Selepas magrib, HP ku berbunyi. Berisik sekali, karena BBM yang masuk begitu banyak. Aku menduga pasti itu adalah pesan-pesan dari para ningrat keraton. Dan benar saja, dugaan ku kali ini benar. Namun, kali ini bukan kabar baik yang kudapat. Rupanya keributan di dalam grup bbm itu disebabkan oleh pernyataan Apri yang tidak jadi ikut pergi ke Pkp. Hal itu membuat Buluk menggerutu tak henti-henti. Tak hanya Apri, Langit juga membatalkan niatnya karena suatu alasan yang tak bisa dijelaskan.Â
Pesan-pesan berisi umpatan ditulis Buluk walaupun tidak ada maksud untuk serius. Namun aku tahu Buluk kecewa karena hal itu. Dan kini, yang masih bertahan tinggal Buluk, Gembul, dan aku.Â
Aku juga belum tahu kelanjutan nasibku setelah peristiwa tadi pagi. Bagaimana aku mau pergi kalau aku tidak ada kendaraan, aku risau, Jangan sampai Buluk tau hal itu, kalau tidak "kata-kata mutiara" itu akan kembali terlontar dari mulutnya. Sudah menjadi karakternya bahwa mulutnya memang lincah dan berbisa dalam berkata. Aku lebih memilih tidak mengatakan apapun kepada Buluk dan mencari solusi terbaik untuk mengatasinya.
Aku mulai berfikir untuk mencoba membujuk ayah pada keesokan harinya. Jangan sampai rencana kami gagal hanya gara-gara aku tidak ada kendaraan. Aku harus pandai bernegosiasi dengan ayah.Â
Ayah adalah orang yang tidak suka diganggu ketika ia sedang focus bekerja. Maka dari itu, aku mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudku. Tengah malam adalah waktu yang sangat pas untuk melakukakan hal tersebut. Jadi aku menunggu ayah menyelesaikan pekerjaannya sampai tengah malam. Ketika waktunya tiba, aku menghampiri ayah yang sedang santai menonton televise. Dengan suara yang halus, aku mulai berbicara dengan ayah.
"Yah, besok abang mau pergi."
"Mau pergi kemana?"
"Ke Pkp.",
"Mau ngapain?"
"Refreshing yah, hehehe."
"Trus, apa maksudnya mau ngomong sama ayah. Pasti ada maunya nih. Kalo mau minta duit, ayah lagi ngga punya."