Air mata Alya menetes ketika dia sadar ada tiga botol baru obat Nada. Dia tahu ibunya melewati hari-hari yang begitu berat selama ini. Dia sudah dewasa untuk bisa mengerti apa yang dialami ibunya. Sudah hampir sebelas tahun ibunya memilih sendiri setelah ditinggalkan ayahnya. Tak peduli betapa pun sulitnya hidup mereka, ibunya tak pernah mengeluh, tak pernah meninggalkan mereka. Dia sadar, apa yang baru saja dia lakukan bisa jadi menyakiti hati ibunya.
"Mbak, wudhu yok. Kita sholat dhuha." Nada memang menderita epilepsi, tapi dia tak pernah meninggalkan sholatnya. Dahayu mengajarkan mereka, sebaik-sebaiknya tempat mengadu adalah diatas sajadah.
Air mata Alya tumpah. Rasa bersalahnya begitu besar. Dia sadar, ibunya pasti tak akan melarang mereka bertemu ayahnya tanpa alasan.
Lelah Dahayu sudah teramat. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia selalu menolak kalah, walau pun tidak juga menjadi pemenang. Yang dia tahu hanya melanjutkan hidup. Dengan cara apa pun. Selagi halal.
"Ma, ini teh Mama. Alya minta maaf....." Alya tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air matanya sudah lebih dulu berbicara.
"Sudahlah, Mbak. Mama cuma minta, jangan pernah kalian ulangi lagi kejadian hari ini." Dahayu bergegas mandi. Tubuhnya sudah kotor dan dekil.
Sejak pulang tadi Dahayu hanya diam. Tak berbicara kalau bukan ditanya. Bulan sudah meninggi. Nada sudah nyenyak bersembunyi di balik selimut kelinci kesayangannya sejak masih bayi. Alya menghampiri ibunya. Dia bisa melihat jelas tangan ibunya penuh luka, bukan hanya lecet seperti biasa.
"Ma, Alya kompres tangan mama pakai air hangat, ya." Alya datang membawa baskom berisi air hangat dan handuk.
"Alya minta maaf, Ma. Alya sudah menyakiti hati Mama."
"Mbak, sudahlah. Janji sama Mama kalian tak akan mengulangi kejadian hari ini."
"Ma, Alya sudah besar, Ma. Tapi sampai sekarang Alya tak pernah tahu apa yang bikin Mama begitu benci sama Bapak." Alya memberanikan diri bertanya pada ibunya.