Â
Novelis wanita dan karya-karyanya masih dapat dihitung dengan jari. Drai tahun 1930-an sampai dengan tahun 2021-an terdapat sejumlah kecil karya-karya sastra, khususnya novel, yang dihasilkan oleh jari-jari lentik itu. Kita sebut saja novel Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), dan Kembali ke Pangkuan Ayah (1986) karya Selasih (=Sariamin=Seleguri); Kehilangan Mestika (1935) karya Hamidah (=Fatimah Hasa Delais);  Menyongssong Badai (1970) buah karya Luwarsih Pringgoadisuryo; Pada Sebuah Kapal (1973), Keberangkatan (1977), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Jalan Bandungan (1989) hasil garapan Nh. Dini; Raumanen (1977) karya Marianne Katoppo; Di Atas Puing-Puing (1978) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi; Pelabuhan Hati (1978) dan Bukan Rumahku (1986) karya Titis Basino Pl; Selembut Bunga (1979) dan Getaran-Getaran (1990) buah penah Haryati Subadio (=Aryani);  Larung (2001) dan Si Parasit Lajang (2013) milik Ayu Utami; Laut (2017) karya Laila S. Chudori; Supernova (2001) dan Rapijali (2021) milik Dewi Lestari (=Dee).
    Â
Walaupun keterkecilan kuantitas yang beroposisi ironis dengan sekian juta penduduk Indonesia yang berjenis kelamin perempuan, novel-novel karya wanita Indonesia itu bukanlah sebuah "komplotan" yang terpencil. Secara kualitatif, minoritas, yang menarasikan sebuah realitas kehidupan dalam degup imajinasi, telah mempertajam 'eksistensi' sastra sebagai aktus emansipasi (pembebasan) situasi-situasi batas manusia (faktisitas dan nasib) yang mencekam kehidupan manusia. Paling tidak, novel-novel itu hadir sebagai wacana yang memaparkan upaya pencarian nilai-nilai yang otentik dalam sebuah dunia yang dianggap telah terdegradasi oleh dominasi arogansi paham patriarkat.
    Â
Asumsi di atas akan makin rapat pada simpulannya jika kita melakukan pembongkaran pada beberapa karya sastra karya wanita Indonesia. Mungkin mereka menampilkan fenomena ketidakbebasan wanita sebagaimana tokoh Pariyem-nya Linur Suryadi yang pasrah terhadap nasib ataukah tokoh Sri Sumarah-nya Umar Kayam yang ikhlas menjadi tukang pijit ataukah juga tokoh Yah-nya Armijn Pane yang diisap ke dalam kehidupan prostitusi dan yang dengan senang hati melepaskan kasut sang pria. Mungkin mereka hendak membangun kerangka feminisme melalui pendekatan gynocritics (melihat kekhususan wanita jika dihadapkan dengan laki-laki) untuk membongkar androsentrisme (kekuasaan laki-laki atas perempuan).
    Â
Perempuan menjadi fokus cerita sastra karya wanita. Dengan bantuan berkelebatnya imajinasi, seorang pengarang wanita menampilkan pencarian identitas diri perempuan dalam masyarakat sastra dan sebaliknya, mengetengahkan kasak-kusuk masyarakat sastra terhadap tokoh-tokoh perempuan tersebut. Secara sederhana, cara memandang perempuan  dalam novel-novel karya wanita itu dapat dikategorikan ke dalam dua hal. Pertama, perempuan yang dilihat perannya berdasarkan keadaan biologis atau berdasarkan lingkungan tradisinya. Kedua, perempuan yang mencoba menembus batas stereotip kedudukan perempuan dan menangkap dirinya sendiri sebagai individu yang berotonomi, bukan sekadar pendamping laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan semacam ini adalah mereka yang biasa disebut perempuan feminisme yang berusaha mandiri dalam cara berpikir dan cara bertindak berdasarkan kesadaran akan hak-haknya.
    Â
Pertanyaan yang pantas diajukan adalah apakah novel-novel seperti disebut di atas telah mampu menangkap perempuan dalam kategori kedua atau hanya bertutur dalam kategori pertama? Jika kategori kedua yang ditangkap, apakah dapat dikatakan bahwa  feminisme telah merebak dalam seluruh dimensi keperempuanan sehingga karya sastra karya wanita Indonesia dapat menjadi "oasis" permenungan tentang feminisme?  Atau, mereka hanya ingin "menyambungkan air mata" perempuan sehingga referat perempuan adalah referat air mata?
Dua Arus Persoalan
     Â
Sepanjang sejarah peradaban manusia, sejak Plato sampai dengan tokoh-tokoh pemikir abad ini, perempuan masih merupakan persoalan. Proses penciptaan perempuan, misalnya, membenarkan inferioritas perempuan dan menguatkan superioritas laki-laki: perempuan berasal dari sepotong tulang rusuk laki-laki. Tidak heran jika Plato menimpali, "Perempuan adalah degradasi laki-laki; seorang laki-laki pengecut pada kelahirannya yang berikut akan menjadi perempuan". Tidak heran juga Aristoteles dengan garang mengatakan, Â "Andaikata perempuan pun punya jiwa, punya mereka tidak sepenuh yang dimiliki laki-laki". Tidak heran pula Nietzsche bersewot-sewot. "Perempuan adalah bentuk pengurangan laki-laki karena ia tidak memilki semen...dan laki-laki tidak bisa bereproduksi justru karena ia makhluk transenden; itu justru kemuliaan laki-laki. Perempuan kalau muda ia pencinta, kalau sudah tua pengaku dosa".
   Â
Perempuan menjadi sebuah persoalan yang rumit itu bukan hanya milik para pemikir dari berbagai zaman, tetapi juga mengental dalam tohokan para novelis wanita Indonesia. Tokoh Rasmani yang hancur hatinya karena cintanya kepada Masrul terpaksa dipendamnya sendiri akibat keragu-raguan Masrul dalam mengambil sikap (Kalau Tak Untung). Hamidah, yang menyadari bahwa di kampung halamannya kaum wanita belum mendapat tempat yang semestinya, akhirnya harus rela dimadu oleh Ridhan, suaminya, karena tidak memberikan keturunan (Kehilangan Mestika).Â
Manen pada akhirnya harus menghukum dirinya sendiri (bunuh diri) ketika cinta kasihnya terhadap Monang terhadang adat-istiadat sang kekasih, sementara anak dalam kandungannya harus digugurkan demi keselamatan dirinya; ia merasa bersalah terhadap Tuhan dan manusia (Raumanen). Arini yang tidak mau dimadu oleh suaminya Hardi, akhirnya memutuskan untuk kawin lari dengan Hendra, bekas pacarnya, yang menghasilkan tiga anak, walau mereka tidak menikah secara sah. Nasib Arini akhirnya menjelajah di atas puing-puing dan menjadi janda ketika Hendra mendapat musibah jatuhnya pesawat yang ditumpanginya (Di Atas Puing-Puing).
   Â
Di dalam persoalan perempuan itu tertegak dialektika oposisional dua arus kenyataan. Pertama, perempuan berhadapan dengan laki-laki atau inferioritas berhadapan dengan superioritas yang didukung oleh seperangkat tradisi yang cenderung "mempertuankan" laki-laki. Hukum tradisi sepertinya menguatkan posisi laki-laki dan terus-menerus berusaha mempertahankan kedudukan laki-laki dengan segala cara. Perempuan tampil sekadar makhluk yang pantas dikawini, diceraikan, dimadu, dibayar lebih rendah, dijadikan kawan di belakang (konco wingking), dan diharuskan untuk tunduk pada tradisi yang ada.
    Â
Kedua, kesadaran akan harga diri dan hak-haknya sebagai manusia selama ini dibelenggu oleh anggapan sosial yang menganaktirikannya. Mereka sepertinya menuntut kedewasaan pandang semua perangkat sosial sehingga tercipta suatu keadaan serba terang  untuk menjatuhkan pilihannya. Sepertinya ada keyakinan bahwa sebuah "perdamaian" antara laki-laki dan perempuan hanya dapat diwujudkan jika ada tata dunia baru yang ditegakkan di atas kebenaran, dibangun sesuai dengan premis keadilan, dihidupkan dan diintegrasikan oleh cinta kasih, serat dilaksanakan dalam "pelukan" kebebasan.
    Â
Kedua persoalan itu menjadi arus utama dalam setiap novel yang ditulis oleh novelis wanita. Dalam novel-novel tersebut dapat ditemukan deskripsi klasik sebagai berikut. Wanita tradisional terkungkung dalam citra kurang rasional, statis, terlalu menggantungkan kehidupan mereka kpada laki-laki, tidak bebas karena terikat pada adat-istiadat, dan menerima nilai hidup kekeluargaan secara dogmatis, pasif, nonagresif, tidak berdaya saing, berorientasi ke dalam (privat), terlalu peka berperasaan, subjektif, mudah menyerah, emosional, dan tidak suka mengambil risiko. Sementara itu, wanita modern dicitrakan sebagai perempuan yang selalu ingin maju, rasional, tidak terlalu menggantungkan hidupnya pada laki-laki, bebas dari ikatan adat, agama, lebih bersifat individual, dan mementingkan kebendaan.1)
    Â
Tentunya semua pencitraan wanita itu memperoleh jiwanya ketika dihadapkan pada citra laki-laki yang sering diidentifikasi sebagai penyebab penderitaan perempuan. Inilah yang mendorong terciptanya "hitam putih" hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam novel yang ditulis oleh novelis wanita. Tidak mengherankan jika sampai saat ini dikotomi paradoksal formal-informal, publik-privat, produktif-nonproduktif yang memberi keabsahan untuk suatu hubungan dominasi-subordinasi secara terselubung2) masih enak disimak dalam novel-novel karya wanita Indonesia.
     Â
Dimensi kesalingberhadapan itu merupakan "tikungan tajam"  yang pada sisi keperempuanan  dianggap sebagai perjuangan feminisme3) untuk melepaskan kekangan-kekangan patriarkat. Dalam Pada Sebuah Kapal (1973) karya Nh. Dini, tokoh Sri tidak hanya bebas menentukan pilihannya, tetapi merasa mempunyai hak yang sama dengan kaum pria, yang sering berkutak-katik dengan penyelewengan atau perselingkuhan. Walaupun perselingkuhan antara Sri dan Michel merupakan bukti otentik ketidakharmonisan komunikasi di dalam keluarganya, Sri sendiri tidak merasa berdosa, malahan ia menikmati hubungan gelap itu sebagai jalan kebahagiaan karena kebahagiaan yang dipikirkannya tidak ditemukannya pada diri sang suami, Charles Vincent.
     Â
Dengan demikian, membaca novel-novel karya novelis wanita Indonesia pada dasarnya  kita melakukan sebuah kembara feminisme dalam berbagai formatnya. Mungkin saja di dalam sebuah novel kita dapat temukan feminisme liberal, radikal, marxis, sosialis, dan eco-feminism. Semua format feminisme itu pada intinya menggugat superioritas lakai-laki dan menohok kemungkinan terciptanya persamaan kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.Â
Dalam hal ini, persamaan diartikan sebagai kesempatan yang sama untuk meraih posisi sosial dan mereguk kenikmatan hidup secara individual, tanpa pengecualian menurut jenis kelamin. Bentuk penindasan yang khas dialami perempuan merupakan akibat langsung dari posisi tradisional perempuan dalam keluarga biologis atau keluarga domestik. Pembebasan perempuan, sebagaimana yang ditembangkan dalam novel-novel karya wanita itu, mensyaratkan masuknya kaum perempuan kalam sektor publik dan revolusi biologis, yaitu perempuan tidak diharuskan untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya.
Feminisme Sastra
     Â
"Pigura" persoalan perempuan dalam tohokan novelis wanita sepertinya mendapat angin baik ketika muncul apa yang disebut feminist literacy criticism. Kritik sastra feminis (KSF) yang muncul sejak tahun 1960-an di Barat (sementara di Indonesia kritik sastra jenis ini masih terasa asing) memfokuskan perhatiannya pada wanita, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis atau pengulas karya sastra.
    Â
Perkembangan KSF dapat ditangkap sebagai referat lain dari feminisme yang besar dan universal, yaitu feminisme sastra. Jika selama bertahun-tahun anggapan dunia sastra masih tetap berada pada "kehormatan" laki-laki, feminisme sastra dengan kritik sastranya menyulut kesadaran akan kompetensi potensial wanita dalam menjamah dunia kehidupan manusia. Sebagai penulis, pembaca, dan pengulas, wanita membawa persepsi baru  dan harapan-harapannya ke dalam pengalaman bersastra4) karena adanya kesinambungan antara pengalaman sosial dan struktur hubungannya selaku wanita dalam "menjepret" dunia sastra.
     Â
Feminisme sastra pada hakikatnya mau mengetengahkan bahwa perempuan memiliki realitas sastranya sendiri yang perlu disikapi secara rasional karena selama ini koherensi tematik dan historis sepertinya dikaburkan oleh dominasi nilai-nilai patriarkat dalam sastra. Padahal disadari bahwa wanita  mempunyai wadah dan kontinuitas nilai-nilai kemasyarakatan yang tidak dapat di-idem-dito-kan dengan kerangka tangkapan laki-laki. Wanita dapat membaca selaku wanita, mengarang selaku wanita, dan menafsirkan realitas sastra selaku wanita5).
     Â
Sebagai sebuah gerakan pemikiran, feminisme sastra memiliki nuansa-nuansa pembeberan yang mengalir menuju muara jati diri perempuan sebagai manusia yang bereksistensi dan berkoeksistensi. Pertama, pembeberan rasa kebencian perempuan terhadap genggaman realitas yang mempertuankan laki-laki. Lewat karya sastra yang diciptakannya, novelis wanita mendongkrak keterpencilan dan keterpinggiran perempuan akibat hukum tradisional yang secara kategoris memperlakukan perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang).
     Â
Rasmani harus menelan pil pahit ketika menerima keputusan Masrul, kekasihnya, untuk menikah dengan Aminah. Rasmani yang berstatus sosial sebagai guru harus menahan rasa sakitnya lagi ketika secara terpaksa juga Masrul harus menikah dengan Muslina, anak guru kepala, tempat Masrul meniti kariernya. Kehancuran hati Rasmani akibat ketidaktegasan sikap Masrul mengantarnya ke liang lahat (Kalau Tak Untung, 1933).
     Â
Kedua, pembeberan kesadaran bahwa jenis kelamin membawa perbedaan dalam menangkap narasi-narasi kehidupan. Kesadaran ini berusaha berpegang pada kekuatan radikal untuk menumbangkan konsep, asumsi, dan struktur yang dibangun oleh laki-laki. Keikutsertaan wanita amatlah penting, baik sebagai pencipta mauopun sebagai penikmat sastra karena sastra lebih cocok dengan kodrat wanita, walaupun akhirnya terdepak oleh dinamika dominatif pria dalam "gebyar" sastra Indonesia6). Hal ini berarti kekhasan novelis wanita yang terbaca dalam gaya, topik atau pun jenis karya sastra yang dihasilkannya, hendaknya mendapat penghormatan  yang sama seperti yang diterima laki-laki.
    Â
Misalnya, novel Manusia Bebas karya novelis wanita Suwarsih Djojopuspito memiliki tema yang sama dengan Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belanggu-nya Armjin Pane. Masalah pembebasan perempuan dan perjuangan perempuan modern Indonesia untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat modern, khususnya dalam lingkungan perkawinan, mendapat variasi apresiasi ketika dihadapkan pada jati diri perempuan7).
    Â
Ketiga, feminisme sastra pada akhirnya menohok apa yang dapat disebut sebagai gender and literature. Tohokan ini mendasarkan analisisnya pada pertanyaan, "Mengapa perempuan secara sistematis diletakkan pada peran inferior dalam masyarakat sastra?" Hal ini berangkat dari cara pandang totalitas dan menganggap perempuan tidak semata-mata karena "keperempuanannya", melainkan sebagai social gender yang mempunyai peran yang sama dalam menjiwai dunia sastra Indonesia. Wanita dipandang lebih sebagai agen perubahan yang mampu mengisi kekosongan nilai sastra  yang mungkin terlewati laki-laki.
     Â
Pendekatan gender and literature mensyaratkan dua hal pokok, yaitu kesadaran reformatif dan transformatif dalam dunia sastra. Kesadaran reformatif berarti kesadaran untuk menyatukan semua perbedaan, khususnya yang berakitan dengan social gender, dalam harmoni kesastraan yang universal. Perbedaan-perbedaan yang ditohok dalam sebuah karya sastra akibat nasib kelaki-lakian atau keperempuanan disusun kembali untuk menemukan alur dunia sastra yang indiferen. Perbedaan yang dihasilkan bukanlah momok bagi kerawanan persepsi sastra, tetapi merupakan "getar-getar" harmoni sastra yang pada arus mudiknya menghasilkan keindahan keragaman dalam perbedaan.
     Â
Kesadaran transformatif berarti kesadaran akan fungsi sastra sebagai jalan pembebasan situasi batin setiap pengarangnya, tanpa melihat "siapa"-nya. Hal ini berarti bahwa baik laki-laki maupun wanita sama-sama memiliki dan dimiliki dunia sastra, entah sebagai pencipta atau entah sebagai peresepsi karya sastra. Tidak ada lagi dominasi laki-laki dalam "menggauli" sastra sebagaimana kesan selama ini.
    Â
Memang disadari bahwa arus besar novel karya novelis wanita Indonesia masih memiliki kemesraan dengan persoalan inferioritas (alias wanita) dan superioritas (alias laki-laki). Di dalam novelnya masih banyak tergores air mata perempuan di hadapan tawa ria laki-laki. Namun, tidak berarti bahwa karya sastra novelis wanita hanyalah sebuah perpanjangan tangan  dari keterasingan dan keterpinggiran perempuan. Nyatanya, novel-novel itu hadir sebagai propteptikos (pidato teguran) di tengah-tengah getholnya manipulasi patriarkat.
Catatan Rujukan
     1)Pembahasan tentang citra wanita dalam dunia sastra dapat dibaca secara mendalam dalam Soenarjati Djajanegara, 1987, Citra Wanita dalam Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita Amerika, Disertasi Universitas Indonesia, hal. 300-301.
     2)Idealnya perkawinan dua sejoli menempatkan posisi masing-masing dalam kesejajaran. Masalah suami mengurus soal luar dan istri mengurus soal dalam sering merupakan kesejajaran semu yang menyesatkan. Julia I. Suryakusuma membahasnya dalam Kalam, edisi tambahan Tempo, Mei 1990 di bawah judul "Potret Perempuan dalam Novel Indonesia", hal. 48.
     3)Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau merupakan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan. Rumusan ini diambil dari Webster's Ninth New Collegiate Dictionary, 1986, Merriam Webster Inc. Springfiels, Massachusetts, USA, hal. 456.
     4)Elaine Showalter (ed), 1985, The Feminist Criticism, Essays on Women, Literature, and Theory, Pantheon Books, New York, hal. 3.
     5)Jonathan Culler, 1983, On Deconstruction, Theory, and Criticism after Structuralism, Routledge and Kegan Paul, London, hal. 46-51.
     6)Menurut Ariel Heryanto, kedudukan wanita dalam sastra Indonesia sangat paradoks. Ada ketimpangan antara jumlah wanita dan laki-laki dalam puncak sejarah sastra Indonesia. Dapat dibaca dalam Basis XXXV, bulan Januari-Maret 1986,  dengan judul "Mencari Kaidah Estetika Sastra Kontekstual", hal. 33-38, 72-76, dan 107-115.
     7)Maman S. Mahayana, dkk., 1992, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Jakarta: Grasindo, hal. 288.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H