Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bila Bintang Mencintai Bumi

15 April 2021   19:21 Diperbarui: 15 April 2021   19:36 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay.com

"Kamu tahu tidak, kenapa cahaya bintang sering disebut cahaya dari masa lalu?"

---

Malam nyaris mencapai puncaknya, ketika Indri mendekati sisa-sisa api unggun di halaman belakang wisma yang lapang. Bimo ada di situ, duduk di atas tumpukan kayu umpan api unggun yang tidak terpakai lagi. Wajah bulatnya berwarna jingga samar-samar karena pantulan api unggun.

"Hai, Bimo," sapa Indri. Rambutnya yang dikuncir ke belakang, berayun mengikuti irama langkahnya.

Bimo berpaling dan membalas sapaan Indri. Dengan gerakan beringsut ke sisi kiri, dia memberi isyarat agar Indri duduk di sampingnya yang masih cukup lega.

Mereka baru saja merampungkan upacara api, demikian mereka menyebutnya, salah satu sesi pada latihan dasar kepemimpinan yang diadakan untuk puluhan mahasiswa-mahasiswi tingkat I.

Mahasiwa-mahasiswi baru itu diminta menuliskan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka pada selembar kertas, lalu pada saat upacara api berlangsung, kertas-kertas itu dilemparkan ke dalam nyala api unggun sebagai simbol mereka akan menghilangkan kebiasaan tersebut. Sebuah seremoni yang cukup berkesan.

"Belum ngantuk, In?" tanya Bimo.

"Belum. Sepertinya dua cangkir kopi hitam tadi mulai bereaksi," sahut Indri sembari melengkungkan senyum dan duduk di sisi Bimo.

Wajahnya tirusnya juga ikut memantulkan semburat warna jingga dari api unggun.

Keduanya memang mengenakan jaket tebal untuk mengenyahkan dinginnya malam tapi sepertinya bukan karena jaket itu udara tiba-tiba menghangat.

Bimo dan Indri ini seangkatan. Hanya saja keakraban di antara mereka baru intens terjalin saat Indri juga mulai aktif di himpunan mahasiswa jurusan akuntansi, kurang lebih enam bulanan ini. Bimo orangnya cuek dan cool, sedangkan Indri ceplas ceplos dan supel. Jadi sebagai pasangan, mereka sebenarnya sangat klop.

Tapi sejauh ini, hubungan mereka tidak kunjung naik kelas dari sekadar teman, walaupun banyak juga yang menyangka mereka telah benar-benar pacaran.

Bermenit-menit lamanya mereka larut dalam obrolan yang hangat, sesekali tertawa lepas seolah-olah malam ini tiada batas. Mereka membahas segala hal tentang kegiatan mereka di tempat yang berjarak 3 jam perjalanan dari kota itu: kelakuan anak-anak baru, rancangan kegiatan esok hari, tingkah para senior yang kocak, sampai rasa makanan dan minuman di wisma juga ikut jadi bahasan.

Percakapan terhenti sejenak karena Bimo sedikit salah tingkah saat matanya berpapasan dengan mata Indri. Ada bintang-bintang di situ yang selalu membuat Bimo sukses terpana.

"Kamu kenapa?" tanya Indri.

"Tidak kenapa-kenapa, kok."

Saat mengalihkan pandangan ke langit, Bimo tiba-tiba mendapat inspirasi.

"In, coba deh lihat bintang-bintang itu. Kamu tahu tidak kenapa cahaya bintang sering disebut cahaya dari masa lalu?"

Indri menggeleng sambil tersenyum. Dia tahu, jawaban iya atau tidak dari mulutnya bakal sama saja hasilnya. Bimo pasti akan terus mengoceh panjang lebar jika sedang bersemangat seperti saat ini.

"Masa sih?"

"Iyaa, gak tahu. Memang kenapa disebut cahaya dari masa lalu, Bim?"

"Karena bintang-bintang itu letaknya jauuuh sekali. Ini membuat cahaya dari bintang butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke bumi kita. Jadi, bisa saja bintang yang kita lihat ini sebenarnya sudah mati atau hilang sekarang, cahayanya saja yang baru sampai ke mata kita. Makanya para ahli astronomi bilang, saat melihat cahaya bintang-bintang di langit itu sebenarnya kita sedang melihat masa lalu ..."

Indri mengangguk-angguk kecil, " Ya, aku mulai ingat sekarang, Bim, hehe. Kamu kok tiba-tiba kepikiran tentang itu sih?"

Bimo tertawa. "Tidak tahu. Hanya tadi terlintas secara spontan, bagaimana ya kalau bintang dan bumi itu seperti manusia. Bintang jatuh cinta kepada bumi, lalu menyatakan cinta lewat cahayanya. Tapi begitu cahayanya sampai ke bumi, ternyata dia sendiri sudah ... menghilang."

Indri terdiam sejenak lalu menatap penuh arti ke wajah Bimo. Setelah bertatapan sejenak keduanya kembali memalingkan pandangan ke langit malam.

"Kasihan bumi dong, kalau gitu," sahutnya. "Kenapa bintang itu tidak mendekat saja supaya bisa menyampaikan cintanya secara langsung? Kalau begitu kan tidak perlu pakai cahaya-cahayaan segala."

"Ya, namanya saja bintang dan bumi. Kalau keduanya berdekatan, namanya Romeo dan Juliet dong."

Tawa keduanya meledak.

Setelah itu Indri mengernyitkan kening. "Sebentar-sebentar, kalau bintang menyatakan cinta dalam bentuk cahaya, nah, bumi membalasnya bagaimana?"

"Iya juga, ya, tapi ... bintang pasti punya caranya sendiri untuk mengetahui cintanya ditolak atau diterima."

"Masa sih?"

Bimo mengangguk, lalu meraih tangan Indri. Indri sedikit terkejut tapi tetap memasrahkan telapak tangannya dalam genggaman Bimo.

"Begini contohnya. Aku jadi bintang, kamu jadi buminya ya?"

Indri baru mau menyahut, tapi Bimo sudah berucap lagi.

"Bumi, aku jatuh cinta padamu. Sudah lama aku memendam rasa ini." Di ujung kalimat, suara Bimo bergetar.

Hati Indri pun berdesir.

"Ayo dijawab, Bumi."

"Aaa, binguuung!" balas Indri dengan suara manja.

"Loh, kok bingung?"

"Aku tidak mau jadi bumi. Aku maunya jadi Indri. Kamu tidak perlu jadi bintang, jadi Bimo saja. Tidak usah pakai umpama-um-"

"Sst!"

Indri tiba-tiba membisu, karena telunjuk Bimo sudah ada di depan bibirnya.

"Oke, In. Kita tidak usah pakai analogi-analogi lagi, aku mau terus terang kalau ..."

Detak jantung keduanya meningkat nyaris dua kali lipat

" ... aku sudah lama jatuh cinta sama kamu, In. Dari awal kuliah, malah. Sejak pertama kali melihat kamu pakai kepang warna-warni, aku sudah jatuh hati. Kamu boleh percaya atau tidak. Hanya saja, aku tidak pernah berani terus terang. Tapi sekarang ... ehm, sekarang ... mau gak kamu jadi pacar aku?"

Bimo kini terlihat lega dan takut sekaligus. Ekspresi Indri penyebabnya. Matanya menatap tajam karena kesal ke arah Bimo.

"In?"

"Bim, kamu serius?"

Bimo mengangguk.

Pukulan bertubi-tubi pun bersarang di bahu Bimo.

"Kenapa kamu baru bilang sekarang sih, Bim? Tahu gak, aku tuh capek klarifikasi ke orang-orang tiap ada yang tanya kita benar pacaran atau tidak! Coba dari dulu kamu bilang begini kan selesai masalahnya."

Bimo tersenyum lucu sambil mencoba menahan serangan Indri. "Jadi jawabannya?"

"Mauuu! Pakai nanya lagi."

Bimo pun berdiri senang dan mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke angkasa.

"Bimo! Indri! Kami tidur duluan yak!" terdengar seruan dari jauh di belakang mereka. Senior-senior lain yang tadinya nongkrong di beranda belakang wisma sudah bergerak masuk ke dalam.

"In, jangan lupa besok pagi kamu yang pimpin senam," suara lainnya menimpali.

"Oke kaaak!," sahut Indri setengah berteriak.

Sunyi sejenak.

"Iklan lewat!" celetuk Bimo.

Keduanya tertawa lepas. Langit malam yang bersih tanpa tirai awan, memamerkan kerlap-kerlip bintang-bintang di sana. Semesta pun sepertinya ikut merayakan cinta yang bersemi di hati kedua anak manusia itu.

---

Kisah manis ini terjadi 2 bulan lalu.

Setiap kali mengingatnya, Indri tidak kuasa menahan air matanya.

Selama ini Bimo pandai menyembunyikan penyakit kanker otak yang ternyata telah menggerogoti tubuhnya. Akhirnya, dua minggu lalu Bimo pergi untuk selama-lamanya. Dengan kepergiannya itu, Bimo telah benar-benar telah menjadi cahaya dari masa lalu untuk Indri.

Memang kehidupan ini kadang suka bermain teka-teki yang pelik. Bunga-bunga cinta yang baru saja bersemi di antara keduanya, akhirnya hanya jadi sebuah kenangan singkat. Bahkan Indri masih bisa merasakan hangatnya genggaman tangan Bimo saat menyatakan cinta kepadanya.

Indri, juga keluarga dan teman-teman Bimo yang lain, sangat tidak siap dengan perpisahan ini.

Tapi takdir tidak bisa dilawan, bukan? Bahkan dengan cinta paling besar sekalipun.

Setelah merenungkan misteri kehidupan itu berhari-hari lamanya, Indri pun sampai pada sebuah kesimpulan. Mungkin memang kehadiran Bimo dalam hidupnya, dan kehadirannya dalam hidup Bimo adalah suratan takdir. Di balik duka mendalam, tetap terbersit kepingan bahagia karena dia telah memberikan cintanya sepenuh hati di waktu-waktu akhir hidup Bimo.

Saat pergi selama-lamanya tubuh Bimo kesakitan, tapi hatinya tidak, karena ada cinta yang sedang indah bersemi di sana.

Di ujung senja ini, helai-helai bunga mawar dan melati berjatuhan dari genggaman Indri ke atas nisan Bimo. Lewat angin yang bertiup syahdu, dia menitipkan doa-doa. Semoga Bimo, kekasih hati, bahagia di alam sana. 

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun