Kembali suara itu menggema di telingaku. Kutinggalkan saja sambil kubaca doa-doa pendek untuk mengusir rasa takutku. Aku harus segera sampai ke rumah untuk sholat dan mendoakan seseorang. Selain itu, kakak angkatku pasti cemas menunggu.
***
Benar saja. Sampai di rumah kulihat mbak Wati sibuk menenangkan bayinya yang meronta meminta susu. Kasihan bayi itu, semenjak lahir belum sempat melihat bagaimana rupa ayahnya. Segera kuberikan susu formula kepada mbak Wati. Perempuan cantik itu kini masih menganggur dan aku merasa bertanggungjawab atas kehidupannya. Benar-benar aku merasa harus bertanggungjawab atas dirinya. Kenapa aku harus bertanggungjawab? Kau akan mengetahuinya nanti.
Wati menerima susu itu tanpa ekspresi. Segera dibuatnya susu untuk anaknya sementara aku bergegas mengambil air wudlu kemudian sholat di kamarku.
Kupasrahkan diriku atas apa-apa yang telah dan akan terjadi, kulepaskan semua beban di atas sajadah. Hening.
Selesai sholat magrib, Wati telah menungguku di depan kamar dengan wajah pucat sementara bayinya tampak tenang di atas gendongannya. Mulut mungil bayi itu tampak lahap menyedot-nyedot puting dotnya.
“Ran…!” Seru Wati.
“Ada apa?”
“Itu, ayuk… ikut aku.” Wati tampak begitu cemas.
Di luar petir menyambar-nyambar, hujan turun dengan derasnya
Kami melangkahkan kaki ke kamar mandi.