Â
Sepanjang sejarah peradaban manusia, sejak Plato sampai dengan tokoh-tokoh pemikir abad ini, perempuan masih merupakan persoalan. Proses penciptaan perempuan, misalnya, membenarkan inferioritas perempuan dan menguatkan superioritas laki-laki: perempuan berasal dari sepotong tulang rusuk laki-laki. Tidak heran jika Plato menimpali, "Perempuan adalah degradasi laki-laki; seorang laki-laki pengecut pada kelahirannya yang berikut akan menjadi perempuan". Tidak heran juga Aristoteles dengan garang mengatakan, Â "Andaikata perempuan pun punya jiwa, punya mereka tidak sepenuh yang dimiliki laki-laki". Tidak heran pula Nietzsche bersewot-sewot. "Perempuan adalah bentuk pengurangan laki-laki karena ia tidak memilki semen...dan laki-laki tidak bisa bereproduksi justru karena ia makhluk transenden; itu justru kemuliaan laki-laki. Perempuan kalau muda ia pencinta, kalau sudah tua pengaku dosa".
   Â
Perempuan menjadi sebuah persoalan yang rumit itu bukan hanya milik para pemikir dari berbagai zaman, tetapi juga mengental dalam tohokan para novelis wanita Indonesia. Tokoh Rasmani yang hancur hatinya karena cintanya kepada Masrul terpaksa dipendamnya sendiri akibat keragu-raguan Masrul dalam mengambil sikap (Kalau Tak Untung). Hamidah, yang menyadari bahwa di kampung halamannya kaum wanita belum mendapat tempat yang semestinya, akhirnya harus rela dimadu oleh Ridhan, suaminya, karena tidak memberikan keturunan (Kehilangan Mestika).Â
Manen pada akhirnya harus menghukum dirinya sendiri (bunuh diri) ketika cinta kasihnya terhadap Monang terhadang adat-istiadat sang kekasih, sementara anak dalam kandungannya harus digugurkan demi keselamatan dirinya; ia merasa bersalah terhadap Tuhan dan manusia (Raumanen). Arini yang tidak mau dimadu oleh suaminya Hardi, akhirnya memutuskan untuk kawin lari dengan Hendra, bekas pacarnya, yang menghasilkan tiga anak, walau mereka tidak menikah secara sah. Nasib Arini akhirnya menjelajah di atas puing-puing dan menjadi janda ketika Hendra mendapat musibah jatuhnya pesawat yang ditumpanginya (Di Atas Puing-Puing).
   Â
Di dalam persoalan perempuan itu tertegak dialektika oposisional dua arus kenyataan. Pertama, perempuan berhadapan dengan laki-laki atau inferioritas berhadapan dengan superioritas yang didukung oleh seperangkat tradisi yang cenderung "mempertuankan" laki-laki. Hukum tradisi sepertinya menguatkan posisi laki-laki dan terus-menerus berusaha mempertahankan kedudukan laki-laki dengan segala cara. Perempuan tampil sekadar makhluk yang pantas dikawini, diceraikan, dimadu, dibayar lebih rendah, dijadikan kawan di belakang (konco wingking), dan diharuskan untuk tunduk pada tradisi yang ada.
    Â
Kedua, kesadaran akan harga diri dan hak-haknya sebagai manusia selama ini dibelenggu oleh anggapan sosial yang menganaktirikannya. Mereka sepertinya menuntut kedewasaan pandang semua perangkat sosial sehingga tercipta suatu keadaan serba terang  untuk menjatuhkan pilihannya. Sepertinya ada keyakinan bahwa sebuah "perdamaian" antara laki-laki dan perempuan hanya dapat diwujudkan jika ada tata dunia baru yang ditegakkan di atas kebenaran, dibangun sesuai dengan premis keadilan, dihidupkan dan diintegrasikan oleh cinta kasih, serat dilaksanakan dalam "pelukan" kebebasan.
    Â
Kedua persoalan itu menjadi arus utama dalam setiap novel yang ditulis oleh novelis wanita. Dalam novel-novel tersebut dapat ditemukan deskripsi klasik sebagai berikut. Wanita tradisional terkungkung dalam citra kurang rasional, statis, terlalu menggantungkan kehidupan mereka kpada laki-laki, tidak bebas karena terikat pada adat-istiadat, dan menerima nilai hidup kekeluargaan secara dogmatis, pasif, nonagresif, tidak berdaya saing, berorientasi ke dalam (privat), terlalu peka berperasaan, subjektif, mudah menyerah, emosional, dan tidak suka mengambil risiko. Sementara itu, wanita modern dicitrakan sebagai perempuan yang selalu ingin maju, rasional, tidak terlalu menggantungkan hidupnya pada laki-laki, bebas dari ikatan adat, agama, lebih bersifat individual, dan mementingkan kebendaan.1)