Rintik hujan dari langit malam menari-nari, sesekali singgah di permukaan kaca jendela Janet. Dari balik selimutnya yang hangat Janet nampak ketakutan. Bukan karena tarian hujan itu, tapi karena gema bisikan-bisikan yang memenuhi kamarnya. Janet menangkap getar-getar jahat dari bisikan itu.
Janet sudah beberapa kali memberitahukan hal itu kepada Dad. Tapi jawaban Dad sama sekali tidak menolong. Dad berpikir Janet hanya sedang berhalusinasi karena merindukan mendiang Mom. Memang, belum sebulan ini Mom pergi meninggalkannya, Dad dan bibi Grace. Mom pergi karena sebuah kecelakaan tragis di depan gedung apartemen mereka.
Tadi saat jarum jam belum jauh meninggalkan angka sembilan, Dad datang mengecek putri semata wayangnya. Semua nampak normal.
“Lihat, semuanya baik-baik saja, bukan?” ucap Dad. Janet mengangkat bahunya. Malam ini dia nampak manis dengan balutan gaun tidur bernuansa pink.
“Lihatlah, gadis ayah sekarang sudah tumbuh besar. Tak lama lagi, kamu berusia 16 tahun, sayang. Mom pasti mendoakan kamu dari surga sana. jadi, kamu mulai harus belajar dewasa…,”
Janet mengangguk lalu memeluk Dad erat-erat. Dia suka aroma parfum Dad yang satu ini, yang selalu digunakannya setiap akan bepergian jauh.
“…apa ini artinya, Dad tetap akan ke Atlanta malam ini. Tak bisakah sesekali Dad membatalkan acara-acara perusahaan dan menemani aku sepanjang malam,” rengek Janet.
Dad tersenyum dan mengacak-acak rambut pirang Janet.
“…kita sudah membicarakan ini di meja makan, bukan? Pekerjaan Dad menumpuk selama masa berduka setelah kepergian Mom. Sekarang waktunya Dad bekerja seperti biasa.”
Janet mengangguk pasrah.
“…lagipula ada bibi Grace dan telepon Dad siap 24 jam sehari menerima kabarmu…”
Itu gema percakapan yang masih berbekas sebelum Dad meninggalkan apartemen dan mengejar pesawat terakhir Boston-Atlanta malam ini.
Pukul 10 malam, Janet berusaha memejamkan matanya. Suara bisikan itu mulai terdengar lagi. Awalnya Janet berpikir suara itu hanya desis angin yang berhembus bersama hujan. Namun lama kelamaan desis itu menjadi mirip bisikan, yang terdengar terputus-putus. Bisikan itu seperti barisan kata-kata acak, sesekali Janet merasa bisikan itu sedang memanggilnya.
Janet ingin sekali berteriak mengusir suara-suara itu. Tapi dia tidak ingin bibi Grace berpikir dia sudah gila.
“Atau jangan-jangan aku sudah gila?” batin Janet.
“Aku belum gila. Aku memang hanya terlalu memikirkan ibu…,”
“Mungkin aku hampir gila…,”
Lalu seiring suara hujan yang mereda, suara bisikan itu tiba-tiba lenyap. Malam jadi benar-benar senyap.
Lalu tiba-tiba terdengar suara teriakan histeris mirip suara bibi Grace dan suara seseorang jatuh ke lantai dengan deras. Suara itu begitu dekat. Janet merasa suara itu datang dari luar kamarnya.
Suasana kembali hening. Jantungnya berdegup lebih kencang.
Apa yang sedang terjadi? Apa dia juga baru saja berhalusinasi?
Janet pun berjingkat menuju ke pintu kamarnya lalu menempelkan telinganya ke situ. Tak ada suara apapun di luar sana. Dia perlahan-lahan membuka kenop pintu untuk melihat keadaan di luar. Jantungnya hampir copot saat seseorang menghentak keras pintu tersebut dari luar sehingga Janet kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“Wow, ada gadis kecil, bos…!!”
Dua orang pria berpakaian serba hitam, mengenakan masker, menyerbu masuk. Janet menjerit sekencang-kencangnya tapi salah satu pria cepat-cepat menampar Janet dengan gagang senjatanya. Janet kehilangan kesadaran terjerembab ke lantai.
“Bukan ini kamarnya…,” ucap pria satu lagi. “Amankan putrinya, aku yang akan mencari. Masih ada satu kamar lagi di sebelah dalam…,”
“Siap, bos…”
Pria yang dipanggil bos bergerak ke luar kamar, tapi pada langkah pertama dia kembali berbalik dan mengarahkan telunjuk pada kawannya.
“Ingat… jangan berbuat bodoh seperti tadi lagi. Gunakan senjatamu hanya bila benar-benar perlu.”
Setelah itu sang bos benar-benar beranjak ke kamar lain dalam apartemen itu.
Hujan di luar mulai menari-nari kembali. Sesekali meninggalkan jejak di jendela kaca. Yang empunya kamar sedang terbaring tak sadarkan diri di atas karpet lantai dan tepat disampingnya seorang dari dua penerobos apartemen bersenjata mengawasinya lekat-lekat.
Seiring hujan, bisikan-bisikan jahat terdengar dalam kepala pria itu.
Gadis mungil berambut pirang yang tergeletak pasrah di lantai begitu menggoda. Bibirnya begitu ranum. Lekuk-lekuk kewanitaannya mulai terbentuk indah. Sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Pria itu pun mengambil kabel supply daya laptop di atas meja dan mengikat kencang-kencang kedua tangan Janet ke arah atas kepalanya.
Nafsu iblis mulai membuncah di kepala. Sekali gerakan, separuh tubuh Janet habis digerayang. Separuhnya lagi menunggu giliran selagi dia membereskan posisi celananya. Pria itu pun membuka masker-nya agar lebih leluasa melumat bibir Janet. Pria itu bermata biru dengan rahang kokoh, dan bekas jahitan operasi memanjang di keningnya.
Tak bergeming, tubuh Janet pasrah menerima setiap sentuhan dan desahan pria itu.
“Sebenarnya tidak seru juga menikmati permainan solo ini”, batin pria rahang kokoh. ”Tapi sudahlah, sekarang sentuhan terakhir.” Pria itu meregangkan kedua kaki Janet.
Tapi seperti kaki jenazah, kedua kaki Janet terpatri erat di lantai. Kaku dan keras. Pria itu mencoba lagi sekuat tenaga. Nihil.
“Apa dia tewas terhantam gagang pistol?”
Pria itu menempelkan telinganya ke dada Janet. Degup jantungnya masih terdengar.
Lalu pria itu meloncat karena terkejut.
Masih dengan mata tertutup, Janet menggerakkan kedua tangannya yang terikat kencang. Sekali sentak, kabel pengikat itu putus seperti benang terbakar api. Kedua mata Janet terbuka lebar-lebar, sepasang mata itu menatap dingin.
Gantian pria itu yang terpekik tertahan.
“Pergilah ke neraka, bajingan….,” seru Janet serak. Suaranya mirip suara nenek renta yang sedang sekarat.
Janet berdiri. Lalu raut wajahnya berubah. Urat-urat bertonjolan di situ. Kemudian di sepanjang tangan dan kakinya. Wajahnya pun membiru seperti mayat.
Pria itu gemetar ketakutan dan mengarahkan pistolnya ke arah Janet. Tersenyum dingin, Jane maju perlahan.
“Ja…. Jangan mendekat!!,” seru pria rahang kokoh. Pucuk pistol tetap diarahkan ke sosok Janet tapi pegangannya kelihatan benar-benar goyah karena ketakutan. Kini Janet menempelkan dahinya di ujung pistol itu.
Bukannya menembak, pria itu malah nampak semakin ketakutan. Air matanya mulai merembes turun.
“Jangan mendekat,… please….!!”
Janet pun mengambil napas panjang lalu berseru sekuat tenaga, masih dengan suara mengerikan itu, “Pergi ke neraka, bajingaaaaannn…….!!!”
Pria rahang kokoh pun berlari menjauhi Janet. Ironisnya, dia justru berlari dan menerobos kaca jendela Janet. Suara beling pecah berserakan terdengar pilu mengoyak malam.
Tubuh pria itu jatuh enam lantai ke bawah. Nyawanya tak bisa diselamatkan lagi.
Tepat saat tubuhnya menghantam jalanan, sebuah mobil patroli Polisi melintas. Seorang petugas buru-buru membuka pintu mobil, mengecek keadaan pria rahang kokoh dan memandang ke atas, ke arah jendela kaca yang pecah. Nampak sekilas wajah seorang nenek dengan tatapan mengerikan.
*****
Peristiwa itu langsung menghiasi halaman utama surat kabar keesokan harinya. Dad begitu mendengar kabar, langsung mengambil pesawat paling pagi dari Atlanta kembali ke Boston.
Berhari-hari kemudian Janet masih nampak terpukul. Belum lama berselang ibunya meninggal dunia, bibi Grace pun harus pergi dengan peluru perampok yang menyatroni apartemen mereka di malam naas itu. Keduanya adalah wanita yang dekat dan sangat berarti dalam kehidupannya.
Polisi belum bisa menemukan hubungan antara nenek yang dilihat petugas pada malam kejadian, bagaimana pria rahang kokoh terjatuh dan Janet yang didapati petugas masih dalam keadaan pingsan di kamarnya.
Keterangan Janet sangat minim untuk mengungkap kasus ini. Suara jeritan bibi Grace, suara seseorang jatuh ke lantai, lalu dua orang pria bertopeng menerobos masuk ke kamarnya dan…. dunia seperti lenyap.
Janet tersadar di dalam mobil ambulans, ditemani dua orang perawat dan seorang petugas Polisi.
Diketahui kemudian perampok yang jatuh tewas itu adalah mantan karyawan Dad. Dad berpikir mereka merampok mungkin karena dendam pada Dad setelah mereka di-PHK karena ketahuan menggelembungkan pembiayaan kantor. Kemungkinan perampok lainnya yang masih dalam pencarian juga terkait dengan mantan karyawan Dad itu.
****
Lama kelamaan, Janet pun mulai bersahabat dengan bisikan yang muncul setiap jam 10.00 pada malam-malam tertentu. Pada salah satu mimpi, Janet melihat seorang pria gondrong berwajah jahat diusir oleh seorang nenek meninggalkan rumahnya. Nenek itu lalu memandang Janet dengan tatapan sendu.
“Mungkin bisikan itu adalah nenek pelindung kamar ini,“ batin Janet. “Tidak terlalu buruk sebenarnya…,”
Sayangnya setelah Janet mulai beradaptasi, Dad memboyongnya untuk pindah ke Atlanta. Alasannya Dad dipindahtugaskan, sekaligus mencari suasana baru. Tapi Janet berpikir sepertinya Dad pun belum benar-benar siap menghadapi dua peristiwa maut yang hampir datang bersamaan.
Dari dalam taksi yang akan menghantar mereka ke bandara, Janet memandang kamarnya, mungkin untuk terakhir kalinya. Kening Janet mengernyit. Disitu nampak seorang nenek berdiri memandanginya dengan wajah sendu.
__________________________
photo by Hensdill www.flickr.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H