“Jatuh juga tidak apa-apa, Neng. Yang penting jatuhnya di hati neng Widya. Hihi…,” Memet pun mulai melancarkan jurus-jurus mautnya.
Widya memukul pelan bahu Memet.
“Awas istrinya marah loh…”
“Loh, sumpah, saya masih perjaka tong-tong, Neng.”
Terdengar lagi tawa lucu Widya. Percakapan mereka yang hangat, sehangat penggorengan tukang martabak pun berlangsung sampai kira-kira lima menit kemudian, saat mereka sampai di depan rumah kontrakan Widya.
Saat turun Widya menyerahkan sepuluh ribuan satu lembar. Memet enggan menerimanya. Dia terlihat malu-malu kucing garong.
“Kenapa, Bang. Gratis ya?”
Memet menggaruk-garuk helmnya.
“Bukan begitu, Neng. Kurang. Mestinya lima belas ribu…”
Widya terbelalak.
“Masa sih? Biasa juga ceban!”