Trauma El pada Beni, ayah kandungnya sendiri jelas bukan tanpa alasan. Hantaman demi hantaman keras yang dilakukan Beni pada El dulu membuat El harus ditangani serius oleh psikolog anak. Anak sekecil El harus merasakan trauma dan depressi. Setahun pertama El bahkan tak bisa bertemu lelaki dewasa selain lingkar keluarga Danar. Itu yang membuat Danar tak punya supir pribadi hingga kini. Itu juga yang membuat Danar tak ingin berumah tangga lagi.
El memang tak pernah bisa ditinggal sendiri. Ketika serangan ingatan kekerasan itu kembali, El akan dengan tiba-tiba menjerit histeris. Melemparkan apa saja ke arah yang menurut khayalnya adalah Beni. Luka batin El bukan main-main.
Wajar kalau Danar mencurahkan seluruh hidupnya pada El. El berhak bahagia. El berhak punya masa depan. Walau mungkin, El tak akan punya ayah sambung.
"Ada beberapa jahitan di dagu, kepala bagian kanan dan sikunya. Luka-lukanya memang lumayan. Entah bagaimana tadi kondisi jatuh El sampai seperti ini. Tapi kondisi yang paling perlu dicemaskan adalah kondisi kejiwaan anak itu." Frans menjelaskan kondisi El.
"Tolonglah, Frans. Kamu tahu aku hanya punya El yang bisa membuatku bertahan hidup." Danar memohon pada adiknya itu.
"Kenapa Beni bisa sampai masuk ke rumahmu?"
"Aku lupa kalau dia sudah keluar dari penjara seminggu lalu."
"Sudahlah. Segera begitu El sadar, kalian pindahlah ke rumahku. Kali ini tolong jangan melawan. Demi El."
Alfi dari tadi hanya menyimak percakapan kakak beradik itu. Banyak hal yang sudah dia lewatkan tentang sahabatnya itu. Luka pernikahan Danar, jelas tak pernah Alfi tau sebelum ini. Dia hanya tau Danar sudah bercerai dengan suaminya.
"Bro, ajaklah dulu kakakku ini makan malam. Aku bisa jamin, dia pasti belum makan malam."
Danar merapikan rambutnya. Mengeringkan air mata dari pipinya.