Kami saling berpandangan.
Suara gemericik air yang jatuh memecah ketegangan kami.
“Tadi kita hanya salah lihat Ran, mungkin fikiran kita sendiri yang mengkondisikan sesuatu dan akhirnya terlihat di depan kita” Aku mencoba menghibur Wati.
Wati terlihat lebih tenang.
Hujan di luar semakin deras. Suara titik-titik hujan terdengar keras menimpa atap asbes.
***
Hari beranjak malam, Hujan baru saja berhenti. Wati dan bayinya telah tertidur pulas. Aku sudah berbaring lama di ranjang tetapi mataku tak juga dapat kupicingkan. Radio kecil sudah kumatikan tetapi suara angin yang menderu malah mengganggu pendengaranku. Kubuka jendela kamar untuk melihat suasana di jalanan luar, Gerimis masih menyisakan titik-titik di bias lampu jalan yang remang. Kulihat beberapa pedagang mendorong gerobak. Langkah-langkah mereka tampak terburu-buru. Aku keluar rumah untuk memesan makanan kepada salah satu pedagang itu.
Hujan telah benar-benar berhenti.
“Bang, abaaang….!” Teriakku kepada para pedagang itu, “Nasi goreeeng…!!”
Tak satupun para pedagang itu yang menghentikan langkahnya, mereka tetap terburu-buru mendorong gerobaknya. Kesal, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Pupus sudah keinginanku untuk makan nasi goreng malam-malam begini. Tak biasanya para pedagang itu bersikap sombong seperti tadi. Ataukah mereka tak mendengar suaraku?
Aku hanya bisa merutuk dalam hati.