Â
Ketiga, feminisme sastra pada akhirnya menohok apa yang dapat disebut sebagai gender and literature. Tohokan ini mendasarkan analisisnya pada pertanyaan, "Mengapa perempuan secara sistematis diletakkan pada peran inferior dalam masyarakat sastra?" Hal ini berangkat dari cara pandang totalitas dan menganggap perempuan tidak semata-mata karena "keperempuanannya", melainkan sebagai social gender yang mempunyai peran yang sama dalam menjiwai dunia sastra Indonesia. Wanita dipandang lebih sebagai agen perubahan yang mampu mengisi kekosongan nilai sastra  yang mungkin terlewati laki-laki.
     Â
Pendekatan gender and literature mensyaratkan dua hal pokok, yaitu kesadaran reformatif dan transformatif dalam dunia sastra. Kesadaran reformatif berarti kesadaran untuk menyatukan semua perbedaan, khususnya yang berakitan dengan social gender, dalam harmoni kesastraan yang universal. Perbedaan-perbedaan yang ditohok dalam sebuah karya sastra akibat nasib kelaki-lakian atau keperempuanan disusun kembali untuk menemukan alur dunia sastra yang indiferen. Perbedaan yang dihasilkan bukanlah momok bagi kerawanan persepsi sastra, tetapi merupakan "getar-getar" harmoni sastra yang pada arus mudiknya menghasilkan keindahan keragaman dalam perbedaan.
     Â
Kesadaran transformatif berarti kesadaran akan fungsi sastra sebagai jalan pembebasan situasi batin setiap pengarangnya, tanpa melihat "siapa"-nya. Hal ini berarti bahwa baik laki-laki maupun wanita sama-sama memiliki dan dimiliki dunia sastra, entah sebagai pencipta atau entah sebagai peresepsi karya sastra. Tidak ada lagi dominasi laki-laki dalam "menggauli" sastra sebagaimana kesan selama ini.
    Â
Memang disadari bahwa arus besar novel karya novelis wanita Indonesia masih memiliki kemesraan dengan persoalan inferioritas (alias wanita) dan superioritas (alias laki-laki). Di dalam novelnya masih banyak tergores air mata perempuan di hadapan tawa ria laki-laki. Namun, tidak berarti bahwa karya sastra novelis wanita hanyalah sebuah perpanjangan tangan  dari keterasingan dan keterpinggiran perempuan. Nyatanya, novel-novel itu hadir sebagai propteptikos (pidato teguran) di tengah-tengah getholnya manipulasi patriarkat.
Catatan Rujukan
     1)Pembahasan tentang citra wanita dalam dunia sastra dapat dibaca secara mendalam dalam Soenarjati Djajanegara, 1987, Citra Wanita dalam Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita Amerika, Disertasi Universitas Indonesia, hal. 300-301.
     2)Idealnya perkawinan dua sejoli menempatkan posisi masing-masing dalam kesejajaran. Masalah suami mengurus soal luar dan istri mengurus soal dalam sering merupakan kesejajaran semu yang menyesatkan. Julia I. Suryakusuma membahasnya dalam Kalam, edisi tambahan Tempo, Mei 1990 di bawah judul "Potret Perempuan dalam Novel Indonesia", hal. 48.