Tanpa menunggu lagi, Boy langsung beranjak dari kursinya. Diah hanya geleng-geleng kepala lalu menyibukkan diri dengan gawainya.
Sesampai di dalam ruang toilet, Boy mengeluarkan kedua gawainya. Layar gawai yang satu berpendar-pendar dengan nama dengan Supervisor Sales sebagai nama samaran untuk Marni. Memang itu panggilan dari Marni. Tapi sebelum menjawab panggilan tersebut, Boy memutar satu video dari gawai yang satu lagi, video kondisi lalu lintas yang sedang padat merayap. Boy menaikkan volume video agar suara klakson bersahut-sahutannya lebih jelas terdengar.
Setelah itu dia lalu menjawab panggilan Marni.
"Hujannya tambah deras nih, Mas," ucap Marni dari seberang sana.
"Iya, Ayang Beb. Di sini juga tambah deras. Bagaimana dong? Mana HP sudah mau low batt ini."
"Ng, Mas Boy. Boleh gak aku nonton bareng si Irna saja? Nanti kami naik taksi online, bioskopnya kan dekat dari sini."
Irna itu teman kost Marni. Mereka berdua memang cukup akrab.
"Lah, terus tiketnya bagaimana?" tanya Boy.
"Mas Boy beli tiketnya online kan? Nanti kirim saja kode booking-nya..."
"Oalah, aku belinya tunai, Ayang Beb. Kebetulan tadi habis nganter barang ke vendor, barang yang ketinggalan kemarin. Nah, toko vendornya deket bioskop, jadi sekalian singgah beli tiket."
"Yaah," nada kecewa Marni terdengar jelas.