Tuk!.... tuk!... tuk!
Aku mengetuk pintu yang tertutup. Tapi setelah ketukan bermenit-menit tidak ada jawaban dari dalam. Bukan baru sekali ini aku mengetuk, tapi sudah berkali-kali, nyaris setiap hari. Jawaban yang aku terima dari pemilik pintu di dalam sana selalu sama. Jika bukan kata "pergi!" atau "berhenti!" dengan ketus, hanya ada keheningan, diam yang berbaur dengan sepi panjang.
Hari ini aku kembali mengetuk. Samar-samar aku mendengar suara isak, tangis yang tertahan dari dalam. Aku pun mengetuk lebih keras.
"Pergi! Kalian semua sama saja!" serunya.
Aku mengernyitkan kening, lalu merapatkan wajahku di permukaan pintu dan menyahut dengan suara keras.
"Tidak, Bella! Aku tidak sama!"
"Aku sudah pernah mendengar kata-kata itu, berkali-kali! Jadi lebih baik kamu pulang, Don!" serunya lagi.
Aku terdiam sejenak.
"Tidak bisa, Bella. Aku tidak punya pintu lagi untuk pulang. Pintu rumahku sudah aku ganti dengan tembok yang keras, agar tidak ada lagi yang bisa mengetuk atau masuk ke dalam."
Hening. Aku tidak mendengar suara seruan atau isak tangisnya lagi.