"Karena bintang-bintang itu letaknya jauuuh sekali. Ini membuat cahaya dari bintang butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke bumi kita. Jadi, bisa saja bintang yang kita lihat ini sebenarnya sudah mati atau hilang sekarang, cahayanya saja yang baru sampai ke mata kita. Makanya para ahli astronomi bilang, saat melihat cahaya bintang-bintang di langit itu sebenarnya kita sedang melihat masa lalu ..."
Indri mengangguk-angguk kecil, " Ya, aku mulai ingat sekarang, Bim, hehe. Kamu kok tiba-tiba kepikiran tentang itu sih?"
Bimo tertawa. "Tidak tahu. Hanya tadi terlintas secara spontan, bagaimana ya kalau bintang dan bumi itu seperti manusia. Bintang jatuh cinta kepada bumi, lalu menyatakan cinta lewat cahayanya. Tapi begitu cahayanya sampai ke bumi, ternyata dia sendiri sudah ... menghilang."
Indri terdiam sejenak lalu menatap penuh arti ke wajah Bimo. Setelah bertatapan sejenak keduanya kembali memalingkan pandangan ke langit malam.
"Kasihan bumi dong, kalau gitu," sahutnya. "Kenapa bintang itu tidak mendekat saja supaya bisa menyampaikan cintanya secara langsung? Kalau begitu kan tidak perlu pakai cahaya-cahayaan segala."
"Ya, namanya saja bintang dan bumi. Kalau keduanya berdekatan, namanya Romeo dan Juliet dong."
Tawa keduanya meledak.
Setelah itu Indri mengernyitkan kening. "Sebentar-sebentar, kalau bintang menyatakan cinta dalam bentuk cahaya, nah, bumi membalasnya bagaimana?"
"Iya juga, ya, tapi ... bintang pasti punya caranya sendiri untuk mengetahui cintanya ditolak atau diterima."
"Masa sih?"
Bimo mengangguk, lalu meraih tangan Indri. Indri sedikit terkejut tapi tetap memasrahkan telapak tangannya dalam genggaman Bimo.