Ia membalikkan badannya, menghadap ke arah dinding rumah. Ia terus mencoba tidur, tapi matanya tak mampu dikatupkan. Malam menjadi terasa panjang. Ia ingin ayam cepat berkokok dan fajar pagi merekah. Namun, apa daya malam terus berguling perlahan sesuai dengan kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan (Penguasa Langit dan Bumi atau Tuhan Yang Maha Esa). Malam yang panjang dan menggelisahkannya.
Kokok ayam ketiga terdengar jelas, pertanda pagi hari segera tiba. Nuba bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk di depan rumahnya. Ia belum berani ke niduk itu karena masih cukup gelap. Beberapa saat kemudian, ayam-ayam di dusun itu mulai turun dari pohon, tempat mereka bertengger semalaman. Di ufuk timur, cahaya pagi merekah. Matahari akan segera keluar dari balik bukit di dusun itu.
Nuba bergerak lari ke niduk. Ia naik ke panggung dan membuka tutup wadah pagi itu. Ia sangat terkejut. Wadah padi itu sudah penuh dengan butir-butir padi yang indah dan pada berisi. Secepat kilat Nuba menghampiri kakaknya yang masih tidur.
"Kakak......, ajaib Kak......! Bangun, Kak! Burung tekukur itu  benar-benar bertelur jadi padi, Kak!"
Nara terperanjat bangun mendengar teriakan Nuba. "Ada apa, Dik?" tanya Nara sambil mengusap matanya.
"Burung itu ajaib, Kak. Sudah bertelur jadi padi, Kak."
Secepat kilat keduanya menuju niduk. Nara membuka tutup wadah padi dan melihat wadah itu penuh padi. Wajah keduanya begitu gembira bercampur haru.Â
Seketika mereka merebahkan diri dan bersujud menyembah Sang Lera Wulan Tana Ekan. Mereka bersyukur atas kasih karunia Lera Wulan Tana Ekan yang tak pernah putus memberi mereka kehidupan. Mereka teringat akan pesan orang tua: "Apa pun yang terjadi dalam hidup ini jangan pernah meninggalkan Lera Wulan Tana Ekan. Hidup dan kehidupan ini adalah milik-Nya. Segala kesenangan dan segala kedukaan yang kita alami, kita pasrahkan kepada kehendak Sang Lera Wulan Tana Ekan.
Tiba-tiba burung tekukur melompat turun dan hinggap lagi di bahu Nuba. "Tekukur....kur...., tekukur....kur....., tekukur...kur! Bawalah aku ke tempat lain, aku akan bertelur jadi padi." Anehnya, suara burung itu tidak pernah terdengar oleh Nara.
Nara dan Nuba menyiapkan tempat padi yang lain. Burung tekukur itu pun dimasukkan ke dalamnya. Setengah hari lamanya, tempat itu sudah penuh dengan padi. Semua tempat penampungan padi di rumah Nara dan Nuba sudah penuh.Â
Kemudian mereka meminta tetangga sedusun menyiapkan juga wadah padi yang besar agar burung tekukur itu pun dapat bertelur di sana. Selama seminggu lebih burung itu pun bertelur memenuhi semua wadah yang tersedia. Luar biasa. Semua warga dusun sudah mendapat bahan makanan yang sangat cukup.