Ketika winning mindset diinternalisasi secara ekstrem, hal ini bisa berujung pada stres kronis, kecemasan, dan burnout. Kondisi ini disebabkan oleh tuntutan untuk terus meningkatkan diri tanpa jeda, sehingga mengorbankan waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri (Luthans, Luthans, & Luthans, 2021).
Salah satu dampak negatif dari winning mindset yang tidak seimbang adalah kecenderungan menuju perfeksionisme. Generasi Z, yang sering kali terpapar standar kesempurnaan dari berbagai platform digital, dapat merasa bahwa mereka harus selalu berhasil dalam setiap aspek kehidupan.
Perfeksionisme ini bukan hanya memengaruhi produktivitas, tetapi juga kesehatan mental, karena mereka terus merasa bahwa usaha mereka tidak pernah cukup. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa perfeksionisme yang berlebihan dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan rasa tidak berharga ketika harapan yang tinggi tersebut tidak tercapai (Flett & Hewitt, 2022).
Lebih lanjut, winning mindset yang berfokus pada pencapaian eksternal sering kali mengabaikan pentingnya kesejahteraan emosional dan keseimbangan hidup. Generasi Z mungkin merasa terdorong untuk terus-menerus berkompetisi, bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan diri mereka sendiri.
Ketika keseimbangan antara ambisi dan kesehatan mental tidak dijaga, mereka rentan terhadap kelelahan emosional dan kehilangan motivasi. Burnout pada usia muda dapat mengganggu perkembangan karier dan kesejahteraan jangka panjang, serta mempengaruhi hubungan sosial dan kualitas hidup secara keseluruhan (Maslach & Leiter, 2016).
Penting untuk diakui bahwa winning mindset juga memiliki sisi paradoks. Di satu sisi, pola pikir ini dapat mendorong seseorang untuk mencapai hal-hal besar, namun di sisi lain, ia juga bisa memunculkan perasaan tidak pernah puas dan terus mencari validasi eksternal.
Generasi Z perlu diajarkan untuk membedakan antara usaha yang sehat untuk berkembang dan tekanan yang merugikan diri sendiri. Pendekatan ini membutuhkan kesadaran akan batasan diri dan penekanan pada self-compassion, di mana kegagalan dianggap sebagai bagian dari proses belajar, bukan sebagai cerminan kegagalan personal yang absolut (Neff, 2011).
Sebagai kesimpulan, meskipun winning mindset dapat menjadi pendorong penting bagi pencapaian, keseimbangan antara ambisi dan kesehatan mental adalah kunci untuk menghindari dampak negatifnya. Generasi Z perlu belajar bahwa kesuksesan tidak selalu berarti menang di semua lini, tetapi juga mencakup kemampuan untuk beristirahat, menerima ketidaksempurnaan, dan tetap berbahagia di tengah segala pencapaian dan tantangan.
Seperti kata filsuf Lao Tzu, “He who knows that enough is enough will always have enough.” Dengan memahami batasan dan kebutuhan diri, Generasi Z dapat mengelola winning mindset secara lebih sehat dan berkelanjutan.
Pertanyaan Kritis #3: Dalam Konteks Sosial yang Kompleks dan Kompetitif, apakah Winning Mindset Mendorong Kolaborasi atau Justru Memperkuat Individualisme di Kalangan Generasi Z?
Winning mindset dapat memiliki dua dampak yang berbeda terhadap perilaku Generasi Z dalam konteks sosial yang kompleks dan kompetitif: di satu sisi, ia dapat mendorong kolaborasi, namun di sisi lain, juga berpotensi memperkuat individualisme. Generasi Z hidup dalam dunia yang sangat terhubung, dengan teknologi digital yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama melintasi batasan geografis dan budaya.
Winning mindset dalam konteks ini bisa menjadi pendorong kolaborasi, terutama ketika mereka diarahkan untuk mencapai tujuan bersama, seperti dalam proyek kelompok, inisiatif sosial, atau kolaborasi di tempat kerja yang mengedepankan keberhasilan tim daripada pencapaian individu semata (Deloitte, 2021).