Bayangan wajah Nada seketika melintas di benak Dahayu. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana harus melanjutkan pengobatan anak bungsunya itu. Pekerjaan itu baru saja dimulainya dua minggu lalu. Sekarang dia resmi menjadi pengangguran. Lagi!
Langkahnya gontai, pikirannya kacau, hatinya remuk. Nada menderita epilepsi, begitu hasil EEGÂ merekam. Nada harus menjalani masa pengobatan dua tahun lamanya.
"Ma, ini tehnya..." Alya menyentuh lembut tangan ibunya. Dia sudah bisa menebak ada yang tak beres pada ibunya.
Dahayu hanya membalas lewat anggukan. Otaknya terus berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan secepatnya.
"Mana Nada, Mbak? Mama nggak lihat dia sejak mama pulang tadi?" Dahayu bertanya sambil menyiapkan makan malam mereka.
Dirumah sangat sederhana itu mereka hidup hanya bertiga. Hanya dahayu dan dua anak perempuannya. Bahkan sejak bertahun lalu Bram pergi meninggalkan mereka dan tak pernah ada kabar hingga hari ini, Dahayu tetap saja tak pernah berniat untuk mencari seorang lelaki untuk melindungi mereka.
"Nada nonton di rumah Mbah Maryam, Ma. Nanti selesai bantu mama masak, Alya panggil Nada pulang." Alya selalu menjawab ibunya dengan penuh rasa hormat dan santun.
Mereka memang tidak memiliki televisi. Setiap kali ingin menonton televisi, mereka harus menumpang ke rumah tetangga. Dan Mbah Maryam selalu dengan senang hati menerima mereka. Alya dan Nada sudah seperti cucu kandung bagi perempuan yang rambutnya sudah memutih itu.
"Mbak, besok mama berangkat kerja lebih awal ya. Mbak dirumah jaga Nada, ya."
"Ma, mama lagi nggak enak badan ya?" Alya masih terus dengan rasa penasarannya. Apa yang sesungguhnya sedang disembunyikan ibunya itu.
"Mama baik-baik aja kok, Mbak. Pergi panggillah adikmu. Sudah hampir waktu berbuka puasa."
Dahayu mengalihkan langkahnya ke lemari kecil tempat dia biasa menyimpan obat Nada. Ini botol terakhir. Sebelum botol ini habis, dia sudah harus mendapatkan obat.
"Ma, tadi dedek nonton spongebob sama mbah." Suara ceria Nada selalu jadi penyemangat bagi Dahayu.
"Mbah-mu itu rupanya masih kenal spongebob, Dek?" Dahayu melempar canda.
Anak bungsunya itu berumur sebelas tahun, berjarak enam tahun dengan anak sulungnya. Nada terlahir sehat, tumbuh pun sehat. Tapi empat bulan belakangan, dia sering kejang tanpa sebab. Dahayu sudah kehilangan separuh harapan hidupnya ketika dokter menyatakan Nada positif menderita epilepsi.
"Cuci tanganmu. Setelah itu duduklah yang manis di sini..." Dahayu meletakkan piring berisi nasi dan lauk pauk untuk Nada tepat diposisi mana Nada harus duduk nantinya.
Mereka makan dengan lauk seadanya. Tapi mereka selalu sangat menikmati itu. Hanya Dahayu yang masih sangat sibuk. Iya Masih sangat sibuk dengan pikirannya. Masih sangat sibuk menyembunyikan air matanya.
"Dek, minum obatmu. Setelah itu, berwudhulah." Dahayu tak pernah lupa mengingatkan Nada untuk meminum obatnya.
Selesai makan mereka bergegas mengambil wudhu. Dahayu merapikan mukena putih usang yang sudah robek di sana sini.
Pagi sekali Dahayu sudah bangun menyiapkan makanan untuk mereka sahur. Hanya telur dadar dan nasi putih. Dia terburu-buru membereskan pekerjaan rumah, memastikan Nada sudah meminum obatnya, lalu mandi dan berpakaian rapi seperti biasa. Agar anak-anaknya tak curiga.
Dahayu melangkahkan kakinya ke pasar pagi. Dia berharap bisa menemukan pekerjaan apa pun di sana. Dia menawarkan tenaga ke kios-kios yang ada. Akhirnya ada kios penjual bawang yang bersedia menerima jasanya. Dia diterima bekerja. Sebagai buruh kupas bawang. Upahnya lima ratus rupiah per kilo bawang.
Dahayu menahan lelahnya sepanjang hari. Sudah senja. Kios sudah hampir tutup. Saatnya menimbang hasil kerja sepanjang hari.
"Dahayu,,,Dua puluh empat kilo!" Pemilik kios bawang berteriak ke arah orang yang bertugas mencatat.
Selelah ini, sepanjang hari, dan dia hanya mendapatkan upah dua belas ribu. Besok aku harus cari pekerjaan tambahan. Upah mereka tidak diberi harian, tapi mingguan. Dahayu bergegas membersihkan tangannya yang Hari sudah hampir gelap. Alya dan Nada pasti sudah menungguku, batinnya.
Rutinitas mereka tetap sama dari hari ke hari. Hanya Dahayu yang berbeda. Ini hari kedua dia resmi menganggur. Hampir setiap malam sekarang dia keluar dari rumahnya diam-diam. Dia kembali ke pasar yang sama. Untuk menawarkan jasanya sebagai kuli pikul. Tengah malam begini, di pergantian hari sampai batas subuh, banyak mobil sayur dari luar kota yang datang menjual hasil panen mereka. Yang ini, Dahayu bisa langsung menerima upahnya.
Sudah dua minggu Dahayu menutupi hal ini dari anak-anaknya. Alya yang sudah curiga sejak awal, mencoba mencari tahu sendiri apa yang terjadi pada ibunya. Tengah malam itu, ketika ibunya sudah "berangkat kerja" sebagai kuli pikul, Alya mencari tas kerja ibunya. Dia menemukan surat PHK. Hatinya hancur. Berjuta Tanya memenuhi kepalanya.
Alya masih tak ingin bertanya kepada Dahayu. Semua terlihat wajar seperti biasanya.
"Ma, kalau nanti nggak sempat pulang untuk sahur di rumah, mama makan ini aja ya. Biar Dahayu yang menjaga Nada di rumah." Alya memberikan kotak nasi berisi nasi dan telur dadar.
Air mata Dahayu tumpah. Dia sudah tak bisa menutupi apa pun lagi dari Alya.
"Maafin mama ya, Mbak. Mama nggak bermaksud...." Dahayu menunduk merasa bersalah.
"Ma, kelak, warisi Alya kebesaran hati mama, ya..." Alya meraih tubuh permepuan yang sudah melahirkannya..
Rupiah demi rupiah dikumpulkan Dahayu dengan cara yang begitu menyakitkan. Subuh dia harus menjadi kuli pikul, dan pagi hingga senja dia harus menjadi buruh kupas bawang.
Dahayu duduk ditepi tikar tepat mereka biasa tidur. Menghitung receh demi receh yang terkumpul demi bisa membayar iuran BPJS mandiri mereka supaya bisa mengambil obat untuk Nada. Tapi untuk mengumpulkan sejumlah uang itu kini semakin sulit untuk Dahayu. Bahkan setelah hampir dua minggu dia bekerja subuh dan sepanjang hari. Sesekali Dahayu merintih menahan pedih karena tangannya yang lecet disana sini, berdarah disana sini.
"Ma, Alya punya sedikit rejeki..." Alya menyodorkan uang yang ada di tangannya.
"Kamu punya uang dari mana, Mbak?" Dahayu menatap Alya dengan penuh kasih.
"Jadi hampir satu minggu ini Alya jadi bibi cuci di rumah Bu Darman, Ma. Dan untungnya, Bu Darman ngijinin Alya ngajak Nada selama Alya kerja. Kemarin, Alya coba ngomong sama Bu Darman buat kasih setengah gaji Alya dimuka, Ma. Alhamdulillah Bu Daram ngasih. Nih, Ma... Kan bisa nambahin buat nebus obat Nada."
Dahayu merasa begitu gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Dia bahkan sudah membuat anaknya menjadi buruh cuci diumur yang masih tujuh belas tahun. Umur dimana seharusnya masa remaja menjadi begitu indah.
"Ma, Alya sayang mama. Alya bangga punya mama dihidup Alya. Besok kita tebus obat Nada ya, Ma"
Nasib memang sering tak berpihak pada yang miskin. Tapi rumah mereka, selalu dilimpahi cinta. Alya menciumi tangan ibunya yang penuh luka. Dia sadar benar bahwa cinta Dahayu untuknya dan Nada melebihi apa pun yang indah di dunia ini. Baginya, Dahayu begitu sempurna untuk menjadi manusia. Dahayu adalah malaikatnya
"Mbak, setelah pandemic ini selesai, Mbak harus kuliah, ya. Mbak harus merantau ke ibu kota. Kota ini terlalu kecil, Mbak" Dahayu membelai rambut hitam Alya.
"Ma, Alya nggak akan pergi kemana pun tanpa mama dan Nada." Alya masih nyaman dipangkuan ibunya. Meletakkan tangan Dahayu di pipinya.
Suara Adzan maghrib memnggerakkan mereka ke dapur. Tapi Nada belum juga pulang.
Tepat sebelum mereka sampai di pintu dapur, Nada pulang bersama seorang lelaki paruh baya.
Tangannya penuh dengan cokelat. Suara Nada terdengar begitu bahagia.
"Dek, dokter bilang kan kamu nggak boleh makan cokelat. Ayo, simpan cokelatnya. Kita buka puasa dulu."
Alya mengajak Nada bergegas ke dapur. Alya masih bisa sedikit mengenali lelaki paruh baya itu.
Lelaki yang hampir sebelas tahun meninggalkan mereka.
"Kau tak ingin mengajakku makan bersama kalian?" suara Bram menghentikan langkah Dahayu.
"Kami tak punya apa pun yang pantas untuk kau makan. Pergilah cari rumah makan di depan sana. Dan, tolong, jangan kembali dengan alasan apa pun."
Dahayu menutup pintu kayu rumahnya. Membiarkan Bram berdiri di sana.
"Ma, Om tadi itu siapa? Apa mama kenal? Kenapa dia kasih dedek cokelat, Ma?" pertanyaan polos Nada membuat pedih hatinya.
Dia bukan Om, Dek. Dia bapakmu.Â
Pagi sekali, sepulang dari pasar, Dahayu bergegas ke klinik BPJS untuk menebus obat Nada. Hatinya begitu haru ketika menerima tiga botol sodium valproate untuk Nada. Setidaknya dua tahun masa pengobatan ini, dokter bilang Nada tidak boleh kejang sama sekali sampai akhirya nanti EEG kembali dan dinyatakan bebas kejang.
"Mbak Dahayu...." suara asing itu menghentikan langkah Dahayu.
Dia menoleh ke arah suara itu. Matanya memperhatikan sosok yang ada dihadapannya. Mengingat-ingat apakah dia pernah mengenal sosok itu.
"Saya Esra, anak Mbah Maryam yang tinggal di Belanda." Lelaki seumurannya itu mengelurkan tangan memperenalkan diri.
Dahayu memang tak pernah bertemu Esra sebelumnya. Hanya beberapa kali mendengar Nada bercerita.
"Boleh saya mengobrol dengan Mbak?"
Dahayu bisa melihat ada hal penting yang ingin disampaikan Esra. Mereka berjalan menuju warung kopi di sekitaran situ. Esra memesan secangkir kopi hitam.
"Maaf, saya seorang muslimah." Dahayu berkata ke arah pelayan warung kopi.
"Lalu hal penting apa yang hendak Bapak sampaikan sampai Bapak harus repot-repot mencari saya ke pasar." Dahayu membuka percakapan agar waktunya tak lama terbuang. Dia harus segera ke klinik menebus obat Nada.
"Saya langsung saja, Mbak. Saya tahu Mbak buru-buru." Esra membuka percakapan dengan wajah tegang.
"Saya bermaksud mengajak mama untuk tinggal di Belanda. Di sini, sudah tidak ada lagi yang bisa merawat mama. Mama sudah setua itu, Mbak. Saya kurang nyaman membiarkan mama hanya dengan perawat. Tapi ketika saya menyampaikan niat itu, mama mengajukan syarat, Mbak. Mama ingin Nada ikut bersama kami."'
Dahayu terkejut mendengar Esra bercerita. Nada memang dekat sekali dengan Mbah Maryam
"Maaf, saya tidak mengijinkan." jawab Dahayu ketus.
Dahayu berdiri, bergegas hendak pergi.
"Mbak, ini ada tiga botol sodium valproate untuk Nada. Ambillah,,, sama sekali bukan untuk membuat Mbak merasa berhutang budi." Esra memberikan plastik berisi obat tersebut ke arah Dahayu.
"Terima kasih, tapi saya sudah menyiapkan obat untuk Nada." Dahayu tak mengrubis pemberian Esra.
Dahayu bergegas menuju klinik. Langkahnya lebih cepat dari biasanya. Dia akan terlambat kalau berjalan pelan.
Wajah Dahayu terlihat begitu bahagia. Plastik berisi tiga botol obat untuk Nada ditentengnya dengan sangat hati-hati. Dia tak pernah tahu sampai kapan kondisi parah seperti ini akan berlalu. Hidup mereka memang sudah sangat susah sebelum pandemic, tapi sekarang semua terasa semakin buruk. Adakah yang lebih buruk dari parah? Dahayu hanya berusaha tabah dan ikhlas menjalani hidupnya. Dia hanya berharap apa yang dialaminya, tak dialami anak-anaknya kelak.
Setibanya Dahayu di rumah, dia langsung meletakkan obat-obat yang dibawa di lemari tempat Nada biasa meletakkan obatnya lalu mencari Alya. Harusnya Alya sudah selesai mencuci di rumah Bu Darman. Tapi Dahayu mendapati rumahnya dalam kondisi kosong, tak ada siapa pun. Dahayu menyusul ke rumah Bu Darman. Tapi Bu Darman bilang Dahayu dan Nada sudah pulang sejak tadi. Dahayu mulai cemas. Dia mencoba mencari kedua malaikatnya itu ke rumah Mbah Maryam. Alya dan Nada tak ada di sana. Dia sudah tak tahu harus mencari ke mana lagi.
Matahari sudah semakin tinggi. Dahayu sudah waktunya berangkat kerja kembali. Sepanjang jalan dia masih terus sambil mencari. Di ujung gang Dahayu berpapasn dengan kedua anaknya. Dan Bram!
"Kalian pulanglah. Tunggu mama di rumah sampai sore nanti. Mama tidak mengijinkan kalian kemana pun." dahayu menghentikan langkahnya. Wajah cemasnya seketika berubah lega. Dan sedikit marah!
Alya dan Nada tak melawan. Mereka mencium tangann Dahayu sebelum melanjutkan langkah mereka.
"Saya sudah bilang,, jangan pernah muncul lagi di hidup kami. Apa pun alasannya!" Mata Dahayu seketika memerah. Bukan karna menangis, tapi karna marah.
"Maaf. Tapi saya,,,,"
Dahayu melanjutkan langkahnya tanpa berusaha memberikan sedikit waktu untuk mendengar penjelasan Bram.
Air mata Alya menetes ketika dia sadar ada tiga botol baru obat Nada. Dia tahu ibunya melewati hari-hari yang begitu berat selama ini. Dia sudah dewasa untuk bisa mengerti apa yang dialami ibunya. Sudah hampir sebelas tahun ibunya memilih sendiri setelah ditinggalkan ayahnya. Tak peduli betapa pun sulitnya hidup mereka, ibunya tak pernah mengeluh, tak pernah meninggalkan mereka. Dia sadar, apa yang baru saja dia lakukan bisa jadi menyakiti hati ibunya.
"Mbak, wudhu yok. Kita sholat dhuha." Nada memang menderita epilepsi, tapi dia tak pernah meninggalkan sholatnya. Dahayu mengajarkan mereka, sebaik-sebaiknya tempat mengadu adalah diatas sajadah.
Air mata Alya tumpah. Rasa bersalahnya begitu besar. Dia sadar, ibunya pasti tak akan melarang mereka bertemu ayahnya tanpa alasan.
Lelah Dahayu sudah teramat. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia selalu menolak kalah, walau pun tidak juga menjadi pemenang. Yang dia tahu hanya melanjutkan hidup. Dengan cara apa pun. Selagi halal.
"Ma, ini teh Mama. Alya minta maaf....." Alya tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air matanya sudah lebih dulu berbicara.
"Sudahlah, Mbak. Mama cuma minta, jangan pernah kalian ulangi lagi kejadian hari ini." Dahayu bergegas mandi. Tubuhnya sudah kotor dan dekil.
Sejak pulang tadi Dahayu hanya diam. Tak berbicara kalau bukan ditanya. Bulan sudah meninggi. Nada sudah nyenyak bersembunyi di balik selimut kelinci kesayangannya sejak masih bayi. Alya menghampiri ibunya. Dia bisa melihat jelas tangan ibunya penuh luka, bukan hanya lecet seperti biasa.
"Ma, Alya kompres tangan mama pakai air hangat, ya." Alya datang membawa baskom berisi air hangat dan handuk.
"Alya minta maaf, Ma. Alya sudah menyakiti hati Mama."
"Mbak, sudahlah. Janji sama Mama kalian tak akan mengulangi kejadian hari ini."
"Ma, Alya sudah besar, Ma. Tapi sampai sekarang Alya tak pernah tahu apa yang bikin Mama begitu benci sama Bapak." Alya memberanikan diri bertanya pada ibunya.
Dahayu tak tahu harus memulai dari mana. Dia pun tak tahu apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semua pada Alya. Tapi cepat atau lambat, pertanyaan ini pasti akan dilontarkan Alya.
"Mbak, Mama cuma berusaha melindungi kalian. Bagaimana pun caranya."
"Ma, Alya tahu kok, Ma. Alya tahu pasti besarnya cinta Mama untuk Alya dan Nada. Tapi Alya juga harus tahu seperti apa Bapak, Ma."
Alya terus mendesak Dahayu untuk memberi jawaban.
"Mbak, bukanlah baik untuk menceritakan perangai buruk orang lain. Jagalah lisanmu untuk tak membongkar aib orang. Insya Allah kita pun dijauhi dari fitnah."
Mama selalu seperti itu. Lisannya tak pernah bertutur tentang buruknya orang lain. Bahkan untuk menjelaskan betapa kejamnya perlakuan Bapak pada kami. Lelaki itu yang nyaris menjual Mama pada lawan judinya. Lelaki mana yang sanggup menyerahkan semua harta dan wanita yang dicintainya pada orang lain, apa lagi demi taruhan judi. Yang tak menafkahi tapi malah menyakiti. Mungkin hanya Bapakku yang sanggup. Mama begitu luar biasa. Malaikat yang berwujud manusia. Tak pernah ada hal buruk yang diajarkan pada kami. Sejak aku lahir, aku tak pernah melihat dia marah, tak pernah mendengar dia mengeluh. Entah bagaimana dia bisa kuat melewati semua ini. Bahkan tawaran bantuan dari Pak Esra pun ditolak. Alya berucap pada dirinya sendiri.
Dia terus mengompres jari-jari ibunya. Banyak luka dan lecet di sana sini.
"Ma, ini luka kenapa? Baru hari ini Alya lihat."
"Kena gunting waktu bersihin bawang, Mbak."
Ma, Mama bahkan harus melukai diri sendiri demi menebus obat Nada, demi dua butir telur yang Mama bawa pulang setiap sore. Ajari Alya menjadi perempuan sehebat Mama, yang bahunya sekuat bahu kaum Adam, yang hatinya setulus malaikat. Terima kasih sudah menjadi yang terbaik yang Alya punya, Ma. Ya Allah, panjangkanlah umur wanita yang sudah melahirkan hamba, yang dari air susunya darah-darah hamba sekarang mengalir, yang di bawah telapak kakinya kelak surga hamba, yang darinya juga ridhoMu akan kudapati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H