Mohon tunggu...
Pingkan Hendrayana
Pingkan Hendrayana Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Menyukai dunia organisasi dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelangi untuk Ibu

22 Desember 2024   09:45 Diperbarui: 22 Desember 2024   09:45 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini ditulis oleh Melati Adelin Salfa Luna, didedikasikan untuk Ibu tercintanya yang kini telah tiada.

Namaku Luna. Sudah tiga tahun semenjak ibuku meninggal, aku masih saja merindukan kehadirannya. Meski begitu, setiap terbangun dari tidurku orang yang pertama kali yang kucari adalah ibuku. Sepertinya aku masih tidak terbiasa hidup tanpa adanya malaikat hebat sepertinya. Ibuku adalah malaikat yang begitu baik terhadapku, ibuku sangatlah hebat dalam berbagai hal. Dari aku kecil hingga saat ini, ibuku tetaplah menjadi orang yang terhebat dan orang yang begitu rupawan yang pernah aku temui.

Di masa di mana aku masih menjadi anak-anak, aku adalah anak yang sering kali terjangkit penyakit. Tapi dengan sabarnya ibuku merawatku dengan ketelatenan yang luar biasa dan mengabaikan ocehan dari tentangganya yang selalu membicarakan hal buruk terhadap anaknya. Saat itu, ayahku merantau ke Kalimantan. Jadi, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama ibuku. Saat aku belajar berjalan, ibukulah yang menuntunku berjalan dan ketika aku terjatuh, ibuku segera menggendongku lalu menciumku. 'bu', kata pertama yang diajarkan oleh ibuku yang mampu aku ucapkan, yang dapat membuat ibuku menangis bahagia.

Setiba dimana aku memasuki masa PAUD, ibuku selalu menungguku, karena saat itu aku tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Aku selalu menangis ketika tidak melihat ibuku berada di luar. Akan tetapi dengan sabarnya, ibuku datang dan memelukku. Dia selalu bertanya.

"Luna, apa yang membuatmu takut? Ada ibu di sini" ujar ibu yang selalu menenangkanku dengan ucapannya.

Saat di mana aku sudah berumur 5 tahun, aku tahu ini pasti berat untuk ibuku. Pukul 22.00 WIB, ibuku melahirkan seorang bayi, di mana ialah adikku yang aku cintai. Bayi tersebut dinamai 'Pelangi.' Pada hari itu, aku begitu senang memiliki seorang adik di dalam kehidupanku. Kehadirannya membuatku lebih termotivasi untuk menjadi sosok yang mandiri.

Ketika memasuki jenjang Sekolah Dasar, aku memiliki kurang percaya diri dengan fisikku, karena aku terlihat lebih besar dari sebayaku. Akan tetapi, untuk membahagiakan ibuku, dan karena dukungan ibuku, aku diharuskan untuk memiliki kepercayaan diri yang lebih. Dahulu aku sering diremehkan orang lain.

"Percuma pintar kalau minder." 

"Percuma pintar kalo miskin, pasti akhirnya gak bakal jadi apa-apa."

"Biasanya pintarnya cuman waktu SD doang, liat aja pas SMP pasti juga gak pintar dia."

Ibuku begitu sedih saat mendengar kalimat itu, menurutnya, aku putri terhebatnya, dan ibuku percaya bahwa semua akan bisa terjadi jika diusahakan. Saat berada di SD, aku selalu mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Hal ini membuat hubunganku dengan ibu menjadi renggang.

Saat aku berada di kelas 6, aku mendengar bahwa ibuku sakit. Ibuku menjalani pemeriksaan lebih lanjut pada Rumah Sakit. Setiba dari rumah sakit, ibuku berjalan secara perlahan menuju dan memeluk nenekku. Sebenarnya aku tahu bahwa ibuku telah pulang, tapi aku memutuskan untuk berpura-pura tidur. Ibu berkata bahwa ia terkena kanker payudara. Aku meneteskan air mata tidak tahan dengan kabar tersebut. Aku menangis dalam diamku. Tangisan tanpa suara yang membuat dadaku sesak. Sedihnya lagi, ibuku tidak ingin kedua putrinya tahu akan hal itu, aku menghargai keputusan ibu. Tapi aku sangat sedih mendengar kabar itu. Ibuku sebenarnya tidak berani mengambil keputusan untuk operasi Akan tetapi, kedua putrinya menjadi alasan ibuku untuk mengambil Keputusan tersebut. Cita-cita ibuku hanya satu; ingin melihat anaknya tumbuh menjadi putri yang baik. Saat ibuku menjalani operasi, aku tidak dapat hadir di sampingnya. Sebab, saat itu aku harus mengikuti try out. Dalam keseriusanku mengerjakan, ada seseorang yang menelponku, mengatakan bahwa ibuku kekurangan darah, dan mengalami masa kritis. Aku sangat sedih, dan berharap ibuku segera mendapatkan darah yang cocok. Karena pada saat itu, darah yang cocok untuk ibuku sedang kosong. Syukurnya tidak lama kemudian ada darah yang cocok dengan darah ibuku. Aku tahu hal ini sangat sulit untuk ibuku. Aku tahu ini 3 kalinya ibuku dioperasi. Meskipun begitu, ibu selalu mendampingiku disaat aku kesulitan dalam mengerjakan tugasku tanpa menunjukkan rasa sakit yang ia alami. Setiap malam ibuku menemaniku dan adikku belajar dengan senyuman tipisnya yang membuatnya terlihat begitu cantik. Ibuku selalu ingin aku bersekolah dengan bersungguh-sungguh serta ibuku berharap bahwa putrinya mempunyai akhlak yang baik.

Saat pembelajaran daring terjadi, ibuku selalu menjadi guru yang baik, membantuku memahami materi yang belum aku pahami dari guru sekolahku. Di malam hari aku sering melihat ibuku ketiduran karena menemaniku belajar begitu larut. Aku menatap wajah damai ibuku yang masih tertidur, aku mengusap punggungnya secara perlahan. Tidak lama dari itu, air mataku mulai menetes, aku tidak kuasa menahan kesedihanku.

"Ibu yang kuat ya... aku sedih lihat ibu selalu kesakitan, cepet sembuh ya bu..." Lirihku sembari menahan suara tangisku dengan berat.

Kami memiliki kalimat yang wajib diucapkan secara bersamaan sebelum aku berangkat sekolah, "Sekecil apapun perbuatan pasti ada balasannya. Sekecil apapun itu Tuhan akan membalas perbuatan mereka." ujar kami bertiga, setelahnya ibuku memeluk aku dan adikku tidak lupa disertai ciuman pada kedua pipi kami.

"Jadi jika ada yang jahat kepada kalian, kalian harus membalasnya dengan senyuman, atau bahkan kebaikan. Kalian mengerti?" ujar ibuku setelah mencium kedua pipi kami.

Ibuku adalah sosok yang hebat dan tangguh. Seorang ibu yang tidak ingin anak-anaknya melihat kesedihannya. Seorang ibu yang tidak ingin anaknya mengetahui masalahnya, ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya, ia sangat menyayangi anaknya, lebih dari dirinya sendiri. Akhir-akhir ini ibu sering membeli baju baru untuk kedua putrinya, sedangkan ia hanya memakai baju yang sudah ia miliki saja. Ada saatnya aku menangis karena ketulusan ibuku.

Di saat aku merasa tidak baik-baik saja, ibuku bisa mengerti dan tahu perasaanku, hanya dari raut wajah dan suaraku. Ibu selalu tahu di saat aku terlarut dalam kesedihan, ibu akan memelukku dan menenangku dengan lembut.

"anakku, sudahilah kesedihamu, dunia ini emang tidak selamanya baik untuk kita. Tapi ingatlah bahwa ada ibu yang selalu maju paling depan di saat kamu kesulitan." ujar ibuku bertujuan mengguatkanku, akan tetapi tangisanku semakin kencang tidak tahan dengan ucapannya.

Ibuku mampu menjadi teman curhat dengan pendengar serta pemberi saran yang baik, sahabat yang begitu asik, dan guru yang cerdas. Ibuku sangatlah hebat bukan? Oh iya, ibuku memiliki selera musik yang begitu bagus, membuatku menyukai selera musik beliau. Kami mendengarkan musik bersama dan menonton dram Korea bersama. Kami sering kali menangis bersama, lalu tertawa bersama hanya karena menyaksikan drama Korea.

Di saat aku sakit, ibuku selalu menungguku dan menemani tidurku. Ibuku selalu membawaku ke dokter dan menyuapiku di saat aku tidak memiliki nafsu makan. Dengan sabarnya, ibuku menungguiku sambil memegangku dan berkata, " Kamu akan segera sembuh nak. Semuanya akan membaik dan akan seperti semula. Kalau boleh ditukar, ibu aja yang sakit, kenapa harus kamu?" lirihnya menangis terisak-isak.

Saat itu aku terkena demam. Ibuku mengurusku dan terus menemaniku. Sembari bertanya, "Apa yang kamu inginkan nak? pakaian? hp? tapi ibu minta kamu cepat sembuh ya. Kamu jangan seperti ini, mending ibu aja yang sakit. Bahkan ibu rela mengorbankan nyawa ibu demi putri ibu yang tersayang ini," lirihnya sembari mengenggam tanganku dengan gemetar.

Setelah aku sembuh, berganti ibuku yang terkena demam. Tapi anehnya ibuku mengalami sakit yang lebih parah. Ibuku menjadi tidak memiliki nafsu makan. Aku selalu menungguinya di bawah tempat tidurnya. Aku berjanji akan menyuapinya tetapi ibuku tetap tidak mau makan.

Satu hari sebelum kegiatan study tour SMP, aku sampai di rumah dengan keadaan hanya adikku saja yang di rumah. Lalu tetanggaku berkata bahwa ibuku masuk rumah sakit. Kemudian di malam harinya nenekku menelepon dan memberi kabar bahwa ibuku sudah dalam keadaan koma. Tapi aku tetap menenangkan diri bahwa ibu akan segera sadar. Beberapa hari kemudian ada panggilan dari rumah sakit, bahwa ibuku akan dibawa pulang. Dalam pikiranku, ibu berarti sudah sembuh dari penyakitnya. Saat aku sedang belajar tiba-tiba ambulan datang ke rumah, dan nenekku dengan lemas berkata bahwa ibuku telah meninggal. Aku terkejut membeku saat mendengar bahwa ibuku sudah berpulang. Sebelum ibu berpulang, ibu membelikanku pakaian dan ponsel. Saat pemakamannya, aku memakai baju yang dibelikan ibuku untuk terakhirnya, mulai hari itu baju yang ku kenakan saat itu akan menjadi satu-satunya pakaian favoritku.

   Tanggal 28 Desember 2016, hari di mana aku berulang tahun ke 14. Tapi tahun ini menjadi sangat berbeda. Tidak ada lagi pelukan dan harapan di pagi hari. Dalam kelarutan pikiranku, Aku berjalan menuju kamar ibuku, secara tidak sengaja aku menemukan buku harian ibuku tentang ketidakpercayaan dirinya yang disebabkan oleh kanker payudara yang dideritanya.

Pada hari itu aku datang ke makam ibuku. Dengan tangisan yang penuh penyesalan, karena mengapa aku tidak pernah bisa memahami ibuku seperti ibu memahamiku. Aku merasa gagal menjadi seorang anak karena hal itu, 'Mengapa ibu selalu memahamiku dan mengapa aku tidak bisa seperti itu?' itulah yang ada di pikiranku.

Dan pada hari ibu di tahun itu, aku hanya bisa menangis, karena merindukan sosok yang ku cintai. Aku sangat ingin memeluk ibu, dan melihat senyuman ibu. Hanya itu saja. Jika tidak bisa, maka aku hanya bisa berharap ibu muncul pada mimpiku di malam hari..

Waktu berjalan begitu sangat cepat. Kini aku sudah masuk ke jenjang SMA. Tidak terasa sudah dua tahun aku kehilangan sosok seorang ibu di sisiku. Namun, rasanya masih benar-benar sangat sulit untukku untuk melupakan kepergiannya, aku masih saja berhalusinasi bahwa ini hanyalah mimpi. Kehilangan ibuku membuatku menjadi orang linglung, aku sering kebingungan dan lupa dengan orang rumah, tidak jarang aku lupa tentang keberadaanku, sampai-sampai aku lupa tidak makan selama beberapa hari. Hari pertama aku menjalani upacara wajib pada hari Senin, tanpa aba-aba mataku mulai mengelap, aku pun terjatuh tanpa sadar menimpa punggung temanku. Samar-samar aku dapat mendengar suara dari beberapa orang yang membantuku untuk diamankan. Aku mulai tersadarkan Kembali, melihat sekeliling dengan kondisi mata yang masih buram, aku dapat menebak bahwa aku sudah berada dalam UKS. Aku sadar bahwa ada dua orang di sampingku. Aku melihat satu orang menyadari aku terbangun dari pingsan.

"Eh, udah sadar tuh dia," ujar seseorang yang sadar bahwa aku terbangun, ia juga tidak lupa menyenggol lengan temannya yang terlihat asik bermain ponselnya.

"Kamu udah mendingan?" tanyanya dengan lembut. Aku hanya bisa mengangguk dan menatap dia dengan kebingungan.

Dia yang menyadari aku sedang kebingungan, ia mulai memperkenalkan dirinya, "aku Azza, kita satu kelas kalau kamu gak tau. Aku udah kasih tau ke teman yang lain kalau kamu masih di UKS."

"Ah iya... makasih ya Azza udah mau nemenin aku. Em..."

"Dia?" tunjuk Azza kearah seseorang yang hanya diam saja dan masih berfokus pada ponselnya. Aku mengangguk, aku sedikit terkejut kepada Azza yang paham akan maksudku.

"Dia Novi, maklumi aja ya? Gitu-gitu asik kok orangnya."

Aku hanya mengganguk saja, aku hanya berharap dua orang di sampingku ini tidak berbuat jahat kepadaku. Aku semakin tidak percaya diri semenjak berpulangnya ibuku. Saat aku masuk dijenjang akhir, aku tidak akan berharap lebih. Aku hanya terus berdoa mengharapkan aku tidak disakiti atau dirundung. Biarkan aku menjalani hidupku dengan damai tanpa ada kesakitan dalam diriku.

Hari terus berlalu, pada hari di mana aku pingsan, aku menjadi sendirian kembali tanpa ditemani oleh Azza dan Novi. Akan tetapi, itu tidak masalah bagiku, setidaknya mereka tidak berniatan menyakitiku tanpa ada alasan. Aku menduduki bangku sendirian tanpa ada teman sebangku disampingku. Aku iri melihat teman lainnya memiliki teman bangkunya masing-masing.

Di suatu hari di mana dalam pembelajaran tersebut ibu guru yang mengajar menyuruh anak muridnya untuk menbentuk sebuah kelompok dengan beranggotakan tiga orang. Dalam intruksinya ia menyuruh untuk membuat cerpen bertema tentang kekeluargaan dan pertemanan yang setia. Aku hanya terdiam, dalam intruksi tersebut ada tambahan bahwa anggota kelompok ditentukan sendiri, membuatkan merasakan ketakutan, takut akan tidak mendapatkan kelompok. Walaupun aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri, tetap saja aku sedikit berharap bahwa ada yang menunjukku untuk menjadi salah satu anggota mereka.

"Melati, kamu mau gak gabung kelompok kami? Kurang satu nih," ujar Azza yang entah dari mana ia datang, ia tiba-tiba sudah berada di depan mejaku begitu juga Novi yang ada di samping Azza.

Tanpa ragu aku mengangguk setuju. Dalam lubuk hatiku, aku berteriak kesenangan sebab ada yang menawarkan kepadaku untuk bergabung. Tanpa aku sadari air mataku menetes secara perlahan. Azza dan Novi panik melihatku menangis. Namun, aku tertawa dalam tangisanku. Aku menganggap bahwa tangisanku adalah tangisan kebahagiannku.

Mulai dari itu, aku mulai semakin akrab dengan Azza dan Novi. Kami bertiga selalu bertiga dalam keadaan apapun itu. Aku mulai terbuka dengan mereka, selalu menceritakan keseharianku, kesedihanku serta kebahagianku kepada mereka. Aku senang mereka mendengarkan ceritaku dengan cermat dan memberikan nasihat. Saat aku asik bercanda dengan mereka berdua, setiba aku melihat sekelibat bayangan seperti sosok ibuku. Aku terdiam sembari melihat sekeliling. Namun, sayangnya sosok tersebut hilang seperti tertiup angin. Azza dan Novi yang menyadari gelagatku yang aneh, mereka mulai bertanya 'kamu kenapa?' secara bersamaan. Aku menceritakan kepada mereka bahwa aku melihat sebuah bayangan yang mirip dengan sosok ibuku. Mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka langsung memelukku secara bersamaan, tentunya aku membalas pelukan mereka. Aku hanya berkata, 'aku baik-baik aja kok.'

28 Desember 2018, hari di mana aku merayakan ulang tahun yang ke 16. Tahun ini aku sudah tidak sendiri lagi, aku sudah memiliki teman yang tulus berteman denganku. Aku senang tidak sendirian lagi, walaupun aku masih merindukan pelukan dari ibuku tapi tidak masalah, karena sekarang aku sedang dipeluk oleh teman-temanku. Aku membalas pelukan mereka dengan bahagia, setelahnya mereka mulai menyanyikan lagu ulang tahun untukku serta menyalakan lilin yang sudah tertancap pada atas kue ulang tahun. Aku bertepuk tangan seraya mengikuti mereka bernyanyi, setelahnya mereka bernyanyi aku mulai meniup semua api lilin. Mereka bertepuk tangan riang setelah aku menyiup. Entah kenapa aku merasa terharu dengan mereka, karena aku merasa malu menunjukkan tangisku, aku memeluk mereka berdua secara tiba-tiba, yang tentunya mereka terkejut dengan perlakuanku. Setelahnya mereka merayakan ulang tahunku, aku berpikir untuk membawa mereka berdua untuk mendatangi tempat istirahat ibuku. Mereka setuju, kami bertiga mulai perjalanan menuju tempat istirahat ibuku. Saat di sana aku mulai mengenali satu-persatu nama temanku kepada ibuku. Aku tidak lupa menceritakan segalanya yang sudah terjadi pada kehidupanku.

Aku berjanji kepada ibu untuk selalu melakukan perbuatan baik, dan selalu menuruti perintahnya. Aku tidak pernah melupakan ibu sama sekali. Setiap saat aku selalu merindukan ibu. Aku selalu menyayangi ibu dengan hati yang tulus dan ibu akan menjadi satu-satunya sosok yang dapat aku kagumi dan aku cintai dengan hebatnya. Aku mencintai ibu lebih dari aku sendiri, meskipun kini ibu telah meninggalkanku selama-lamanya.

Aku juga mengerti sebenarnya, bukan hanya aku yang tidak ingin ditinggalkan oleh ibu, tapi ibu juga tidak ingin meninggalkan putrinya. Tapi takdir berkata lain, sosok seperti ibu yang memiliki hati malaikat berhak mendapatkan tempat terbaik di mana pun itu, tanpa luka dan rasa sakit sedikit pun. Aku berjanji akan selalu mengingat semuanya. Aku menyayangi ibu. Terima kasih atas semuanya, walaupun aku tahu aku tidak akan pernah bisa membalas semua pelajaran, kebaikan, dan sejuta hal yang ibu berikan kepada putri. Bahkan Hari Ibu dan sejuta tahun pun tidak akan bisa menggantikan waktuku yang berharga saat bersama ibuku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun