"Om, Mama sudah tidur. Teleponlah lain waktu." Jawabku sambil  mengelak.
Hei Aisyah,Â
Entah hanya intuisiku saja yang berlebihan atau memang benar adanya. Aku mencemaskan kondisimu. Hatiku bilang kau sedang tidak baik-baik saja. Kalau kau baca pesanku ini, setidaknya balaslah supaya aku yakin kalau kondisimu tidak seperti yang aku pikirkan. Kau mau bertahan berapa lama lagi untuk tidak membalas pesanku, Aisyahku?
Pesan singkat dari Om Gibran membuatku bertanya-tanya. Selama ini, setelah bertahu-tahun Mama bercerai dengan Papa, Mama bahkan tak pernah bercerita tentang lelaki lain. Apa lagi sampai memiliki ikatan batin sekuat ini. Yang terkonekasi kalau Mama sedang tidak baik-baik saja.
"Om, ini aku. Maryam. Ada yang perlu aku sampaikan tentang Mama." Kali ini, dengan keyakinan yang kuat bahwa Om Giran adalah pribadi yang istimewa untuk Mama, aku memberanikan diri mencarinya.
"Jam makan siang nanti. Di Ann Coffee." Tanpa menunda lama, Om Gibran membalas undanganku.
Entah kebetulan atau memang Om Giban paham, Ann Coffee adalah coffee shop favorit kami. Mama begitu menyukai tempat ini. Dan itu diwariskannya padaku.
"Ada apa, Maryam?" Aku terkejut ketika seorang lelaki sebaya Mama tiba-tiba duduk di depanku dan dengan mantap menyebut namaku.
"Om Gibran?" Tanyaku memastikan.
"Parasmu serupa paras Mamamu ketika seumuranmu sekarang."
Tanpa buang waktu, aku menjelaskan kondisi Mama. Dari raut wajahnya, aku semakin yakin kalau Om Gibran bukan sekedar teman untuk Mama.