Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memet the Ojeker

23 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 1 April 2017   08:51 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: www.you-can-be-funny.com

Senja menyapa kompleks Bumi Asri Mekar Mewangi, perumahan warga menengah di salah satu sudut metropolitan.

Pada waktu seperti ini, Memet bersama beberapa rekannya sesama tukang ojek sudah stand by dengan manis di pangkalan ojek mereka. Mereka sepakat memberi nama pangkalan mereka dengan nama POC (bacanya pi o si, ya) biar keren, rada-rada british gitu. Padahal  begitu ditanya arti POC, jawaban mereka endonesia juga, Pangkalan Ojek Cinta. Hehe. Nama itu disematkan dengan harapan tukang-tukang ojeknya selalu melayani dengan penuh cinta.

Dan sepertinya penumpang lagi ramai, biasa didominasi karyawan-karyawati yang baru pulang dari tempat kerja mereka.

Nah, sore ini rejeki Memet lagi kinclong. Baru mangkal beberapa menit, sudah ada penumpang yang mampir. Penumpangnya seorang cewek bening yang tinggal di salah satu rumah kontrakan dalam kompleks. Memet juga sudah beberapa kali mengantar cewek itu. Tapi dia termenung. Sudah seakrab ini, dia belum pernah tahu nama cewek itu.

Makanya saat mulai menelusuri jalan-jalan kompleks dia sengaja melambatkan laju motornya agar bisa bercakap-cakap lebih leluasa.

“Neng,” sapa Memet.

“Iya, Bang.”

“Hidup ini aneh ya. Saya sudah sering membonceng Neng, tapi sampai sekarang saya belum tahu siapa namanya.”

Cewek itu tersenyum.

“Nama saya Andrew. Namanya Neng siapa?”

Cewek itu memukul kecil bahu Memet.

“Itu nama palsu apa nama samaran, Bang? Kemarin teman ojek yang ngantar saya bilang namanya Alex. Tahu-tahu waktu ketemu bininya dipanggil Gugun.”

Memet tertawa dalam hati. Apes dah si Gugun, batinnya.

“Oh kalau saya memang punya nama gaul di pangkalan, Neng. Andrew. Tapi untuk Neng saya jujur deh. Nama saya Memet.”

Terdengarlah tawa geli sang penumpang.

“Jauh amat, Bang. Andrew sama Memet.”

“Yaa, namanya juga usaha. Terus…  Neng ini?”

“Nama saya Widyawati, Bang. Tapi panggil saja Widya…”

Memet mengangguk-angguk.

“Widya… Namanya secantik orangnya.”

Wajah Widya seperti bersemu merah jadinya.

“Bagaimana nih? Mau salaman tapi tangan abang kan lagi megang setir. Ntar jatuh lagi!” sahut Widya.

“Jatuh juga tidak apa-apa, Neng. Yang penting jatuhnya di hati neng Widya. Hihi…,” Memet pun mulai melancarkan jurus-jurus mautnya.

Widya memukul pelan bahu Memet.

“Awas istrinya marah loh…”

“Loh, sumpah, saya masih perjaka tong-tong, Neng.”

Terdengar lagi tawa lucu Widya. Percakapan mereka yang hangat, sehangat penggorengan tukang martabak pun berlangsung sampai kira-kira lima menit kemudian, saat mereka sampai di depan rumah kontrakan Widya.

Saat turun Widya menyerahkan sepuluh ribuan satu lembar. Memet enggan menerimanya. Dia terlihat malu-malu kucing garong.

“Kenapa, Bang. Gratis ya?”

Memet menggaruk-garuk helmnya.

“Bukan begitu, Neng. Kurang. Mestinya lima belas ribu…”

Widya terbelalak.

“Masa sih? Biasa juga ceban!”

“Iya, Neng. Tapi sekarang udah naik. Soalnya biaya operasional juga naik…”

Kening Widya mengernyit.

“Biaya operasional apaan? Emang bensin naik lagi ya?”

Memet menggeleng.

“Bukan bensin yang naik, Neng, tapi rokok.”

Kernyitan di kening Widya semakin bertambah.

“Yee, apa hubungannya?”

“Kan kalau mangkal sambil nunggu penumpang mesti ngerokok dulu. Terus kalau gak merokok kepala sedikit pening, bahaya kan buat penumpang.”

“Lagian baru rencana pemerintah, Bang. Belum naik beneran, kan?”

“Yah, tahu sendiri, Neng, Indonesia kayak mana. Lihat tuh kemarin sebelum harga bensin naik, eh, harga-harga sudah naik duluan.”

Bibir Widya manyun karena kesal. Hilang sudah paras manisnya. Dia sebenarnya masih mau adu argumen sama Memet, tapi karena sudah terlanjur capek dia pun terpaksa mengubek-ubek isi tasnya dan menyerahkan selembar  lima ribuan dengan ketus.

“Eh, helemnya jangan dibawa dong, Neng.”

Helm pun juga dikeluarkan dan diserahkan dengan ketus lalu buru-buru berjalan ke arah pagar rumah.

Memet sebenarnya rada keder dengan ekspresi penumpangnya yang bisa berubah 180 derajat itu. Tapi dia tetap bahagia bisa selangkah lebih akrab dengan Widya. Siapa tahu besok-besok beneran bisa diperkenalkan kepada orang tuanya sebagai calon istri kan?

Tapi begitu Memet memutar motornya, dia terkejut mendengar seorang ibu tetangga memanggil Widya sambil menyodorkan selembaran kertas berwarna kuning.

“Ipeh, nih tadi petugas tipi kabel nitip kartu tagihannya…”

“Hah?! Ipeh?” gumam Memet. “Ternyata namanya aspal juga. Coba tahu tadi sekalian minta dua puluh rebu.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun