"Di ketiak..."
"Dia bukan Dewa Hitung Cepat," bisik Dewa Arif Bijaksana pada Dewa langit.
"Iya, anda belum pernah sakit tulang, bukan?" Dewa Langit balas berbisik. Dewa Arif Bijaksana mengangguk.
Amarah dewa langit pun kembali membuncah. Dia mengetukkan tongkat petirnya ke lantai lalu sekonyong-konyong cahaya petir menyilaukan muncul dari tongkat itu dan menyambar Dewa Hitung Cepat. Dia terpental ke belakang, dan rupa Dewa Hitung Cepat yang tambun hilang berganti dengan sosok kurus dengan mata bulat besar ketakutan. Sebilah pedang bergagang kayu cendana tergeletak tidak jauh dari tempatnya terjatuh.
"Dewa Muslihat! Berani sekali kamu menginjakkan kaki ke Galampus!" suara Dewa langit kembali menggelegar.
Dewa Muslihat pun tergopoh-gopoh bangkit dan hendak meraih kembali gagang pedang untuk melarikan diri. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti dan separuh tubuhnya berubah menjadi batu. Rupanya Dewa Bumi baru saja beraksi.
"Ini hanya sementara saja, Baginda Dewa. Sihir batu ini hanya bertahan selama 20 helaan napas saja," ucap Dewa Bumi.
"Itu sudah cukup," sahut Dewa Langit.
Dia pun memerintahkan beberapa Dewa untuk membungkam dan menyekap Dewa Muslihat ke tempat yang aman, menunggu keputusan sidang para dewa selanjutnya.
"Sementara itu, harus ada yang menjemput Dewa Hitung Cepat kembali ke Galampus. Dia kehilangan mustikanya, jadi pasti kesulitan menemukan jalan kembali," ucapnya lagi.
"Biar saya saja, Baginda," Dewa Kemelut mengajukan diri. "Saya tadi merasa bersalah, hampir saja menjatuhkan hukuman ke atas kerajaan Nusantara."