(Cerita Rakyat Flores Timur)
 Pieter Sanga Lewar
Dahulu kala di sebuah riang (dusun kecil), hiduplah dua anak laki-laki bersaudara kandung. Mereka adalah Nara (yang sulung) dan Nuba (yang bungsu). Umur mereka masih sangat muda.Â
Saat itu Nara berusia 15 tahun dan Nuba berusia 10 tahun. Orang tua mereka telah meninggal dunia; ibunya  meninggal dunia saat melahirkan Nuba dan ayahnya menyusul 5 tahun kemudian. Jadilah Nara dan Nuba anak yatim piatu.Â
Mereka tinggal di rumah yang sederhana, layaknya sebuah gubuk. Dindingnya terbuat dari ayaman bambu hutan. Atapnya terbuat dari alang-alang yang diikat. Lantainya hanya tanah kering yang berdebu. Tidak ada pembagian ruang yang jelas.Â
Tempat tidur dari bale-bale terletak di suatu sudut rumah dan di sudut yang lain ada tungku masak yang tersusun dari tiga batu. Ruangan yang seluas 4 x 4 meter itu dan dibagi-bagi dalam beberapa bagian tanpa sekat itu terasa sudah cukup untuk hidup mereka berdua.
Pada suatu pagi Nara dan Nuba pergi ke hutan untuk memotong bambu. Mereka ingin memperbaiki bagian rumah yang rusak. Ketika Nara sedang memotong bambu, terlihatlah Nuba seekor burung tekukur terbang dan hinggap di atas pohon bambu yang lain. Tubuh burung itu berukuran sedang (30 cm). Warnanya coklat kemerahjambuan.Â
Ekor burung itu tampak panjang. Bulu ekor terluar dengan tepi putih tebal. Bulu sayap lebih gelap dibanding tubuh. Ada bercak-bercak hitam putih khas pada leher. Iris jingga, paruh hitam, kaki merah. Hidup dekat dengan manusia. Mencari makan di permukaan tanah. Sering duduk berpasangan di tempat terbuka. Bila terganggu terbang rendah di permukaan tanah, dengan kepakan sayap pelan.
Agak lama Nuba memperhatikan burung tekukur itu. Sesekali burung itu meloncat dari ranting bambu ke ranting yang lain. Tiba-tiba burung itu berbunyi dan mengeluarkan suara.
"Tekukur....kur....., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi."
Nuba tersentak mendengar bunyi dan suara burung itu. Ia belum percaya apa yang didengarnya. Ia mencoba memasang telinga kembali, kalau-kalau burung itu berbunyi dan bersuara lagi. Ia semakin penasaran. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya tadi benar dan bukan halusinasi. Tak lama berselang, burung itu pun berbunyi lagi.
"Tekukur....kur...., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi."
Nuba yakin bahwa burung itu berbunyi dan bersuara. Apa yang didengarnya tadi tidak salah. Sungguh burung itu dapat berkata-kata. Burung itu pun berbunyi dan bersuara lagi.
"Tekukur....kur...., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi."
Mendengar burung itu berbunyi lagi untuk ketiga kalinya, Nuba lalu bergegas menghampiri Nara, kakaknya yang sedang memotong bambu.
"Kak, dengar tidak suara burung tekukur di atas pohon bambu ini?"
Nara berhenti memotong bambu ketika mendengar suara adiknya bertanya. "Tidak......tidak mendengar bunyi apa pun. Memang ada bunyi apa?"
"Burung tekukur di atas pohon bambu itu berbunyi dan bersuara, Kak."
"Masa si burung bisa bersuara seperti manusia? Apa kata burung itu?"
"Katanya begini, 'bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi', Kak!"
"Hem.... Adik salah dengar kali."
"Aku sudah dengar tiga kali, Kak. Aku tidak salah dengar. Itu burungnya, masih di tempat yang sama sejak tadi."
Nara melihat ke arah tempat bertenggernya burung yang ditunjukkan Nuba. Memang ada seekor burung tekukur di ranting bambu itu. Ia jadi penasaran. Ia ingin cepat memastikan bahwa apa yang dikatakan adiknya itu tidak benar. Tidak mungkin seekor burung dapat berkata-kata apalagi burung yang sudah biasa berada di sekitar dusunnya. Burung itu meloncak turun ke ranting pohon bambu di bawahnya.
"Tekukur....kur...., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi."
"Kak, dengar suara burung itu toh?" Nuba memastikan kakaknya mendengarkan apa yang dikatakan burung tekukur itu. "Burung tekukur itu berbunyi dan bersuara lagi, Kak."
"Tidak ada suara burung, bunyi pun tidak," Nara memastikan bahwa burung yang terus melompat turun ke ranting bambu yang lebih rendah itu tidak mengeluarkan suara apa pun, bunyi pun tidak. Ia tidak mendengarkan apa-apa. "Adik pulang dulu saja ke rumah. Istirahat. Mungkin semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak."
Burung tekukur itu melompat turun semakin dengan dengan Nuba. Tiba-tiba burung itu meloncat dan hingggap di bahu kanan Nuba. Nara kaget melihat burung yang begitu jinak dengan Nuba. Ia heran mengapa burung tekukur itu dapat hinggap di bahu adiknya dengan damai.
"Ini kan burung itu, Kak. Tekukur bisa bersuara. Aku dengar dengan jelas, tidak bohong, Kak," jelas Nuba seraya memegang lembut burung itu.
"Iya, tapi aku tidak mendengar apa-apa," imbuh Nara sembil mengamati burung tekukur itu.
Nuba memegang erat burung tekukur dan ingin cepat membawa burung itu pulang ke rumah. "Kak, aku bawa burung ini pulang dulu saja. Aku yakin burung ini punya maksud tertentu seperti yang aku dengar tadi."
"Ya, Adik pulang dulu saja. Aku selesaikan potong bambu itu. Nanti aku susul pulang."
Nuba pulang ke rumah membawa burung tekukur. Hatinya begitu girang sepertinya ada tanda-tanda pasti bahwa burung itu akan bertelur jadi padi. Angannya melayang, betapa bahagianya jika apa yang dikatakan burung itu menjadi kenyataan. Dirinya bahagia, kakaknya, dan semua warga dusun itu akan mendapatkan kebahagiaan.
Matahari yang terus bersinar terik menjelang tengah hari tak mampu mengeringkan rasa senang yang membasahi perasaannya. Gemerecik gesekan dedaunan yang tersibak angin seakan-akan turut bersenandung mengiringi langkah bahagia Nuba membawa pulang burung tekukur.Â
Jalan setapak yang berkelok dan berkerikil tajam, terkadang menurun dan terkadang menanjak, serta beberepa kali melewati aliran air kali, tak mampu menghentikan langkahnya untuk segera tiba di rumahnya. Bayangan keajaiban burung tekukur itu terus. membuncah dalam angan kecilnya. Sementera itu, Â burung terkukur pun terus bernyanyi, 'bawalah aku, aku akan bertelur jadi padi'. Â Â Â Â
Nuba tiba juga di susunnya, yang hanya terdiri dari belasan rumah dan jarak antarrumah pun berjauhan. Kalau malam hari dusun itu terlihat tanpa penghuni karena tidak ada listrik. Masing-masing rumah membuat penerangan dari buah damar yang ditumbuk dan membalutnya pada sebilah panjang bambu, menyerupai lilin untuk dibakar. Satu buah penerangan dari buah damar itu dapat bertahan tiga empat jam. Dengan demikian, jelaslah bahwa jika malam tiba, kegiatan di dusun itu hanya mengandalkan penerangan dari  buah damar itu.
Dengan hati riang, Nuba memasukkan burung tekukur itu ke dalam tempat penyimpanan padi, yang terbuat dari anyaman daun pohon lontar. Wadah penyimpanan padi yang dimiliki keluarga Nuba cukup besar; dapat menyimpan lima ton padi. Esok pagi wadah itu sudah penuh padi, pikirnya sambil berbalik badan meninggalkan niduk (tempat penyimpanan hasil panen petani yang bebentuk rumah panggung kecil).
"Di mana burung itu, Dik?" tanya Nara mengejutkan Nuba. Rupanya Nara sudah kembali dari hutan membawa beberapa potong bambu dalam satu ikatan.
"Di niduk, Kak. Di dalam wadah padi," jelas Nuba.
"Untuk apa diletakkan di situ? Kalau burung itu mati gimana? Itu kan hanya seekor nurung, Dik."
"Iya si, Kak. Tapi aku yakin, burung ini ajaib dan dapat memberikan keajaiban seperti yang disuarakannya, Kak."
"Oh, begitu. Ya, sudah, kita lihat hasilnya esok pagi," suara Nara merendah dan ia tidak ingin melukai hati Nuba, adik satu-satunya yang sangat disayanginya.
Langit sebelah barat dusun itu memerah. Sesaat lagi matahari akan tenggelam. Burung-burung di udara terbang kembali ke peraduannya. Malam akan menjemput segala kepenatan hidup untuk sejenak mengistirahatkan diri agar esok pagi terbangun bugar untuk beraktivitas. Seperti hari kemarin dan pasti juga untuk hari esok, malam hari  di dusun itu tetap sunyi sepi dan gelap gulita; semua seakan-akan terkubur dalam kegelapan malam. Malam tanpa cahaya.
Nara dan Nuba membaringkan diri di atas bale-bale, tempat tidur yang terbuat dari bambu. Tidak ada tikar yang mengalasinya; tidak ada bantal yang menopang kepala mereka. Mereka sudah terbiasa tidur di atas belahan bambu yang dianyam rapi. Dunia hidup mereka begitu sederhana dan ugahari.
Nara sudah tertidur lelap. Namun, Nuba belum dapat memejamkan matanya. Pikirannya masih tertuju pada burung tekukur yang ada dalam wadah padi di niduknya. Apa yang akan terjadi esok pagi? Ia hanya berharap bahwa apa yang dikatakan burung tekukur itu sungguh-sungguh menjadi kenyataan.Â
Ia membalikkan badannya, menghadap ke arah dinding rumah. Ia terus mencoba tidur, tapi matanya tak mampu dikatupkan. Malam menjadi terasa panjang. Ia ingin ayam cepat berkokok dan fajar pagi merekah. Namun, apa daya malam terus berguling perlahan sesuai dengan kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan (Penguasa Langit dan Bumi atau Tuhan Yang Maha Esa). Malam yang panjang dan menggelisahkannya.
Kokok ayam ketiga terdengar jelas, pertanda pagi hari segera tiba. Nuba bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk di depan rumahnya. Ia belum berani ke niduk itu karena masih cukup gelap. Beberapa saat kemudian, ayam-ayam di dusun itu mulai turun dari pohon, tempat mereka bertengger semalaman. Di ufuk timur, cahaya pagi merekah. Matahari akan segera keluar dari balik bukit di dusun itu.
Nuba bergerak lari ke niduk. Ia naik ke panggung dan membuka tutup wadah pagi itu. Ia sangat terkejut. Wadah padi itu sudah penuh dengan butir-butir padi yang indah dan pada berisi. Secepat kilat Nuba menghampiri kakaknya yang masih tidur.
"Kakak......, ajaib Kak......! Bangun, Kak! Burung tekukur itu  benar-benar bertelur jadi padi, Kak!"
Nara terperanjat bangun mendengar teriakan Nuba. "Ada apa, Dik?" tanya Nara sambil mengusap matanya.
"Burung itu ajaib, Kak. Sudah bertelur jadi padi, Kak."
Secepat kilat keduanya menuju niduk. Nara membuka tutup wadah padi dan melihat wadah itu penuh padi. Wajah keduanya begitu gembira bercampur haru.Â
Seketika mereka merebahkan diri dan bersujud menyembah Sang Lera Wulan Tana Ekan. Mereka bersyukur atas kasih karunia Lera Wulan Tana Ekan yang tak pernah putus memberi mereka kehidupan. Mereka teringat akan pesan orang tua: "Apa pun yang terjadi dalam hidup ini jangan pernah meninggalkan Lera Wulan Tana Ekan. Hidup dan kehidupan ini adalah milik-Nya. Segala kesenangan dan segala kedukaan yang kita alami, kita pasrahkan kepada kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan.
Tiba-tiba burung tekukur melompat turun dan hinggap lagi di bahu Nuba. "Tekukur....kur...., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku ke tempat lain, aku akan bertelur jadi padi." Anehnya, suara burung itu tidak pernah terdengar oleh Nara.
Nara dan Nuba menyiapkan tempat padi yang lain. Burung tekukur itu pun dimasukkan ke dalamnya. Setengah hari lamanya, tempat itu sudah penuh dengan padi. Semua tempat penampungan padi di rumah Nara dan Nuba sudah penuh.Â
Kemudian mereka meminta tetangga sedusun menyiapkan juga wadah padi yang besar agar burung tekukur itu pun dapat bertelur di sana. Selama seminggu lebih burung itu pun bertelur memenuhi semua wadah yang tersedia. Luar biasa. Semua warga dusun sudah mendapat bahan makanan yang sangat cukup.
Warga dusun itu pun bersujud dan bersyukur kepada Lera Wulan Tana Ekan yang telah memberi mereka biji-biji padi yang bernas lewat seekor burung tekukur yang ajaib. Kegembiraan mereka itu dan kajaiban burung tekukur itu menyebar ke dusun-dusun yang lain. Tidak heran warga dusun lain berduyun-duyun datang ke dusun itu. Kehadiran warga dusun lain disambut dengan suka cita dan mereka membagikan berkilo-kilo padi kepada yang datang.
Wajah Nara dan Nuba tampak berseri. Di samping mereka merasa senang karena burung itu sudah memberikan kegembiraan kepada semua warga dusun, peristiwa ajaib itu memperjelas hakikat kebersamaan hidup manusia untuk saling menolong. Nara dan Nuba masih sangat kuat mengingat pesan almahrum ayahnya: "Kegembiraan yang dibagikan kepada orang lain, khususnya yang berkekurangan, akan menjadi lebih besar dan penderitaan yang dibagikan kepada sesama manusia akan menjadi kecil."
Berita tentang burung ajaib  itu terus berkembang dari mulut ke mulut. Berita itu pun sampai juga ke telinga Raja Don Mas, penguasa tunggal daerah itu. Setelah mendengar cerita itu dari para pegawai istana, Raja Don Mas mengirimkan beberapa prajurit untuk mengambil burung ajaib itu. Sepanjang perjalanan, para prajurit itu pun menyaksikan bahwa semua warga dusun di sekitar kerajaan telah memiliki lumbung padi yang besar dan banyak.
Setibanya prajurit di rumah Nara dan Nuba, mereka langsung meminta burung ajaib itu kepada Nuba. "Raja Don Mas memerintahkan agar kamu menyerahkan burung itu kepada kami untuk dibawa ke istana," tegas kepala pasukan itu kepada Nara dan Nuba.
"Jika ini kehendak Raja Don Mas, ya saya serahkan burung tekukur ini," kata Nara merendah sambil melirik Nuba yang kelihatan pucat ketakutan.
Air mata Nuba jatuh ke pipinya. Dalam hatinya, ia tidak mau kehilangan burung ajaib itu. Namun, karena perintah raja, ia rela melepaskan burung tekukur itu. "Apa yang kumiliki saat ini hanyalah anugerah Sang Lera Wulan Tana Ekan. Semua yang ada padaku bukan milikku yang abadi," gumamnya dalam hati.
Burung tekukur itu pun  dibawa ke istana raja. Selama perjalanan, burung tekukur itu tidak pernah mengeluarkan bunyi atau suara. Rupanya ia turut bersedih meninggalkan Nuba di dusun. Lama perjalanan kira-kira setengah hari jaraknya dari dusun Nara dan Nuba. Para prajurit tiba di istana pada sore hari. Hati sang raja begitu senang. Dalam hatinya berkata bahwa untuk selanjutnya kerjaannya tidak akan kekurangan makanan dan semua orang di istana tidak perlu bekerja keras karena burung ajaib itu akan menelurkan biji-biji padi.
"Siapkan sebanyak mungkin wadah penampungan padi dan letakkan dalam lumbung-lumbung padi yang ada di sekitar istana," perintah Raja Don Mas kepada prajurit-prajuritnya.
Prajurit memasukkan burung tekukur ke dalam wadah padi di lumbung pertama. Semua berharap esok pada wadah itu sudah penuh biji-biji padi. Sang raja pun tidak dapat tidur nyenyak karena memikirkan kegembiraan yang besar atas terpenuhinya lumbung-lumbung padi di istana.
Sementara di dusun yang gelap dan sepi, Nuba memikirkan nasib burung ajaib itu. Apa yang akan terjadi pada burung itu jika harapan dan keinginan Raja Don Mas tidak terpenuhi. Sepertinya ada tanda bahwa nasib burung ajaib itu akan buruk di tangan raja. Namun demikian, Nuba serahkan semua peristiwa hidupnya kepada Lera Wulan Tana Ekan.
Matahari pagi bersinar kembali. Raja Don Mas bangun dan bergegas menuju lumbung pertama. Ia ingin memastikan bahwa harapannya terpenuhi di lumbung itu. Ia naik tangga lumbung itu dengan senang. Bibirnya bersiul-siul kecil sementara tangan kirinya memegang tongkat kekuasaannya. Ia menyuruh seorang prajurit membuka tutup wadah padi itu.
"Hah....bau apa ini?" bentak raja kepada prajurit. "Sepertinya bau tai ayam. Coba kamu raba dan cium baunya."
"Ya, tuan."
"Apa yang kamu rasakan, prajurit?"
"Ini....ini tuan..., tai ayam......"
"Hah.....tai ayam? Benar-benar kurang ajar anak yang punya burung itu. Prajurit! Bawa pasukan ke dusun itu. Tangkap anak itu. Bawalah dia ke sini dan perintahkan kepadanya untuk membujuk burung jelek itu bertelur jadi padi. Perintahkan semua warga dusun yang telah memiliki padi untuk menyerahkannya ke istana hari ini juga. Semua padi harus dipikul ke istana tanpa meninggalkannya di rumah-rumah mereka."
Semua prajurit bergerak secepat kilat menuju rumah Nara dan Nuba. Para prajurit kemudian menangkap Nara dan Nuba dan dibawa menghadap raja pada sore harinya.
"He, kamu tahu tidak aku ini siapa?" tanya Raja Don Mas kepada Nara dan Nuba.
"Kami tahu, tuan. Tuan adalah Raja Don Mas, raja kami, tuan," suara Nara merendah dan wajahnya merunduk ke lantai istana.
"Sejak kapan kamu berdua berani membohongi aku rajamu," suaranya meninggi. "Katanya burung itu dapat bertelur jadi padi, kok yang keluar hanya tainya yang bau busuk itu?"
"Ampun, tuan. Kami berdua tidak tahu. Â Burung itu datang sendiri mendekati kami dan bertelur menjadi padi. Kami hanya tahu itu, tuan Raja Don Mas," jelas Nara perlahan.
"Prajurit, masukkan kedua anak ingusan itu ke dalam tahanan. Sebelum itu, pindahkan burung itu ke lumbung kedua dan suruh anak ingusan ini memerintahkan burung tekukur itu bertelur menjadi padi. Jika esok pagi hasilnya sama seperti tadi, sembelihlah burung itu sabagai santapan pagi hari."
Nuba memandang sedih burung tekukur. Begitu pun burung itu. Mata yang beradu terasa meneteskan air mata. Sepertinya air mata keduanya itu sebagai tanda perpisahan yang kekal. Mereka membisu dalam kepedihan, tak ada kata atau suara yang menegaskan perpisahan yang bakal terjadi di hari esok. "Ya, sudahlah. Aku serahkan seluruh hidup dan kehidupanku, kakakku, dan burung ajaib itu kepada kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan."
Pagi hari yang cerah tapi tak ada cahaya cerah di wajah Nara dan Nuba. Raja Don Mas memerintahkan prajuritnya memeriksa isi lumbung kedua. Bau busuk tai burung menyengat sekeliling istana. Istana jadi geger dan raja pun naik pitam.
"Prajurit! Bereskan sampah itu! Tangkap dan potong  burung itu. Masak dan hidangkan sebagai sarapan pagi! Keluarkan kedua anak ingusan itu dan usir mereka dari hadapanku!"
Burung tekukur itu dimatikan dan dimasak jadi makanan pagi sang raja. Nuba begitu sedih melihat semua itu. Nara menguatkan perasaan adiknya. "Dik, jangan sedih, kita harus kuat menghadapi cobaan ini. Kita hanya orang kecil dan melarat. Tak ada yang dapat kita lakukan kecuali berusaha lebih sabar. Serahkan semua ini pada kehendak  Lera Wulan Tana Ekan."
"Iya, Kak! Hanya aku ingin mendapatkan tulang burung itu. Aku ingin membawanya pulang dan menguburkannya di dekat rumah kita."
Raja Don Mas sudah selesai melahap daging burung tekukur itu. Seorang pelayan istana membuang tulang burung itu di tempat sampah. Nara dan Nuba bergegas mengambilnya. Mereka membungkuskan dengan daun pisang dan membawa pulang ke rumah. Walau perasaan mereka sedih, mereka agak terhibur dengan adanya tulang-tulang burung tekukur itu. Nuba memegang bungkusan tulang-belulang itu dan mereka berjalan cepat pulang ke rumah agar tidak kemalaman di jalan.
Malam hari telah menjemput Nara dan Nuba ketika mereka tiba di rumah. Walaupun keadaan gelap dan hanya diterangi lilin damar, mereka menguburkan tulang burung tekukur itu di samping rumahnya. Setelah itu, mereka beristirahat malam, melepaskan kepenatan pikiran dan badan mereka. Kehadiran burung tekukur telah membawa dampak bagi kehidupan Nara dan Nuba. Ada situasi gembira yang menyelimuti warga dusun itu dan sekitarnya. Namun, ada juga penderitaan yang mengharuskan keikhlasan hati untuk menerimanya.
Gumpalan asap merambat naik dari rumah-rumah warga di dusun itu. Beberapa ekor ayam berkokok riang di halaman rumah Nara dan Nuba. Mereka mengais-ngais tanah yang agak lembap hendak mencari sarapan pagi, entah cacing atau butir-butir padi yang barangkali tercecer saat prajurit kerajaan merampas padi-padi milik Nara dan Nuba atau milik warga lainnya.Â
Seekor ayam jantan mengepak-ngepak sayapnya sambil berkokok panjang menunjukkan kekuatan dan keperkasaannya. Â Kaki langit sebelah timur kemerah-merahan sebagai penunjuk si raja siang akan muncul sesaat lagi. Angin pagi yang terasa sejuk mengawali rutinitas warga dudun itu.
Nuba terperanjat bangun oleh kokok ayam jantan di depan pinta rumahnya. Ia keluar rumah. Ia memalingkan wajahnya ke arah tempat penguburan tulang-tulang burung tekukur. Alangkah terkejutnya, sebuah pohon telah tumbuh di tempat itu. Nuba segera membangunkan Nara, kakaknya, dan memperlihatkan pohon yang tumbuh di samping rumahnya itu. Anehnya lagi, pohon itu terus bertumbuh dengan cepat dan dalam beberapa jam sudah menghasilkan buah. Buahnya lebat sekali.
Nuba mencoba memetik sebuah untuk melihat isinya. Ia membuka buah itu dengan tangannya. "Kak, coba lihat! Ada emas di dalamnya," teriaknya heran bercampur gembira.
"Emas?" tanya Nara ingin tahu. Ia berjalan ke arah Nuba. "Benar! Ini biji emas murni."
Nara dan Nuba memetik buah pohon itu. Tetapi anehnya, buah yang telah diambil akan tumbuh buah yang baru yang sama besarnya dengan buah yang dipetik. Sudah banyak biji emas yang mereka kumpulkan. Rasanya sudah cukup untuk hidup mereka. Lalu Nuba memberi kabar kepada tetanggganya untuk mengambil buah-buah dari pohon itu. Semua warga kampung yang miskin dan sederhana itu mendapatkan emas yang ada dalam buah itu. Bahkan warga dusun lain pun dengan senang hati memetik buah emas itu. Semua merasa gembira.
Akan tetapi kabar tentang pohon berbuah emas itu sampai juga ke telinga Raja Don Mas. Seorang raja yang kejam, licik, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Ia menyusun rencana untuk mengambil pohon berbuah emas itu dari rumah Nara dan Nuba. Ia memerintahkan prajurit untuk pergi ke dusun Nara dan Nuba untuk memetik seluruh buah pohon ajaib itu.Â
"Semua buah itu harus dibawa ke istana dan pohon ajaib itu harus dirobohkan. Semua biji emas yang ada di tangan warga harus diambil juga. Jangan biarkan warga memiliki emas sepotong pun. Jika ada warga yang melawan, bunuh saja. Ini titah raja."
Para prajurit datang ke rumah Nara dan Nuba. Mereka memetik semua buah pohon ajaib itu. Anehnya, tidak ada buah yang tumbuh baru menggantikan buah yang dipetik sebagaimana yang dialami Nara dan Nuba. Mereka membawa pulang ke istana buah-buah itu. Sebelumnya, mereka merobohkan pohon itu dan membakarnya sampai menjadi debu. Tidak ada yang tertinggal.
Nara dan Nuba hanya bersikap pasrah. Tak ada yang dapat mereka lakukan. Semua peristiwa hidup mereka sudah diserahkan kepada kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan. Mereka tidak akan menangisi nasibnya; mereka tetap menegakkan kepala bagaikan bunga-bunga mengangkat mahkotanya untuk menyambut fajar. Kekuatan keyakinan itulah yang membuat mereka hidup dan bertahan dalam segala situasi.
Dengan gembira Raja Don Mas mulai membuka buah-buah itu. Begitu buah pertama dibuka, seekor ular berbisa meloncat dari dalam buah. Ular itu mengejutkan raja dan berlari mengikutinya sampai ke singgasana. Tiba-tiba semua buah itu pecah dan mengeluarkan begitu banyak ular berbisa. Ular-ular itu mengejar raja dan ramai-ramai menggigitnya sampai mati. Raja Don Mas mati digigit ular berbisa di atas singgasananya sendiri.
Â
******
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI