinsip-prinsip etika yang dapat diterima oleh semua.
Pertanyaan Kritis #5: Apakah Winning Mindset Mampu Bertahan dalam Menghadapi Kegagalan dan Ketidakpastian, ataukah Memerlukan Penyesuaian Konsep untuk Tetap Relevan bagi Generasi Z?
Winning mindset sering kali diasosiasikan dengan ketangguhan, daya juang, dan tekad untuk mencapai tujuan, tetapi ketika dihadapkan dengan kegagalan dan ketidakpastian, konsep ini memerlukan penyesuaian agar tetap relevan bagi Generasi Z. Winning mindset pada dasarnya berfokus pada keberhasilan dan pencapaian, sehingga bisa menimbulkan risiko saat individu harus berhadapan dengan kegagalan yang berulang atau keadaan yang tidak menentu.
Generasi Z yang memegang teguh pola pikir ini perlu belajar untuk memandang kegagalan bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Penyesuaian konsep winning mindset yang memasukkan elemen ketangguhan dan kemampuan untuk bangkit dapat membantu mereka melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk berkembang (Dweck, 2017).
Untuk menghadapi ketidakpastian, winning mindset perlu berkembang menjadi pola pikir yang lebih fleksibel, di mana kemampuan untuk beradaptasi menjadi kunci.
Di dunia yang terus berubah dengan cepat, Generasi Z perlu memiliki strategi yang tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses yang berkelanjutan. Ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian, seperti perubahan karir yang tak terduga atau dinamika ekonomi global, winning mindset yang terlalu kaku bisa membuat individu merasa gagal jika mereka tidak segera mencapai tujuan yang diinginkan.