"Padahal kalau mau jujur, Papamu bahkan tak  pantas untuk diperjuangkan apa lagi untuk mendapatkan kesetian Mamamu. Tapi Mamamu malah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangganya dengan Papamu. Hanya demi menjaga supaya kamu tetap punya sosok ayah. Setiap kali Om Tanya mau nunggu apa lagi baru berani ambil keputusan, Mamamu selalu bilang...'nunggu Maryam yang minta aku ninggalin Papanya'"
Dan benar. Mama akhirnya berani melakukannya karena permintaanku. Aku tak tega melihat Mamaku disakiti setiap hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah menahan hantaman. Batinnya bahkan sudah meronta-ronta sejak lama.
***
"Om mau minta ijin darimu, Mar. Bolehkah Om jadi ayah sambungmu? Jadi pelindung untuk Ibumu di umurnya yang sudah tidak muda lagi?"
Aku sudah menduga kalau Om Gibran akan menyampaikan hal ini padaku. Hanya saja, aku tak menyiapkan jawabanku lebih dulu.
"Kalau terlalu cepat untukmu, Om masih bersedia menunggu. Om tau, Mamamu tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu tak bahagia. Kebahagiaanmu diatas segalanya untuk dia" Sambungnya ketika melihatku sedikit terganggu dengan pernyataannya.
Aku tau itu. Mama sangat mencintaiku. Sekali pun aku selalu mengingatkannya pada laki-laki yang membuat keadaannya sangat memprihatinkan seperti sekarang. Papaku...
"Bukan itu maksud Maryam, Om. Tapi kondisi Mama sekarang masih sangat tidak baik. Om yakin bisa menghadapi kondisi Mama yang seperti ini."
"Om yakin kamu nggak butuh jawaban. Yang kamu butuh pasti bukti."
Wawan pun menjelaskan, kembalinya Om Gibran di hidup Mama nyatanya memang membawa pengaruh baik. Dan aku juga meihatnya. Aku tak punya alasan untuk menarik kembali Om Gibran jauh dari sisi Mama.
***