Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel Karya Wanita Indonesia: Menohok Inferioritas dan Superioritas

25 Oktober 2022   07:22 Diperbarui: 25 Oktober 2022   07:28 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Perkembangan KSF dapat ditangkap sebagai referat lain dari feminisme yang besar dan universal, yaitu feminisme sastra. Jika selama bertahun-tahun anggapan dunia sastra masih tetap berada pada "kehormatan" laki-laki, feminisme sastra dengan kritik sastranya menyulut kesadaran akan kompetensi potensial wanita dalam menjamah dunia kehidupan manusia. Sebagai penulis, pembaca, dan pengulas, wanita membawa persepsi baru  dan harapan-harapannya ke dalam pengalaman bersastra4) karena adanya kesinambungan antara pengalaman sosial dan struktur hubungannya selaku wanita dalam "menjepret" dunia sastra.

          

Feminisme sastra pada hakikatnya mau mengetengahkan bahwa perempuan memiliki realitas sastranya sendiri yang perlu disikapi secara rasional karena selama ini koherensi tematik dan historis sepertinya dikaburkan oleh dominasi nilai-nilai patriarkat dalam sastra. Padahal disadari bahwa wanita  mempunyai wadah dan kontinuitas nilai-nilai kemasyarakatan yang tidak dapat di-idem-dito-kan dengan kerangka tangkapan laki-laki. Wanita dapat membaca selaku wanita, mengarang selaku wanita, dan menafsirkan realitas sastra selaku wanita5).

          

Sebagai sebuah gerakan pemikiran, feminisme sastra memiliki nuansa-nuansa pembeberan yang mengalir menuju muara jati diri perempuan sebagai manusia yang bereksistensi dan berkoeksistensi. Pertama, pembeberan rasa kebencian perempuan terhadap genggaman realitas yang mempertuankan laki-laki. Lewat karya sastra yang diciptakannya, novelis wanita mendongkrak keterpencilan dan keterpinggiran perempuan akibat hukum tradisional yang secara kategoris memperlakukan perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang).

          

Rasmani harus menelan pil pahit ketika menerima keputusan Masrul, kekasihnya, untuk menikah dengan Aminah. Rasmani yang berstatus sosial sebagai guru harus menahan rasa sakitnya lagi ketika secara terpaksa juga Masrul harus menikah dengan Muslina, anak guru kepala, tempat Masrul meniti kariernya. Kehancuran hati Rasmani akibat ketidaktegasan sikap Masrul mengantarnya ke liang lahat (Kalau Tak Untung, 1933).

          

Kedua, pembeberan kesadaran bahwa jenis kelamin membawa perbedaan dalam menangkap narasi-narasi kehidupan. Kesadaran ini berusaha berpegang pada kekuatan radikal untuk menumbangkan konsep, asumsi, dan struktur yang dibangun oleh laki-laki. Keikutsertaan wanita amatlah penting, baik sebagai pencipta mauopun sebagai penikmat sastra karena sastra lebih cocok dengan kodrat wanita, walaupun akhirnya terdepak oleh dinamika dominatif pria dalam "gebyar" sastra Indonesia6). Hal ini berarti kekhasan novelis wanita yang terbaca dalam gaya, topik atau pun jenis karya sastra yang dihasilkannya, hendaknya mendapat penghormatan  yang sama seperti yang diterima laki-laki.

         

Misalnya, novel Manusia Bebas karya novelis wanita Suwarsih Djojopuspito memiliki tema yang sama dengan Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belanggu-nya Armjin Pane. Masalah pembebasan perempuan dan perjuangan perempuan modern Indonesia untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat modern, khususnya dalam lingkungan perkawinan, mendapat variasi apresiasi ketika dihadapkan pada jati diri perempuan7).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun