Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Winning Mindset Generasi Z: antara Ambisi, Etika, dan Tantangan Kegagalan

10 September 2024   23:42 Diperbarui: 10 September 2024   23:48 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://scherlund.blogspot.com/2019/06/what-everyone-should-know-about-about.html)

Pengantar

Winning mindset adalah pola pikir yang mengedepankan sikap positif, ketangguhan, dan fokus pada tujuan, yang memungkinkan individu untuk mengatasi tantangan dan mencapai keberhasilan. Bagi Generasi Z—generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012—winning mindset memainkan peran krusial dalam menghadapi dinamika dunia yang serba cepat dan tidak pasti, terutama dalam bidang pendidikan, karir, dan kehidupan pribadi. Generasi ini dikenal sebagai digital natives yang memiliki akses luas terhadap informasi dan teknologi, namun mereka juga rentan terhadap tekanan sosial, gangguan mental, dan ketidakpastian ekonomi. Dengan mengadopsi winning mindset, Generasi Z dapat membangun rasa percaya diri, ketangguhan mental, dan kemampuan adaptasi yang tinggi, yang semuanya penting untuk menghadapi tantangan hidup sehari-hari dan meraih kesuksesan. Pola pikir ini mendorong mereka untuk tetap fokus pada tujuan, belajar dari kegagalan, dan terus mencari cara untuk berkembang, alih-alih terjebak dalam stagnasi atau ketakutan akan kegagalan (Dweck, 2006; Duckworth, 2016). Konsep ini juga memperkuat kemampuan problem-solving dan pengambilan keputusan yang lebih baik, yang sangat dibutuhkan untuk bersaing di dunia kerja yang kompetitif dan sering berubah. Sehingga, winning mindset tidak hanya menjadi fondasi penting bagi pengembangan diri Generasi Z, tetapi juga menjadi alat strategis untuk memastikan keberhasilan jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan.

Setelah memahami pentingnya winning mindset bagi Generasi Z dalam pengantar yang telah diuraikan, kita perlu menggali lebih dalam untuk mengeksplorasi berbagai dimensi yang mempengaruhi efektivitas dan dampaknya. Winning mindset tidaklah sesederhana dorongan untuk meraih kesuksesan; ia melibatkan aspek-aspek kompleks yang perlu ditelusuri dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan filosofis. Melalui serangkaian pertanyaan ini, kita dapat mengkaji lebih jauh bagaimana pola pikir ini mempengaruhi cara Generasi Z memaknai kesuksesan, menghadapi tekanan, berkolaborasi, mempertahankan etika, dan bertahan dalam menghadapi kegagalan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa kita pada refleksi yang lebih mendalam tentang apakah winning mindset benar-benar menjadi landasan yang kokoh bagi Generasi Z, atau apakah diperlukan penyesuaian konsep untuk menjadikannya lebih relevan dan seimbang di tengah tantangan kehidupan yang dinamis. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang winning mindset tetapi juga mendorong refleksi yang kritis terhadap bagaimana Generasi Z dapat membentuk pola pikir yang tidak hanya membawa mereka menuju kemenangan, tetapi juga kehidupan yang lebih bermakna dan autentik.

Pertanyaan Kritis #1: Bagaimana Winning Mindset Mempengaruhi Cara Generasi Z Memahami Makna Kesuksesan dalam Hidup?

Winning mindset mempengaruhi cara Generasi Z memahami kesuksesan dengan membentuk pandangan bahwa keberhasilan adalah hasil dari usaha, ketekunan, dan kemampuan mengatasi kegagalan. Pola pikir ini menekankan pada proses belajar yang terus menerus dan dorongan untuk memperbaiki diri, bukan hanya pencapaian akhir. Bagi Generasi Z, yang tumbuh di era digital dengan akses instan ke informasi dan pembandingan sosial melalui media sosial, winning mindset dapat menjadi pedoman untuk menavigasi berbagai tekanan eksternal yang sering kali mendikte standar kesuksesan. Mereka diajak untuk fokus pada pertumbuhan pribadi dan penemuan jati diri daripada hanya mengejar validasi eksternal (Dweck, 2006).

Namun, ada dinamika kompleks dalam penerapan winning mindset terhadap konsep kesuksesan bagi Generasi Z. Di satu sisi, pola pikir ini dapat mengarahkan mereka untuk memenuhi standar kesuksesan yang ditetapkan oleh masyarakat, seperti prestasi akademis, pekerjaan bergengsi, atau popularitas di media sosial. Standar-standar ini sering kali didorong oleh ekspektasi sosial yang dapat membuat Generasi Z terjebak dalam kompetisi yang tidak sehat dan merasa selalu harus menang di segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, winning mindset berisiko menjadi beban alih-alih motivasi jika Generasi Z tidak diajarkan untuk mengartikulasikan nilai-nilai kesuksesan yang lebih bermakna bagi diri mereka sendiri (Twenge, 2017).

Sebaliknya, winning mindset juga berpotensi mendorong Generasi Z untuk mengeksplorasi makna kesuksesan yang lebih personal dan autentik. Ketika didasari oleh refleksi diri yang mendalam, pola pikir ini dapat membantu mereka menemukan tujuan hidup yang selaras dengan nilai-nilai pribadi, seperti integritas, kebahagiaan, dan kontribusi kepada masyarakat. Dengan mengutamakan proses belajar dan perkembangan diri, Generasi Z dapat melepaskan diri dari standar kesuksesan yang sempit dan mulai merayakan pencapaian yang lebih beragam dan inklusif. Hal ini memungkinkan mereka untuk memaknai kesuksesan tidak hanya sebagai hasil akhir, tetapi juga sebagai perjalanan yang kaya dengan pembelajaran dan pengalaman (Duckworth, 2016).

Winning mindset juga mempromosikan resilience, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, yang sangat penting dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian. Generasi Z, yang sering kali dihadapkan pada tantangan seperti perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan perubahan teknologi yang cepat, dapat memanfaatkan pola pikir ini untuk terus beradaptasi dan menemukan jalan baru menuju kesuksesan. Dengan menganggap kegagalan sebagai bagian dari proses, Generasi Z dapat membentuk pandangan bahwa kesuksesan adalah perjalanan dinamis yang tidak selalu linear dan bahwa setiap hambatan adalah peluang untuk belajar dan tumbuh lebih kuat (Seligman, 2011).

Sebagai kesimpulan, winning mindset berperan sebagai alat bagi Generasi Z untuk menavigasi hidup dengan lebih percaya diri dan tujuan yang jelas, baik berdasarkan standar sosial maupun personal. Pola pikir ini memungkinkan mereka untuk menantang definisi kesuksesan yang tradisional dan mengukir jalan hidup yang lebih sesuai dengan jati diri mereka. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Albert Camus, “Life is the sum of all your choices.” Generasi Z, dengan winning mindset, didorong untuk membuat pilihan yang tidak hanya membawa mereka pada kemenangan, tetapi juga pada pemenuhan makna hidup yang autentik.

Pertanyaan Kritis #2: Apakah Winning Mindset Selalu Mengarah pada Hasil Positif, atau Dapatkah Pola Pikir ini Menciptakan Tekanan Berlebihan pada Generasi Z?

Winning mindset, meskipun sering dikaitkan dengan hasil positif seperti pencapaian dan ketangguhan, tidak selalu bebas dari dampak negatif. Pola pikir ini dapat menempatkan Generasi Z dalam tekanan berlebihan untuk terus-menerus berprestasi dan menang. Tekanan ini sering diperparah oleh ekspektasi sosial yang tinggi, kompetisi, dan paparan media sosial yang mendorong mereka untuk selalu menunjukkan sisi terbaik dalam hidup mereka. Ketika winning mindset diinternalisasi secara ekstrem, hal ini bisa berujung pada stres kronis, kecemasan, dan burnout. Kondisi ini disebabkan oleh tuntutan untuk terus meningkatkan diri tanpa jeda, sehingga mengorbankan waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri (Luthans, Luthans, & Luthans, 2021).

Salah satu dampak negatif dari winning mindset yang tidak seimbang adalah kecenderungan menuju perfeksionisme. Generasi Z, yang sering kali terpapar standar kesempurnaan dari berbagai platform digital, dapat merasa bahwa mereka harus selalu berhasil dalam setiap aspek kehidupan. Perfeksionisme ini bukan hanya memengaruhi produktivitas, tetapi juga kesehatan mental, karena mereka terus merasa bahwa usaha mereka tidak pernah cukup. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa perfeksionisme yang berlebihan dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan rasa tidak berharga ketika harapan yang tinggi tersebut tidak tercapai (Flett & Hewitt, 2022).

Lebih lanjut, winning mindset yang berfokus pada pencapaian eksternal sering kali mengabaikan pentingnya kesejahteraan emosional dan keseimbangan hidup. Generasi Z mungkin merasa terdorong untuk terus-menerus berkompetisi, bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan diri mereka sendiri. Ketika keseimbangan antara ambisi dan kesehatan mental tidak dijaga, mereka rentan terhadap kelelahan emosional dan kehilangan motivasi. Burnout pada usia muda dapat mengganggu perkembangan karier dan kesejahteraan jangka panjang, serta mempengaruhi hubungan sosial dan kualitas hidup secara keseluruhan (Maslach & Leiter, 2016).

Penting untuk diakui bahwa winning mindset juga memiliki sisi paradoks. Di satu sisi, pola pikir ini dapat mendorong seseorang untuk mencapai hal-hal besar, namun di sisi lain, ia juga bisa memunculkan perasaan tidak pernah puas dan terus mencari validasi eksternal. Generasi Z perlu diajarkan untuk membedakan antara usaha yang sehat untuk berkembang dan tekanan yang merugikan diri sendiri. Pendekatan ini membutuhkan kesadaran akan batasan diri dan penekanan pada self-compassion, di mana kegagalan dianggap sebagai bagian dari proses belajar, bukan sebagai cerminan kegagalan personal yang absolut (Neff, 2011).

Sebagai kesimpulan, meskipun winning mindset dapat menjadi pendorong penting bagi pencapaian, keseimbangan antara ambisi dan kesehatan mental adalah kunci untuk menghindari dampak negatifnya. Generasi Z perlu belajar bahwa kesuksesan tidak selalu berarti menang di semua lini, tetapi juga mencakup kemampuan untuk beristirahat, menerima ketidaksempurnaan, dan tetap berbahagia di tengah segala pencapaian dan tantangan. Seperti kata filsuf Lao Tzu, “He who knows that enough is enough will always have enough.” Dengan memahami batasan dan kebutuhan diri, Generasi Z dapat mengelola winning mindset secara lebih sehat dan berkelanjutan.

Pertanyaan Kritis #3: Dalam Konteks Sosial yang Kompleks dan Kompetitif, apakah Winning Mindset Mendorong Kolaborasi atau Justru Memperkuat Individualisme di Kalangan Generasi Z?

Winning mindset dapat memiliki dua dampak yang berbeda terhadap perilaku Generasi Z dalam konteks sosial yang kompleks dan kompetitif: di satu sisi, ia dapat mendorong kolaborasi, namun di sisi lain, juga berpotensi memperkuat individualisme. Generasi Z hidup dalam dunia yang sangat terhubung, dengan teknologi digital yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama melintasi batasan geografis dan budaya. Winning mindset dalam konteks ini bisa menjadi pendorong kolaborasi, terutama ketika mereka diarahkan untuk mencapai tujuan bersama, seperti dalam proyek kelompok, inisiatif sosial, atau kolaborasi di tempat kerja yang mengedepankan keberhasilan tim daripada pencapaian individu semata (Deloitte, 2021).

Namun, winning mindset juga dapat memicu individualisme, terutama ketika ditanamkan dengan fokus yang berlebihan pada kompetisi dan pencapaian pribadi. Media sosial sering kali memperkuat kecenderungan ini dengan menampilkan kesuksesan individu secara berlebihan, sehingga menciptakan iklim kompetitif yang membandingkan pencapaian personal satu sama lain. Dalam situasi ini, winning mindset dapat membuat Generasi Z lebih fokus pada diri sendiri, berusaha untuk selalu unggul dibandingkan orang lain, yang pada akhirnya dapat memisahkan mereka dari kerja sama tim dan membentuk pola perilaku yang egosentris (Twenge, 2017).

Dalam lingkungan kerja, winning mindset bisa menjadi pedang bermata dua. Sementara banyak organisasi mengapresiasi individu yang memiliki inisiatif dan ambisi, pendekatan yang terlalu individualistis dapat menghambat dinamika tim dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat. Penelitian menunjukkan bahwa kinerja tim yang efektif bukan hanya hasil dari keterampilan individu, tetapi juga dari kemampuan untuk bekerja sama, saling mendukung, dan berbagi pengetahuan. Winning mindset yang tidak dikelola dengan baik bisa membuat anggota tim enggan berbagi informasi karena merasa itu akan mengurangi peluang mereka untuk menonjol atau diakui secara individu (Kahn & Fellows, 2013).

Di sisi lain, jika winning mindset dipahami sebagai upaya untuk meraih keberhasilan bersama dan diterapkan dalam konteks kolaboratif, ia bisa menjadi fondasi yang kuat untuk mendorong kerja sama. Generasi Z yang mampu mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan kelompok cenderung lebih sukses dalam menciptakan sinergi, baik di sekolah, universitas, maupun tempat kerja. Mereka tidak hanya termotivasi oleh pencapaian pribadi tetapi juga melihat nilai dalam kontribusi terhadap keberhasilan bersama, yang pada gilirannya memperkuat hubungan interpersonal dan jaringan sosial yang lebih luas (Hofstede, 2019).

Kesimpulannya, winning mindset memiliki potensi untuk mendukung kolaborasi atau memperkuat individualisme, tergantung pada bagaimana pola pikir ini diterapkan dan diarahkan. Generasi Z perlu belajar untuk menyeimbangkan antara ambisi pribadi dan kontribusi terhadap kesuksesan bersama agar dapat memaksimalkan potensi mereka dalam konteks sosial yang kompleks. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Aristoteles, “Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not accidentally is either beneath our notice or more than human.” Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati sering kali ditemukan dalam hubungan dan kerja sama, bukan hanya dalam pencapaian individu.

Pertanyaan Kritis #4: Sejauh Mana Winning Mindset Mendorong Generasi Z untuk Tetap Etis dalam Mencapai Tujuan Mereka?

Winning mindset berpotensi mempengaruhi cara Generasi Z memandang etika dalam mencapai tujuan mereka. Di satu sisi, winning mindset dapat memotivasi Generasi Z untuk bekerja keras, berinovasi, dan berusaha meraih kesuksesan dengan cara-cara yang etis. Dalam konteks ini, winning mindset tidak hanya sekadar tentang hasil akhir, tetapi juga tentang proses yang dilakukan dengan integritas dan tanggung jawab. Generasi Z yang memiliki pemahaman mendalam tentang etika cenderung melihat bahwa kesuksesan yang berkelanjutan memerlukan komitmen pada nilai-nilai moral, seperti kejujuran dan fair play, yang justru memperkuat reputasi dan hubungan sosial mereka dalam jangka panjang (Dweck, 2017).

Namun, dorongan yang kuat untuk menang juga dapat membawa risiko etis, terutama jika winning mindset diterapkan tanpa panduan moral yang jelas. Generasi Z, yang tumbuh dalam lingkungan yang kompetitif dan sering kali diukur berdasarkan pencapaian, bisa tergoda untuk mengabaikan prinsip-prinsip etis demi mencapai tujuan dengan lebih cepat. Praktik seperti menyontek dalam akademik, memanipulasi data dalam proyek, atau berkompetisi dengan cara yang tidak adil adalah contoh situasi di mana winning mindset bisa merusak nilai-nilai integritas. Studi menunjukkan bahwa tekanan untuk berhasil dapat membuat individu lebih rentan mengambil jalan pintas atau melakukan tindakan tidak etis saat mereka merasa tidak ada jalan lain untuk meraih kemenangan (Bazerman & Tenbrunsel, 2011).

Selain itu, winning mindset yang berfokus pada hasil akhir sering kali menciptakan justifikasi moral yang berbahaya, di mana tujuan dianggap lebih penting daripada cara mencapainya. Dalam situasi seperti ini, Generasi Z mungkin mengembangkan pandangan bahwa jika tujuan tercapai, maka segala cara yang dilakukan menjadi sah. Pendekatan ini tidak hanya mengikis nilai-nilai kejujuran, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang toksik di mana praktik-praktik tidak etis dianggap normal atau bahkan diperlukan. Dengan demikian, winning mindset tanpa keseimbangan etis dapat merusak integritas pribadi dan profesional, yang pada akhirnya berisiko menurunkan kualitas kepemimpinan masa depan (Treviño & Nelson, 2017).

Namun, tidak semua pengaruh winning mindset pada etika bersifat negatif. Ketika Generasi Z dibekali dengan pendidikan etis yang kuat, winning mindset justru dapat menjadi kekuatan pendorong untuk menavigasi tantangan dengan cara-cara yang lebih bermoral. Mereka yang memiliki kesadaran etis yang baik cenderung menilai kesuksesan tidak hanya dari pencapaian tetapi juga dari bagaimana cara mereka mencapai tujuan tersebut. Winning mindset dapat mendorong mereka untuk bertindak dengan tanggung jawab sosial, mengutamakan integritas dalam pengambilan keputusan, dan memprioritaskan keadilan dalam setiap langkah mereka (Gino & Margolis, 2011).

Sebagai kesimpulan, sejauh mana winning mindset mendorong Generasi Z untuk tetap etis bergantung pada bagaimana pola pikir ini dibentuk dan dipraktikkan. Generasi Z memerlukan panduan moral yang kuat agar dapat mencapai tujuan mereka tanpa mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan integritas. Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant, “Act only according to that maxim whereby you can, at the same time, will that it should become a universal law.” Kata-kata ini mengingatkan bahwa tindakan kita harus mampu diterapkan secara universal, memastikan bahwa cara mencapai tujuan kita tetap berlandaskan prinsip-prinsip etika yang dapat diterima oleh semua.

Pertanyaan Kritis #5: Apakah Winning Mindset Mampu Bertahan dalam Menghadapi Kegagalan dan Ketidakpastian, ataukah Memerlukan Penyesuaian Konsep untuk Tetap Relevan bagi Generasi Z?

Winning mindset sering kali diasosiasikan dengan ketangguhan, daya juang, dan tekad untuk mencapai tujuan, tetapi ketika dihadapkan dengan kegagalan dan ketidakpastian, konsep ini memerlukan penyesuaian agar tetap relevan bagi Generasi Z. Winning mindset pada dasarnya berfokus pada keberhasilan dan pencapaian, sehingga bisa menimbulkan risiko saat individu harus berhadapan dengan kegagalan yang berulang atau keadaan yang tidak menentu. Generasi Z yang memegang teguh pola pikir ini perlu belajar untuk memandang kegagalan bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Penyesuaian konsep winning mindset yang memasukkan elemen ketangguhan dan kemampuan untuk bangkit dapat membantu mereka melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk berkembang (Dweck, 2017).

Untuk menghadapi ketidakpastian, winning mindset perlu berkembang menjadi pola pikir yang lebih fleksibel, di mana kemampuan untuk beradaptasi menjadi kunci. Di dunia yang terus berubah dengan cepat, Generasi Z perlu memiliki strategi yang tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses yang berkelanjutan. Ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian, seperti perubahan karir yang tak terduga atau dinamika ekonomi global, winning mindset yang terlalu kaku bisa membuat individu merasa gagal jika mereka tidak segera mencapai tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, penyesuaian konsep winning mindset dengan menambahkan elemen adaptabilitas memungkinkan Generasi Z untuk menavigasi perubahan dengan lebih baik, tetap termotivasi, dan menyesuaikan strategi mereka sesuai keadaan (Hollingworth & McLellan, 2016).

Kegagalan sering kali menjadi ujian sejati bagi winning mindset. Pola pikir ini bisa kehilangan relevansinya jika tidak disertai dengan kesiapan mental untuk menghadapi kegagalan. Generasi Z perlu mengembangkan apa yang disebut sebagai "grit" atau ketabahan—kemampuan untuk tetap bertahan dan bekerja keras meskipun menghadapi kesulitan. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki grit cenderung lebih berhasil dalam jangka panjang karena mereka tidak mudah menyerah saat menghadapi rintangan. Mereka mampu mempertahankan semangat dan motivasi bahkan ketika gagal, yang menunjukkan bahwa winning mindset yang dipadukan dengan ketabahan bisa menjadi kombinasi yang kuat (Duckworth, 2016).

Selain itu, penting bagi Generasi Z untuk mengubah persepsi mereka terhadap kegagalan dengan menganggapnya sebagai umpan balik yang berharga, bukan sebagai bukti ketidakmampuan. Winning mindset yang telah diadaptasi untuk menerima kegagalan dapat membantu mereka mempelajari apa yang tidak berhasil dan membuat perbaikan yang diperlukan. Dengan cara ini, kegagalan menjadi bagian integral dari pertumbuhan, bukan hambatan yang harus dihindari. Generasi Z yang mengembangkan pendekatan ini akan lebih siap untuk menghadapi ketidakpastian dan tetap percaya diri dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan jangka panjang (Sheldon et al., 2019).

Kesimpulannya, winning mindset memerlukan penyesuaian agar tetap relevan di tengah kegagalan dan ketidakpastian. Pola pikir ini harus digabungkan dengan fleksibilitas, ketabahan, dan kemauan untuk belajar dari kegagalan agar Generasi Z dapat terus maju tanpa kehilangan motivasi. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Friedrich Nietzsche, “That which does not kill us makes us stronger.” Kata-kata ini menekankan bahwa pengalaman pahit, termasuk kegagalan, adalah kesempatan untuk memperkuat diri dan tumbuh menjadi lebih baik, bukan alasan untuk menyerah.

Kesimpulan

Winning mindset bagi Generasi Z bukan sekadar pola pikir yang mendorong mereka untuk meraih keberhasilan, tetapi merupakan fondasi yang memampukan mereka menghadapi tantangan dengan keberanian, ketahanan, dan fleksibilitas. Dalam konteks dunia yang dinamis dan penuh persaingan, winning mindset tidak hanya membentuk cara pandang Generasi Z terhadap kesuksesan, tetapi juga bagaimana mereka merespons kegagalan dan ketidakpastian. Winning mindset yang sehat mengintegrasikan ambisi dengan keseimbangan etis, mendorong kolaborasi di tengah persaingan, serta memupuk ketangguhan dalam menghadapi kesulitan. Namun, penting bagi Generasi Z untuk terus mengembangkan versi winning mindset yang adaptif, yang mengakui nilai proses, menerima kegagalan sebagai pelajaran, dan menempatkan integritas di atas segala pencapaian (Dweck, 2017; Duckworth, 2016). Dengan demikian, winning mindset yang berimbang mampu menjadi kunci bagi Generasi Z untuk mencapai kesuksesan sejati—yang tidak hanya terukur dari hasil, tetapi juga dari cara mereka bertumbuh menjadi pribadi yang bijaksana, tangguh, dan beretika. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” Kata-kata ini menekankan bahwa kesuksesan tidak datang dari hasil sesaat, melainkan dari pola pikir dan tindakan konsisten yang dijalankan dengan penuh ketekunan dan nilai-nilai luhur.

Referensi

Bazerman, M. H., & Tenbrunsel, A. E. (2011). Blind Spots: Why We Fail to Do What’s Right and What to Do about It. Princeton University Press.

Deloitte. (2021). Global Human Capital Trends 2021: The Social Enterprise in a World Disrupted. Deloitte Insights.

Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Random House.

Flett, G. L., & Hewitt, P. L. (2022). Perfectionism and maladaptive coping styles in mental health: A critical review. Psychological Review, 129(3), 567-587.

Gino, F., & Margolis, J. D. (2011). Bringing Ethics into Focus: How Financial Incentives Shape Unethical Behavior in the Workplace. Harvard Business Review, 89(11), 52-61.

Hofstede, G. (2019). Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations. Sage Publications.

Hollingworth, L., & McLellan, R. (2016). Mindset, Motivation and Metacognition in Education. Psychology Press.

Kahn, W. A., & Fellows, S. (2013). Employee Engagement and Meaning at Work. Routledge.

Luthans, F., Luthans, K. W., & Luthans, B. C. (2021). Positive psychological capital: Beyond human and social capital. Business Horizons, 64(6), 701-711.

Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout and engagement: A complete conceptual shift in occupational health. The Burnout Challenge. John Wiley & Sons.

Neff, K. (2011). Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. William Morrow.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Free Press.

Sheldon, K. M., Prentice, M., Halusic, M., & Schatschneider, C. (2019). What Does It Mean to Succeed? Personal Conceptions of Success Predict Motivation and Academic Outcomes in College Students. Learning and Individual Differences, 73, 142-149.

Treviño, L. K., & Nelson, K. A. (2017). Managing Business Ethics: Straight Talk about How to Do It Right. Wiley.

Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun