Marni mendengus dengan berat. Ciri-ciri batal kencan ini.
"... ya udah, Mas. Mudah-mudahan hujannya tidak lama. Nanti tetap ke sini saja, Mas. Kalau gak jadi nonton, ya kita pacaran di kost aja. Mas Boy singgah beli makan di jalan ya, nanti aku buat kopi jahe kesukaan Mas Boy."
"So sweet....! Siap, Ayang Bebku. Mudah-mudahan hujannya cepat berhenti, ya. Love you...!"
"Love you, too."
Pembicaraan pun diakhiri.
Boy menutup teleponnya dengan gelisah. Dia saat ini tidak kehujanan, bahkan tidak sedang berada di halte. Tepatnya saat ini dia sedang berada di dalam toilet pria sebuah kedai makan di area foodcourt salah satu pusat perbelanjaan. Dia berjalan pelan-pelan keluar restroom dan mengintip ke arah meja makan. Di salah satu meja, Diah, gadis yang lain sedang merapikan riasannya di depan kaca, seperti kebiasaan para gadis setelah menuntaskan makanannya.
"Duh! Kok bisa lupa ya, sore ini mestinya jadwal sama si Marni!" Boy memaki dirinya sendiri. Wajah laki-laki berusia 28 tahun ini memang menarik. Hidung mancung, mata bulat sempurna, alis tebal dan badan tegap. Sayangnya, daya tarik itu selama ini dipergunakan dengan salah.
Dia suka berpetualang cinta, memacari lebih dari satu orang sekaligus dan selama ini aksinya selalu berjalan mulus. Ya, satu dua kesalahan minor bisa terjadi, tapi Boy sudah terbiasa sehingga cukup lihai mengantisipasinya. Percakapan spontan yang terjadi barusan ini contohnya.
Dia pun bergegas kembali ke meja mereka.
"Lama amat di toilet, Mas?" tanya Diah. Paras gadis ini juga manis, sebelas dua belas dengan Marni. Hanya saja dia sedikit lebih langsing.
"Itu, tadi antri di toilet yang buat BAB. Orangnya lama bener. Eh, punya Ayang Beb sudah habis ya?"