"Hah....bau apa ini?" bentak raja kepada prajurit. "Sepertinya bau tai ayam. Coba kamu raba dan cium baunya."
"Ya, tuan."
"Apa yang kamu rasakan, prajurit?"
"Ini....ini tuan..., tai ayam......"
"Hah.....tai ayam? Benar-benar kurang ajar anak yang punya burung itu. Prajurit! Bawa pasukan ke dusun itu. Tangkap anak itu. Bawalah dia ke sini dan perintahkan kepadanya untuk membujuk burung jelek itu bertelur jadi padi. Perintahkan semua warga dusun yang telah memiliki padi untuk menyerahkannya ke istana hari ini juga. Semua padi harus dipikul ke istana tanpa meninggalkannya di rumah-rumah mereka."
Semua prajurit bergerak secepat kilat menuju rumah Nara dan Nuba. Para prajurit kemudian menangkap Nara dan Nuba dan dibawa menghadap raja pada sore harinya.
"He, kamu tahu tidak aku ini siapa?" tanya Raja Don Mas kepada Nara dan Nuba.
"Kami tahu, tuan. Tuan adalah Raja Don Mas, raja kami, tuan," suara Nara merendah dan wajahnya merunduk ke lantai istana.
"Sejak kapan kamu berdua berani membohongi aku rajamu," suaranya meninggi. "Katanya burung itu dapat bertelur jadi padi, kok yang keluar hanya tainya yang bau busuk itu?"
"Ampun, tuan. Kami berdua tidak tahu. Â Burung itu datang sendiri mendekati kami dan bertelur menjadi padi. Kami hanya tahu itu, tuan Raja Don Mas," jelas Nara perlahan.
"Prajurit, masukkan kedua anak ingusan itu ke dalam tahanan. Sebelum itu, pindahkan burung itu ke lumbung kedua dan suruh anak ingusan ini memerintahkan burung tekukur itu bertelur menjadi padi. Jika esok pagi hasilnya sama seperti tadi, sembelihlah burung itu sabagai santapan pagi hari."