Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lunturnya Warna Pelangi

13 Mei 2020   00:48 Diperbarui: 13 Mei 2020   00:53 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lunturnya Warna Pelangi

Rumput-rumput masih basah. Sisa hujan tadi sore. Malam sudah makin menuju larut, tapi Aruna belum juga bisa kembali kamarnya. Tugasnya sebagai supervisor catering di salah satu perusahaan tambang emas di negeri ini sering kali harus membuatnya bekerja lebih dari dua belas jam sehari.

Dari pukul empat subuh, dia sudah harus mengawasi timnya mempersiapkan sarapan untuk hampir seribu tiga ratus orang karyawan di perusahaan itu.

Dalam sehari, Aruna bisa menyaksikan timnya berganti tiga kali shift, sedang dia masih tetap harus menyelesaikan tanggung jawabnya.

Bekerja di remote site memang tak semudah bekerja di perkotaan. Jam kerja, kehidupan yang nyaris seperti di karantina, terpisah dari kehidupan bermasyarakat, perbedaan karakter dan budaya hidup sering menjadi tantangan yang menguras energy.

Aruna memang sudah terlanjur mencintai pekerjaan yang sudah dijalaninya lebih dari lima tahun itu. Segala suka duka sudah dilewatinya. Berbagai macam lokasi sudah dijajalnya.

"Na, sudah terlalu malam. Pulanglah ke kamarmu."

"Sedikit lagi, Pak. Nanggung." Aruna melanjutkan sisa pekerjaannya.

"Na, ini perintah dari atasan." Kanaka terpaksa melontarkan kalimat itu.

Aruna menghentikan pekerjaannya. Melempar pandang sejenak ke arah Kanaka. Sebelum kembali ke kamarnya, Aruna menyempatkan makan malam. Kanaka memperhatikan Aruna dari jauh. Hati Kanaka menyimpan begitu banyak pertanyaan tentang perubahan sikap Aruna.

Besok siang, selesai jam makan siang, tolong datang ke ruangan saya.

Pesan singkat dari Kanaka muncul di layar hp Aruna. Lelah di seluruh tubuhnya membuat Aruna tak ingin membaca pesan yang baru diterimanya.

Aruna merebahkan badannya di atas tempat tidur setelah meminum obat rutinnya. Tanpa obat itu, Aruna nyaris tak bisa menikmati tidur nyenyak.

Badan Aruna menggigil. Demamnya tinggi. Tapi dia tetap memaksakan bekerja. Musim hujan di daerah itu membuat staminanya menurun. Hampir setiap berangkat dan pulang kerja dia kehujanan.

Ke ruangan saya sekarang. Instruksi singkat yang dikirmkan Kanaka membuat Aruna melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya.

"Ikut saya."

"Kemana, Pak?" Aruna rasanya sudah tak sanggup melangkahkan kakinya barang selangkah pun.

"Ikut saya. Kita ke low land." Jawab Kanaka tegas.

Hanya perlu hitungan detik untuk Kanaka untuk tahu Aruna ada di kondisi tidak baik. Wajah Aruna yang memerah seperti tomat, suaranya yang berbeda, rasanya sudah menjelaskan kondisi kesehatannya.

"Turun." Perintah Kanaka.

"Ngapain ke klinik, Pak?" Tanya Aruna yang masih berada di posisinya.

"Turun." Kanaka mengulang. Masih tak ada pergerakan dari Aruna.

"Bapak bilang mau ke low land. Kenapa ke klinik?"

"Ya ini kan area low land. Jadi sekarang turun." Kanaka membukan pintu untuk Aruna. Memaksa Aruna untuk turun kali ini.

"Siapa yang sakit, Pak?" suster jaga bertanya.

"Ibu ini, Sus." Kanaka menujuk kea rah Aruna.

Aruna hanya bisa melotot mendengar jawaban Kanaka.

"Ke ruang periksa yok, Bu. Bapak tunggu di ini aja." Suster Evi membawa Aruna masuk ke dalam ruang periksa bertemu dokter. Meninggalkan Kanaka di ruang tunggu sendiri.

Kanaka hanya bisa melihat dari balik kaca pintu ruang periksa. Dokter Deni masih melakukan prosedur pengecekan.

"Pak, dokter mau ketemu Bapak." Suster Evi memanggil Kanaka.

"Demam Bu Aruna sudah diatas empat puluh, Pak. Empat puluh koma empat. Saran saya Bu Aruna diinfus di sini sampai demamnya turun. Saya belum bisa menyimpulkan apa sakitnya. Tapi demam diatas empat puluh jelas bukan demam biasa." Dokter Deni menjelaskan kondisi Aruna.

Kanaka mengalihkan pandangannya sejenak kearah Aruna.

"Apa pun demi kesehatan Aruna, dok." Pesan cemas jelas terdengar dari ucapan Kanaka.

"Maaf, Dok. Saya mau istirahat di kamar saya saja. Kompres saja dan paracetamol sudah cukup rasanya." Aruna menolak.

"Baiklah. Kita observasi dua jam ya." Dokter memberi rangkaian instruksi pada suster.

Aruna dibawa ke ruang observasi. Kanaka masih melanjutkan berbincang dengan dokter Deni.

Benzodiazepin. Apa benar Aruna menggunakan obat penenang? Apa ada hubungannya dengan insomnia akut yang sudah bertahun dialami Aruna? Rasa penasaran Kanaka pada perubahan sikap Aruna makin besar.

Kanaka menyusul Aruna ke ruang observasi. Dia melihat Aruna sudah tertidur nyenyak di sana. Dia mengecek perkembangan Aruna pada suster Evi.

"Sus, kalau Aruna sudah bangun, suster boleh telepon saya, ya. Saya yang akan jemput Aruna nanti."

Kanaka meninggalkan Aruna yang masih tertidur di klinik. Dia harus kembali ke ruangannya. Ada banyak laporan yang harus dia kerjakan.

Kanaka kesulitan mengumpulkan konsentrasinya. Aruna tiba-tiba menjelma menjadi penuh misteri.

"Il, tlg antar kunci kamar c4-4 ke ruangan saya." Kanaka tiba-tiba ingin mencari tahu kebenaran tentang Aruna.

Setumpuk obat yang namanya tidak pernah terdengar dijual bebas ada di samping tv dikamar Aruna. Dr.Vicandani, SpKJ. Ternyata benar. Tapi apa yang sebenarnya terjadi pada Aruna.

"Bu Aruna sudah bangun, Pak." Suster Evi memberi kabar lewat telepon.

"Terima kasih, Sus."

Kanaka segera menjemput Aruna. Meninggalkan kamar Aruna dan membawa segudang pertanyaan di kepalanya.

"Demamnya sudah turun. Sudah tiga puluh delapan koma tujuh. Dua hari ini tidak boleh kerja, ya. Paracetamolnya setiap empat jam sekali. Dua tablet. Banyak minum. Dan tolong jangan banyak pikiran." Dokter memberikan sederet saran sebelum Aruna pergi dari klinik.

"Saya antar kamu ke kamar. Kamu merepotkan. Sangat."

Aruna tak membalas. Tubuhnya masih lemas. Bajunya basah karena keringat yang keluar dari tubuhnya.

"Setelah ini tolong menurut. Supaya tak merepotkan lagi."

"Baik." Jawab Aruna dengan nada kesal.

Sudah dua hari Aruna tak bekerja. Hanya istirahat di kamar. Makannya pun selalu diantar timnya ke kamar. Demamnya masih naik turun. Tubuhnya bahkan semakin lemah.

Gimana kondisi pagi ini? Kanaka mengirimi Aruna pesan singkat.

Seperti biasa. Tak pernah dibalas oleh Aruna.

Hp Aruna berbunyi kembali. Panggilan masuk dari Kanaka.

"Gimana kondisi pagi ini?" Kanaka mengulang pertanyaan yang sama.

"Sudah jauh lebih baik." Jawab Aruna singkat.

"House keeping bilang kamu masih di kondisi yang nggak baik."

Aruna mematikan telepon dari Kanaka. Menarik kembali selimutnya.

Kebiasaan. Orang belum selesai ngomong, sudah matiin telepon. Batin Kanaka.

"Aruna..." Kanaka memanggil dari seberang pintu kamar Aruna.

"Aruna..." Kanaka memanggil dengan suara lebih kuat.

Aruna membukakan pintu. Duduk di tangga depan kamarnya.

"Nggak cukup ya cuma nelpon aja? Bukannya aku harus istirahat?"

"Emang saya salah ya perhatiin kondisi kesehatan tim saya?"

"Safety officer bukannya lagi on site ya, Pak?" Dalih Aruna.

"Saya mau istirahat boleh, Pak?" Aruna berdiri seolah memberi isyarat pada Kanaka untuk segera pergi.

"Masuklah. Kalau perlu sesuatu, cepat kabarin."

Kanaka memperhatikan Aruna menuju kamarnya. Tepat di depan pintu kamar, Aruna tumbang.

"Ra, ke kamar Bu Aruna sekarang. Bantu saya bawa Bu Una ke klinik. Dia pingsan." Kanaka segera mencari bantuan.

Kali ini Kanaka bisa merasakan demam di tubuh Aruna jelas bukan demam biasa.

Dokter Deni memberi surat rujukan untuk Aruna. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit dengan peralatan yang lebih lengkap.

"Ra, kamu dan Mail tolong antar Bu Una ke rumah sakit yang dirujuk Dokter Deni, ya. Tolong jangan tinggalin Bu Una sebelum saya datang."

Jarak lokasi ke rumah sakit terdekat sekitar dua jam perjalanan. Dokter Deni sengaja memberikan obat tidur untuk Aruna. Kanaka tak berhenti berkomunikasi dengan Fara untuk memantau kondisi tebaru Aruna.

"Hasil test laboratoriumnya sudah keluar, Pak. Positif DBD." Fara memberi kabar terbaru.

Kanaka hanya bisa menarik napas panjang. Menutupi rasa kalutnya.

"Komplikasi, Pak. DBD, thypus dan bronchitis." Fara melanjutkan.

"Rumah sakit bisa rawat?" Ini kekhawatiran terbesar Kanaka. Bekerja di pedalaman jelas sulit mendapat penanganan medis sebaik di kota.

"Bisa, Pak."

Kali ini Kanaka bukan hanya kalut. Dia hancur.

Kanaka hancur melihat selang infus di tangan Aruna. Dan selang oksigen yang terhubung ke masker yang digunakan Aruna.

"Pulanglah, Ra. Saya yang jaga Bu Una malam ini. Keluarga Bu Una besok tiba kok, Ra. Saya sudah kabari Ibunya Bu Una."

"Saya beliin Bapak air minum dan roti ya. Buat jaga-jaga kalau Bapak kelaparan nanti." Fara pamit sebentar membeli sedikit bekal untuk Kanaka.

Kanaka puas memandangi Aruna yang nyenyak tertidur. Entah nyenyak tertidur atau efek obat. Kanaka tak bisa tertidur barang sebentar. Dia hanya ingin memastikan Aruna tak kesulitan kalau-kalau butuh bantuannya. Sesekali dia sibuk dengan hpnya. Koordinasi dengan operasional yang dititipkannya pada Mail.

"Terima kasih sudah menjaga Una, Ka." Bu Iren dan Ajeng, kakak Aruna sudah tiba.

"Dalem, Bu." Kanaka mencium tangan wanita yang melahirkan Aruna.

Kanaka memang sudah lama mengenal keluarga Aruna. Ajeng yang lebih dulu bergabung di perusahaan itu sebelum akhirnya mengundurkan diri karna mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aruna waktu itu direkomendasikan Kanaka ke perusahaan untuk menggantikan posisi Ajeng.

"Jeng, maaf aku ndak bisa jaga Una." Besarnya rasa bersalah Kanaka jelas terselip dibalik suaranya yang bergetar.

"Bukan salahmu, Ka. Una memang sedang menghadapi kondisi berat. Kami juga baru tahu."

"Nak Aka, kamu belum tidur semalaman toh? Istirahatlah dulu. Kita gantian jaga Una, ya."

Kanaka menuruti saran Ibu Aruna. Dia merebahkan badannya di sofa, tepat di seberang tempat tidur Aruna. Dia masih bisa tetap melihat Aruna dari tempatnya rebahan. Sulit bagi Kanaka memaksa matanya untuk terpejam. Tapi dia memang butuh istirahat. Tertidur lima belas menit rasanya sudah cukup mengembalikan tenaga Kanaka.

"Ka, ngopi yok. Biar Ibu yang jaga Una sebentar." Ajeng mengajak Kanaka untuk mencari udara segar.

"Tapi...."

"Pergilah. Ibu memang pengen berduaan dengan Una."

Kanaka dan Ajeng menuju warung kopi sederhana yang ada di seberang rumah sakit.  Kanaka memesan kopi hitam. Dan Ajeng memesan teh susu hangat.

"Ka, kamu perlu tahu ini." Suara Ajeng terdengar begitu serius.

Kanaka menyimak sambil mengaduk kopi hitam di depannya. Dia ingat benar, Una begitu menyukai kopi.

"Una,, sudah tiga tahun ini ternyata dia berkonsultasi dengan dokter kejiwaan." Ajeng membuka percakapan.

"Aku sudah tahu." Sambung Kanaka.

"Dia sudah menyembunyikan depresinya selama ini." Ajeng berusaha menyampaikannya dengan sangat pelan. Kondisi seperti ini jelas bukan kondisi yang baik untuk memberitahukan kondisi Aruna yang sebenarnya. Tapi cepat atau lambat, Kanaka harus tahu.

Kanaka menatap Ajeng dengan tatapan tajam.

"Ka, Aruna korban pelecehan seksual. Dan pelakunya Kak Reinhard dan Mas Neo."

Wajah Kanaka berubah memerah. Emosinya sudah diubun-ubun. Bagaimana mungkin seorang kakak dan ipar yang seharusnya menjadi pelindung untuk adiknya, justru menjadi perusak masa depan adiknya sendiri.

"Ka, kau sudah mengejar cinta Una empat tahun. Itu waktu yang sangat lama. Sudah berulang kali kau bertanya tentang perubahan sikap Una. Di tahun pertama kalian kenal, dia masih di kondisi yang baik. Tapi sekarang kondisinya berbeda, Ka. Umur kalian pun sudah sangat dewasa. Kalian sudah bisa menentukan sikap. Trauma yang dialami Una dalam, Ka. Aku pernah sekali diijinkan Una nemenin dia konsultasi dengan dokter Vica. Perubahan sikap Una jelas terlihat kalau dia dibiarkan satu ruangan hanya berdua dengan lelaki. Dia malah pernah beberapa kali mencoba bunuh diri." Ajeng melanjutkan.

Kanaka hanya terdiam. Terjawab sudah yang menjadi pertanyaannya selama ini. Jadi ini alasan Ajeng bercerai. Ini alasan perubahan sikap Aruna. Ini yang membuat Aruna sekarang begitu dingin, matanya kosong.

Na, aku yang akan menggantikan Ayahmu menjagamu, melindungimu dari ancaman. Batin Kanaka.

"Bu, restui saya. Setelah Una sehat kembali, saya akan datang melamar Una. Saya yang akan gantikan tugas Bapak menjaga Una." Kanaka mencium tangan wanita yang melahirkan Aruna. Ada embun yang ingin turun diujung mata perempuan paruh baya itu.

Kanaka sadar, depresi bukanlah hal yang mudah disembuhkan. Depresi juga yang dulu membuatnya kehilangan wanita yang melahirkannya. Ibunya meninggal karena bunuh diri akibat kekerasan seksual dan KDRT yang dialaminya dulu. Kanaka tahu benar bagaimana depresi menjadi pembunuh dalam diam. Dia menyaksikan sendiri penderitaan Ibunya. Dan kali ini dia tak ingin Aruna menahan deritanya sendiri. Luka batin Kanaka pada Ayahnya bahkan belum sembuh, sulit baginya memaafkan Ayahnya yang sudah membuat Ibunya meninggal.

Jelas kali ini Kanaka tak ingin kehilangan cintanya lagi. Jelas kali ini dia tak ingin hanya menjadi peziarah makam orang yang dia cintai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun