Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Winning Mindset Generasi Z: Antara Ambisi, Etika, dan Tantangan Kegagalan

10 September 2024   23:42 Diperbarui: 11 September 2024   14:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, winning mindset juga dapat memicu individualisme, terutama ketika ditanamkan dengan fokus yang berlebihan pada kompetisi dan pencapaian pribadi. Media sosial sering kali memperkuat kecenderungan ini dengan menampilkan kesuksesan individu secara berlebihan, sehingga menciptakan iklim kompetitif yang membandingkan pencapaian personal satu sama lain.

Dalam situasi ini, winning mindset dapat membuat Generasi Z lebih fokus pada diri sendiri, berusaha untuk selalu unggul dibandingkan orang lain, yang pada akhirnya dapat memisahkan mereka dari kerja sama tim dan membentuk pola perilaku yang egosentris (Twenge, 2017).

Dalam lingkungan kerja, winning mindset bisa menjadi pedang bermata dua. Sementara banyak organisasi mengapresiasi individu yang memiliki inisiatif dan ambisi, pendekatan yang terlalu individualistis dapat menghambat dinamika tim dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat.

Penelitian menunjukkan bahwa kinerja tim yang efektif bukan hanya hasil dari keterampilan individu, tetapi juga dari kemampuan untuk bekerja sama, saling mendukung, dan berbagi pengetahuan. Winning mindset yang tidak dikelola dengan baik bisa membuat anggota tim enggan berbagi informasi karena merasa itu akan mengurangi peluang mereka untuk menonjol atau diakui secara individu (Kahn & Fellows, 2013).

Di sisi lain, jika winning mindset dipahami sebagai upaya untuk meraih keberhasilan bersama dan diterapkan dalam konteks kolaboratif, ia bisa menjadi fondasi yang kuat untuk mendorong kerja sama. Generasi Z yang mampu mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan kelompok cenderung lebih sukses dalam menciptakan sinergi, baik di sekolah, universitas, maupun tempat kerja. Mereka tidak hanya termotivasi oleh pencapaian pribadi tetapi juga melihat nilai dalam kontribusi terhadap keberhasilan bersama, yang pada gilirannya memperkuat hubungan interpersonal dan jaringan sosial yang lebih luas (Hofstede, 2019).

Kesimpulannya, winning mindset memiliki potensi untuk mendukung kolaborasi atau memperkuat individualisme, tergantung pada bagaimana pola pikir ini diterapkan dan diarahkan. Generasi Z perlu belajar untuk menyeimbangkan antara ambisi pribadi dan kontribusi terhadap kesuksesan bersama agar dapat memaksimalkan potensi mereka dalam konteks sosial yang kompleks.

Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Aristoteles, “Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not accidentally is either beneath our notice or more than human.” Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati sering kali ditemukan dalam hubungan dan kerja sama, bukan hanya dalam pencapaian individu.

Pertanyaan Kritis #4: Sejauh Mana Winning Mindset Mendorong Generasi Z untuk Tetap Etis dalam Mencapai Tujuan Mereka?

Winning mindset berpotensi mempengaruhi cara Generasi Z memandang etika dalam mencapai tujuan mereka. Di satu sisi, winning mindset dapat memotivasi Generasi Z untuk bekerja keras, berinovasi, dan berusaha meraih kesuksesan dengan cara-cara yang etis. Dalam konteks ini, winning mindset tidak hanya sekadar tentang hasil akhir, tetapi juga tentang proses yang dilakukan dengan integritas dan tanggung jawab.

Generasi Z yang memiliki pemahaman mendalam tentang etika cenderung melihat bahwa kesuksesan yang berkelanjutan memerlukan komitmen pada nilai-nilai moral, seperti kejujuran dan fair play, yang justru memperkuat reputasi dan hubungan sosial mereka dalam jangka panjang (Dweck, 2017).

Namun, dorongan yang kuat untuk menang juga dapat membawa risiko etis, terutama jika winning mindset diterapkan tanpa panduan moral yang jelas. Generasi Z, yang tumbuh dalam lingkungan yang kompetitif dan sering kali diukur berdasarkan pencapaian, bisa tergoda untuk mengabaikan prinsip-prinsip etis demi mencapai tujuan dengan lebih cepat.

Praktik seperti menyontek dalam akademik, memanipulasi data dalam proyek, atau berkompetisi dengan cara yang tidak adil adalah contoh situasi di mana winning mindset bisa merusak nilai-nilai integritas. Studi menunjukkan bahwa tekanan untuk berhasil dapat membuat individu lebih rentan mengambil jalan pintas atau melakukan tindakan tidak etis saat mereka merasa tidak ada jalan lain untuk meraih kemenangan (Bazerman & Tenbrunsel, 2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun