"Hmm... jangan-jangan... " Satyo menggantung kalimatnya dengan mata menggoda.
"...bapak naksir ya?" sambar Dodo. Jarak mereka terpaut beberapa meter, tapi rupanya Dodo yang asyik di pemanggangan masih bisa mendengar percakapan mereka.
"Huss! Jangan pikir yang aneh-aneh, kalian," sergah Bayu. Tapi senyum kikuknya seperti mengaminkan curigation kawan-kawannya. Mereka pun mulai ber-cie-cie ria.
Keributan itu seketika mereda saat Cinta keluar dari dalam rumah sambil membawa nampan berisi gelas-gelas kopi dan stoples gula pasir. Aroma kopi hitam menguar tajam.
"Pak Bayu, mau minum kopi atau teh, Pak?" tanyanya sembari menata minuman di atas meja.
"Mm... saya nanti saja ya. Itu sirupnya juga belum habis," sahut Bayu. Suara baritonnya tidak lagi terdengar tegas dan lepas seperti tadi.
Cinta jadi ngeh dengan perubahan suasana yang terjadi di tempat itu. Dia mengamati Satyo dan kawan-kawannya yang lain dengan tatapan heran.
"Kalian ini kenapa? Kok senyum-senyum gak jelas gitu?" tanyanya. Hening sesaat sebelum Satyo mencoba menjawabnya.
"Gak kok, Cin. Tadi Pak Bayu bertanya ... ng," Satyo terdiam saat Bayu berdiri sambil mengambil salah satu jepitan makanan di atas meja.
"Kayaknya cumi-cuminya sudah matang tuh, Do," ucap Bayu sambil berjalan ke arah pemanggangan. Dia sengaja memotong ucapan Satyo sekaligus melarikan diri dari depan Cinta. Dia tidak ingin wajah bersemu malu-malu kucingnya tertangkap basah.
"Dikit lagi kok, Pak," sahut Dodo.