Kutemani sejenak perempuan hebatku itu sampai tertidur pulas sebelum akhinya aku kembali ke ruang tengah untuk mengobrol bersama Om Adi dan Tante Qanita.
"Besok aku mau bawa Mama ke Rumah Sakit Jiwa tempatku bertugas."
"Tapi Mamamu kan nggak gila, Mar." Tante Qanita membantah cepat.
"Benar Mama nggak gila, Tan. Tapi besar kemungkinan Mama depresi. Dan itu yang mendorong Mama melakukan percobaan bunuh dirinya kemarin."
Aku paham betul apa yang sedang dihadapi Mama. Sepanjang pernikahannya dengan Papa, Mama sudah melewati hari demi hari yang tak mudah. Bahkan setelah bercerai dengan Papa pun, hidupnya tak lantas terlepas dari neraka yang diciptakan Papa untuk kami.
Mama berjuang dengan semua kekuatannya. Memaksa dirinya untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal, menggendong beban yang bahkan melebihi kemampuannya. Mama lebih dari sekedar kuat untukku. Bukan hanya hitungan satu atau dua tahun, tapi puluhan tahun. Aku bisa paham jika luka batinnya terlalu dalam.
"Seriusan kamu mau aku yang jadi konselor Mamamu?" Wawan terkejut ketika aku memintanya menjadi konselor untuk Mama.
"Aku butuh orang yang netral, Wan. Nggak mungkin aku kan?"
"Kau mau di sini atau nunggu di luar?"
"Aku diluar aja, ya. Aku takut emosiku mempengaruhi kalian."
Aku sudah mempersiapkan diri untuk kabar terburuk tentang kondisi Mama. Depresi. Itu jelas sudah aku siapkan sejak awal terjadi pada Mama.