Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sepandai-pandainya Boy Melompat

14 Mei 2023   20:29 Diperbarui: 14 Mei 2023   20:53 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marni baru saja selesai menghias bibirnya dengan gincu merah delima ketika tiba-tiba hujan jatuh dengan deras. Marni terkejut. Gadis manis berusia 25 tahun itu langsung kepikiran bagaimana nasib kencan mereka sore ini. Waktu di layar gawai menunjukkan pukul 4 lebih 50 menit. Masih kurang 10 menit dari waktu janjiannya dengan Boy, sang kekasih hati.

Sebagai sesama pekerja, mereka memang jarang punya waktu buat berduaan dengan puas. Paling saat tanggal merah atau hari Minggu seperti ini. Rencananya tepat jam 5 sore, Boy akan menjemputnya di indekost lalu mereka berdua pergi ke bioskop untuk menonton film romantis yang belum lama rilis.

Marni pun mengambil gawainya lalu menghubungi nomor WhatsApp Boy. Teleponnya tersambung tapi setelah menunggu sejenak dua jenak, panggilan itu tidak dijawab-jawab.

"Kayaknya Mas Boy kehujanan di tengah jalan," gumam Marni sembari mengintip suasana di luar dari balik jendela kamar. Tirai hujan semakin rapat. Padahal tadi cuaca di luar cerah-cerah saja rasanya. Dia menelepon sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban dari Boy.

Sambil menunggu dengan gelisah, Marni kembali mematut dirinya di depan cermin. Rambut lurus sebahunya dikuncir ke belakang, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda.

Lagu koplo yang menghentak-hentak tiba-tiba terdengar memenuhi ruangan kamar. Itu nada dering dari gawainya. Nama Mas Boy Sayang muncul di layar gawai. Marni segera menjawab panggilan itu.

"Mas Boy, bagaimana dong? Jadi gak nontonnya nih? Hujan deras di sini!" berondong Marni dengan nada manja campur panik. "Mas Boy di mana sekarang?" tanyanya lagi.

"Ayang Beb, aku terpaksa berteduh di halte nih. Tapi sudah terlanjur basah kuyup," terdengar jawaban Boy dari seberang sana dengan suara latar deru mesin mobil, motor dan klakson yang bersahut-sahutan.

"Mas Boy tidak bawa mantel hujan ya?"

"Tidak, Marni Sayang, manisku, cintaku. Tadi kan cuacanya cerah. Nah, pas hujan turun tadi aku masih di lampu merah, jadi ya, begini. Basah sampai dalam-dalam."

Marni mendengus dengan berat. Ciri-ciri batal kencan ini.

"... ya udah, Mas. Mudah-mudahan hujannya tidak lama. Nanti tetap ke sini saja, Mas. Kalau gak jadi nonton, ya kita pacaran di kost aja. Mas Boy singgah beli makan di jalan ya, nanti aku buat kopi jahe kesukaan Mas Boy."

"So sweet....! Siap, Ayang Bebku. Mudah-mudahan hujannya cepat berhenti, ya. Love you...!"

"Love you, too."

Pembicaraan pun diakhiri.

Boy menutup teleponnya dengan gelisah. Dia saat ini tidak kehujanan, bahkan tidak sedang berada di halte. Tepatnya saat ini dia sedang berada di dalam toilet pria sebuah kedai makan di area foodcourt salah satu pusat perbelanjaan. Dia berjalan pelan-pelan keluar restroom dan mengintip ke arah meja makan. Di salah satu meja, Diah, gadis yang lain sedang merapikan riasannya di depan kaca, seperti kebiasaan para gadis setelah menuntaskan makanannya.

"Duh! Kok bisa lupa ya, sore ini mestinya jadwal sama si Marni!" Boy memaki dirinya sendiri. Wajah laki-laki berusia 28 tahun ini memang menarik. Hidung mancung, mata bulat sempurna, alis tebal dan badan tegap. Sayangnya, daya tarik itu selama ini dipergunakan dengan salah.

Dia suka berpetualang cinta, memacari lebih dari satu orang sekaligus dan selama ini aksinya selalu berjalan mulus. Ya, satu dua kesalahan minor bisa terjadi, tapi Boy sudah terbiasa sehingga cukup lihai mengantisipasinya. Percakapan spontan yang terjadi barusan ini contohnya.

Dia pun bergegas kembali ke meja mereka.

"Lama amat di toilet, Mas?" tanya Diah. Paras gadis ini juga manis, sebelas dua belas dengan Marni. Hanya saja dia sedikit lebih langsing.

"Itu, tadi antri di toilet yang buat BAB. Orangnya lama bener. Eh, punya Ayang Beb sudah habis ya?"

Diah tersenyum.

"Diah laper, Mas. Tadi siang cuman makan buah saja. Tapi santai saja, Mas. Filmnya jam 6 kan mulainya? Masih ada waktu. Tuh sayang, baksonya masih ada setengah. Dihabisin dulu, gih."

"Siaap, Ayang Beb."

Food court tempat mereka berada terletak di sisi utara lantai dua pusat perbelanjaan. Dari situ bisa terlihat jelas pemandangan di luar dari beberapa jendela yang berbahan kaca. Boy beruntung, ternyata bermenit-menit kemudian hujan masih turun dengan deras.

10 menit kemudian dia merasa gawai di saku celananya kembali bergetar. Gawainya memang dibuat silent, tapi getaran jika ada yang mengirim pesan atau menelepon masih tetap aktif.

Jangan-jangan Marni lagi, batinnya.

Padahal saat itu dia dan Diah lagi mengobrol dengan seru.

"Ayang Beb, aku ke toilet dulu ya, bentar ..."

Diah mengernyitkan kening.

"Gak tahu nih, kenapa tiba-tiba perut bermasalah gini. Bentar ya,"

"Iya, iya, Mas,"

Tanpa menunggu lagi, Boy langsung beranjak dari kursinya. Diah hanya geleng-geleng kepala lalu menyibukkan diri dengan gawainya.

Sesampai di dalam ruang toilet, Boy mengeluarkan kedua gawainya. Layar gawai yang satu berpendar-pendar dengan nama dengan Supervisor Sales sebagai nama samaran untuk Marni. Memang itu panggilan dari Marni. Tapi sebelum menjawab panggilan tersebut, Boy memutar satu video dari gawai yang satu lagi, video kondisi lalu lintas yang sedang padat merayap. Boy menaikkan volume video agar suara klakson bersahut-sahutannya lebih jelas terdengar.

Setelah itu dia lalu menjawab panggilan Marni.

"Hujannya tambah deras nih, Mas," ucap Marni dari seberang sana.

"Iya, Ayang Beb. Di sini juga tambah deras. Bagaimana dong? Mana HP sudah mau low batt ini."

"Ng, Mas Boy. Boleh gak aku nonton bareng si Irna saja? Nanti kami naik taksi online, bioskopnya kan dekat dari sini."

Irna itu teman kost Marni. Mereka berdua memang cukup akrab.

"Lah, terus tiketnya bagaimana?" tanya Boy.

"Mas Boy beli tiketnya online kan? Nanti kirim saja kode booking-nya..."

"Oalah, aku belinya tunai, Ayang Beb. Kebetulan tadi habis nganter barang ke vendor, barang yang ketinggalan kemarin. Nah, toko vendornya deket bioskop, jadi sekalian singgah beli tiket."

"Yaah," nada kecewa Marni terdengar jelas.

"Ng... tapi kalau memang Ayang Beb mau nonton bareng si Irna gak apa-apa deh, sebentar aku transfer uang tiketnya, nanti beli tunai di bioskop saja."

"Beneran, Mas?" nada Marni berubah seketika, dari kecewa jadi girang.

"Iya, dong. Apa sih yang gak, buat Ayang Beb!"

Marni tertawa bahagia di seberang sana. "Mas Boy, sekalian sama uang beli popcorn ya!" pinta Marni lagi dengan nada dibuat semanja mungkin. Cowok mana yang tidak meleleh dengan nada seperti itu. Jadi walaupun dalam hati Boy keberatan, lumayan juga biayanya soalnya, tapi jawabannya tetap "Siap...! Ditunggu ya, Ayang Beb."

Begitulah risiko bermain api cinta. Harus siap kepanasan dan siap membayar cost lebih mahal.  

Pembicaraan mereka diakhiri lalu Boy mengirim uang elektronik ke nomor Marni. Setelah itu dia buru-buru keluar dari toilet.

Boy terkejut. Diah ternyata sudah menunggu di depan pintu restroom pria dengan tatapan dingin.

"Kenapa lama sekali?" tanyanya.

"Ini, Ayang Beb. Perutku bermasalah aku ta-"

"Bohong. Kamu habis teleponan kan!? Suara kamu tuh kedengaran sampai di luar sini."

"Masa sih? Oh, iya, aku barusan dapat telepon dari supervisor aku di tempat kerja beb, dia na-" ucapan Boy berhenti lagi karena Diah menengadahkan tangan sebagai isyarat untuk meminta Boy menyerahkan gawainya.

"Kamu gak percaya ya sama aku?"

"Coba lihat handphone kamu, Mas? Biar aku percaya."

Dengan berat hati, Boy pun menyodorkan gawai khusus buat berkomunikasi dengan Marni. Beruntung tadi dia sudah mengubah nama Marni di phonebook.

"Loh, kamu punya dua HP ya, Mas?" nada Diah mulai meninggi.

"Iya, yang ini buat urusan kerjaan kok, Ayang Beb."

Diah meraih gawai Boy dan membuka keterangan panggilan terakhir di sana.

"Tuh kan, aku bilang juga apa!" sindir Boy setelah Diah melihat nama yang tertera di situ. Dia bermaksud mengambil kembali gawainya, tapi Diah serta merta membalikkan badan dan beranjak pergi kembali ke meja makan mereka. Boy pun terpaksa mengekor dengan wajah mulai panik.

Rupanya Diah berjalan sambil menyalin nomor kontak Marni ke HP-nya.

"Awas kamu ya, Mas, kalau sampai bohong," ancam Diah ke Boy lalu melakukan panggilan ke nomor Marni. 

Mampusss aku! batin Boy.

Tidak butuh lama sebelum Marni menjawab panggilan Diah.

"Halo..."

Diah mengernyitkan kening. Suara cewek. Tapi dia tetap berusaha berpikiran positif.

"Halo. Maaf, Mbak, ini dengan supervisornya Mas Boy ya?" tanya Diah.

"Ng,.. iya. Eh, saya pacarnya, Mas Boy. Maaf dengan siapa ini?" nada Marni terdengar bingung.

Diah mengembuskan napas panjang menahan amarah. "Saya pacarnya Mas Boy, Mbak," sahutnya dingin.

"Hahh!? Mbak salah orang kali ya. Maaf saya lagi sibuk ini-" Marni langsung menutup telepon tersebut.

Napas Diah mulai memburu dan Boy di seberang meja mirip pesakitan yang terkena vonis berat dari majelis hakim. Tertunduk lunglai penuh rasa bersalah.

Yang ditunggu-tunggu Diah terjadi. HP Boy kembali bergetar karena ada panggilan yang masuk, dan nama Supervisor Sales kembali muncul di situ. Marni pasti mau konfirmasi panggilan dari orang asing yang masuk barusan.

"Mas Boy, barusan ada perempuan aneh ngaku-ngaku pacarnya Mas Boy, siapa sih itu?" cerocos Marni begitu Diah menerima panggilan itu.

 "Sudah aku bilang aku pacarnya Mas Boy. Kalau kamu juga merasa pacarnya, berarti kita berdua sudah ditipu habis-habisan!" jawab Diah ketus.

Dia lalu berdiri, dan meletakkan HP itu di atas meja dengan kasar. "Kamu tega sekali sih, Mas. Kita ...  kita putus!" 

Dia meraih tasnya lalu pergi cepat-cepat dari situ. "Diah, Ayang Beb, tunggu! Aku ..."

Boy bermaksud mengejar Diah. Tapi dari HP di atas meja dia bisa mendengar sayup-sayup suara halo.. halo... dari Marni. Dia pun buru-buru mengangkat HP dan menjawabnya.

Hilang satu masih ada satu. Jangan sampai hilang dua-dua, prinsip Boy.

"Mas Boy, mas Boy di mana sih? Siapa cewek barusan?"

Dalam sekejap ekspresi Boy berubah. Dia tertawa terpingkal-pingkal dan berusaha menjaga tawanya tetap terdengar natural.

"Itu... ada teman aku. Kami ketemu di halte, dia itu memang orangnya suka iseng, Ayang Beb. Suka sekali prank temen-temennya. Tapi ini dia sudah pergi, kok."

Untuk sesaat Marni terdiam. Entah dia lega atau sedang memikirkan sesuatu.

"Jadi Mas Boy masih di halte nih?"

Degg! Boy terkejut, dia lupa memutar video untuk back sound suara lalu lintas seperti tadi.

"Iyaa...," sahutnya.

Sayangnya tepat saat itu, dari pengeras suara pusat perbelanjaan terdengar pengumuman anak-anak hilang dari bagian informasi. Suaranya kencang sekali, karena pengeras suaranyanya dekat dengan posisi foodcourt.

Marni pun menangis kencang dari ujung telepon.

"Huaaa! Mas Boy, kamu bohong lagi, Mas,"

"Ayang beb, Ayang beb, jangan nangis gitu dong. Aku bisa jelasin. Oke, maaf aku sudah bohong sama kamu. Aku memang lagi gak di halte tapi aku-"

"Kita putusss! Huaaaa .....!" lalu percakapan terputus.

Boy menepuk jidatnya keras-keras. Dia lalu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dengan pasrah.

Demikianlah akhir cerita seorang playboy cap tiga kelinci yang tragis. Niat mau dapat dua sekaligus, malah akhirnya tidak dapat dua-duanya. 

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun