Nuba memandang sedih burung tekukur. Begitu pun burung itu. Mata yang beradu terasa meneteskan air mata. Sepertinya air mata keduanya itu sebagai tanda perpisahan yang kekal. Mereka membisu dalam kepedihan, tak ada kata atau suara yang menegaskan perpisahan yang bakal terjadi di hari esok. "Ya, sudahlah. Aku serahkan seluruh hidup dan kehidupanku, kakakku, dan burung ajaib itu kepada kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan."
Pagi hari yang cerah tapi tak ada cahaya cerah di wajah Nara dan Nuba. Raja Don Mas memerintahkan prajuritnya memeriksa isi lumbung kedua. Bau busuk tai burung menyengat sekeliling istana. Istana jadi geger dan raja pun naik pitam.
"Prajurit! Bereskan sampah itu! Tangkap dan potong  burung itu. Masak dan hidangkan sebagai sarapan pagi! Keluarkan kedua anak ingusan itu dan usir mereka dari hadapanku!"
Burung tekukur itu dimatikan dan dimasak jadi makanan pagi sang raja. Nuba begitu sedih melihat semua itu. Nara menguatkan perasaan adiknya. "Dik, jangan sedih, kita harus kuat menghadapi cobaan ini. Kita hanya orang kecil dan melarat. Tak ada yang dapat kita lakukan kecuali berusaha lebih sabar. Serahkan semua ini pada kehendak  Lera Wulan Tana Ekan."
"Iya, Kak! Hanya aku ingin mendapatkan tulang burung itu. Aku ingin membawanya pulang dan menguburkannya di dekat rumah kita."
Raja Don Mas sudah selesai melahap daging burung tekukur itu. Seorang pelayan istana membuang tulang burung itu di tempat sampah. Nara dan Nuba bergegas mengambilnya. Mereka membungkuskan dengan daun pisang dan membawa pulang ke rumah. Walau perasaan mereka sedih, mereka agak terhibur dengan adanya tulang-tulang burung tekukur itu. Nuba memegang bungkusan tulang-belulang itu dan mereka berjalan cepat pulang ke rumah agar tidak kemalaman di jalan.
Malam hari telah menjemput Nara dan Nuba ketika mereka tiba di rumah. Walaupun keadaan gelap dan hanya diterangi lilin damar, mereka menguburkan tulang burung tekukur itu di samping rumahnya. Setelah itu, mereka beristirahat malam, melepaskan kepenatan pikiran dan badan mereka. Kehadiran burung tekukur telah membawa dampak bagi kehidupan Nara dan Nuba. Ada situasi gembira yang menyelimuti warga dusun itu dan sekitarnya. Namun, ada juga penderitaan yang mengharuskan keikhlasan hati untuk menerimanya.
Gumpalan asap merambat naik dari rumah-rumah warga di dusun itu. Beberapa ekor ayam berkokok riang di halaman rumah Nara dan Nuba. Mereka mengais-ngais tanah yang agak lembap hendak mencari sarapan pagi, entah cacing atau butir-butir padi yang barangkali tercecer saat prajurit kerajaan merampas padi-padi milik Nara dan Nuba atau milik warga lainnya.Â
Seekor ayam jantan mengepak-ngepak sayapnya sambil berkokok panjang menunjukkan kekuatan dan keperkasaannya. Â Kaki langit sebelah timur kemerah-merahan sebagai penunjuk si raja siang akan muncul sesaat lagi. Angin pagi yang terasa sejuk mengawali rutinitas warga dudun itu.
Nuba terperanjat bangun oleh kokok ayam jantan di depan pinta rumahnya. Ia keluar rumah. Ia memalingkan wajahnya ke arah tempat penguburan tulang-tulang burung tekukur. Alangkah terkejutnya, sebuah pohon telah tumbuh di tempat itu. Nuba segera membangunkan Nara, kakaknya, dan memperlihatkan pohon yang tumbuh di samping rumahnya itu. Anehnya lagi, pohon itu terus bertumbuh dengan cepat dan dalam beberapa jam sudah menghasilkan buah. Buahnya lebat sekali.
Nuba mencoba memetik sebuah untuk melihat isinya. Ia membuka buah itu dengan tangannya. "Kak, coba lihat! Ada emas di dalamnya," teriaknya heran bercampur gembira.