MISI GEREJA DI TENGAH KEBERAGAMAN AGAMA ASIA
SUATU URAIAN TEOLOGIS DARI PEMIKIRAN ALOYSIUS PIERIS
Â
ABSTRAKSI
Gereja diutus melanjutkan karya penyelamatan Kristus kepada segala bangsa, termasuk Asia. Dia Asia, Gereja termasuk kelompok minoritas. Misi Gereja yang relevan dengan konteks Asia menuntut Gereja harus berdialog. Karena manurut Aloysius Pieris agama-agama Asia memiliki inti soteorologis tersendiri. Pieris memandang perlu Gereja lokal Asia bersikap rendah hati. Gereja harus mengakomodasikan diri dalam religiositas non-Kritiani dan berpartisipasi dalam spiritualitas non-Kristiani. Evangelisasi yang integral harus diperjuangkan oleh Gereja, sehingga mamon sebagai musuh bersama dapat dilenyapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
- Pengantar Umum
Selama hampir dua ribu tahun Gereja tidak pernah lupa akan tugas perutusannya. Gereja diutus menunjukkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa.[1] Hakekat misioner Gereja berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus sesuai dengan rencana Bapa.[2] Dalam bermisi Gereja pernah menganut adagium extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) bahkan Gereja mengklaim diri sebagai satu-satunya organum salutis (sarana keselamatan) di luar Gereja dipandang sebagai obyek yang harus ditobatkan dan dikristenkan.[3] Di Asia, Gereja dirasa asing dan terasing di tengah masyarakat Asia yang diwarnai pluralitas suku, agama dan budaya.[4]
- Perkenalan dengan Aloysius PierisÂ
- Riwayat Hidup[5]
Aloysius Pieris lahir pada tahun 1934, di Ampitiya, Sri Lanka. Ia masuk Serikat Yesus pada tahun 1953 dan ditahbiskan menjadi mama pada tahun 1965. Study filsafatnya diselesaikan pada tahun 1959 di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India. Pada tahun 1966, ia mendapat gelar sarjana teologi di Fakultas Teologi Kepausan, di Napoli, Italia.
Pieris merupakan orang Kristen pertama yang mendapat gelar doktor filsafat Budha di Universitas Sri Lanka pada tahun 1972. Selama belajar di sana, ia juga mengikuti praktek meditasi di bawah bimbingan seorang rahib Budha. Pieris sempat menjadi dosen di Universitas Cambride, Unio Teologi Washington, Graduale Theological di Berkley. Ia juga bekerja sebagai profesor bagi agama-agama Asia pada Institut Pastoral Asia Timur di Manila. Pieris telah lama menjadi orang terkenal yang diundang ke mana-mana, baik di Eropa maupun di Asia dalam kegiatan seminar-seminar dan diskusi-diskusi teologi pastoral. Beliau juga cukup berperan dalam FABC.
- Perkembangan Pemikiran Pieris
Untuk mengerti perkembangan pemikiran Pieris cukup sulit. Perkembanagan pemikirannya sangat berhubungan erat dengan perjalanan rohani dan partisipasinya dalam situasi religius-kultural. Pemahaman akan perkembangan pemikiran Pieris dapat dilihat melalui pengalaman-penngalamannya dan lewat karya-karyanya.
- Pengalaman dan Keterlibatannya[6]
Pieris memandang Konsili Vatikan II lebih sebagai titik tolak daripada sebagai titik tujuan dalam menerapkan tugas yang menantang dalam melaksanakan ajaran-ajaran Konsili pada konteks Asia dan dalam memberi bentuk Asia yang konkret kepada semangat Konsili itu.[7]
- Karya-karya Pieris[8]
Banyak tulisan Pieris selama dua dekade post-Konsili Vatikan II. Karya-karyanya itu tersebar luas dalam aneka majalah dalam bentuk artikel-artikel. Seseorang tidak mudah mendapat suatu uraian pemikiran menyeluruh dari awal sampai akhir. Berbagai artikel yang ditulis Pieris bisa disimak dalam tiga bukunya: An Asian Theology of Liberation; Love Meets Wisdom, A Cristian Experience of Budhism dan Fire and Water, Basic Issues in Asian Budhism and Cristianity.
BAB II
SEKILAS TENTANG MISI DAN REALITASÂ
KEBERAGAMAN ASIA
- Misi
- Pengertian
Secara etimologis, kata "misi" berasal dari kata benda bahasa Latin missio, yang berarti pengutusan. Dalam konteks religius, missio diartikan sebagai pengutusan seseorang oleh Allah untuk menyampaikan maksut-Nya kepada orang lain. Seperti pengutusan para malaikat, pengutusan Kristus dan pengutusan Gereja.[9] Misi Gereja mangandung Trinitas: berasal dari Bapa kepada Putera, diteruskan oleh Putera kepada Gereja sebagai tujuan misi-Nya dan Gereja senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus. kata missio dalam bahasa inggris dibedakan dalam dua pemakaian, yakni mission (bentuk tunggal) dan missions (bentuk jamak). Mission berati karya Allah (God's mission) atau tugas yang diberikan Tuhan kepada kita (Our mission).
Menurut Konsili Vatikan II, misi adalah istilah yang biasa dipakai untuk mengungkapkan usaha-usaha khusus yang ditempuh oleh para pewarta Injil yang diutus oleh Gereja untuk pergi ke seluruh dunia, melaksanakan tugas mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di antara para bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus.[10]
- Dasar Biblis
Tugas perutusan Gereja mempunyai dasar dalam Kitab Suci. Dalam Kitab Suci terdapat banyak perikop yang berbicara tentang tugas tersebut. Gereja diutus oleh Allah kepada para bangsa sebagai sakramen universal keselamatan. Tugas perutusan merupakan realisasi dari tuntutan dan perintah dari Yesus sendiri. gereja senantiasa berusaha sekuat tenaga mewartakan Injil kepada semua orang, diharapkan Sabda Allah dapat didengar dan kerajaan-Nya dibangun di mana-mana.[11] Penginjil Markus juga mencatat amanat agung Yesus: "pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil ke segala mahkluk.Â
Siapa yang percaya dan dibabtis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum" (Mrk 16:15).[12] Realisasi tugas ini hanya mungkin karena Roh yang mendorong Gereja untuk mewartakan karya-karya agung Allah. Paulus berkata:" Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil" (1Kor 9:16).[13]
- Tujuan Karya Misi
Karya misi Gereja mempunyai dua tujuan, yakni mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di tengah para bangsa atau golongan di mana Gereja belum berakar.[14] Tanggapan terhadap pewartaan Injil adalah iman dan iman membangkitkan komunikasi iman.[15] Pembentukan Gereja adalah kelanjutan dari pewartaan Injil. Gereja yang dibentuk pertama-tama bukan tujuan pada dirinya sendiri dan bukan demi kemuliaan dirinya tapi demi kepentingan dunia.Â
Tugas Gereja adalah mewartakan pesan kerajaan Allah kepada semua bangsa. Di sinilah letak hubungan langsung antara kedua tujuan tersebut.[16] Tujuan misi di Asia bukan terutama menobatkan orang lain menobatkan orang lain menjadi anggota Gereja (kristenisasi), tetapi lebih pada "memberi kesaksian" mengenai arti dan nilai-nilai yang diimani oleh Gereja. Dengan demikian massa non-Kristiani tidak hanya mendengar Injil saja, tetapi menyaksikannya. Inilah cara baru pewartaan Kabar Gembira di Asia.[17]
- Realitas Keberagaman Asia
Asia merupakan tempat kelahiran semua Agama. Agama-agama telah membentuk kebudayaan dan kesadaran batin masyarakat Asia. Rasa keberagaman sangat berakar di hati setiap orang Asia sehingga seluruh kehidupan, sikap dan pola pikir sungguh diilhami oleh keyakinan agamanya.
- Agama Kosmis
Pieris mengetengahkan kerangka institusional agama-agama Asia meliputi dua unsur yang paling melengkapi, yakni agama kosmis sebagai dasar dan soteorologi metakosmis menjadi bangunan utamanya.[18] Menurut Pieris, istilah agama kosmis atau kereligiusan kosmis lebih tepat atau lebih baik daripada isilah agama pirimitif atau animisme. Kereligiulisan kosmis menujuk pada agama suku yang ditemukan di Afrika, Asia dan Oceania.[19] Kereligiusan kosmis berkisar seputar daya kuasa kosmis, yang biasa diistilahkan dengan nama dewa, ilah atau roh.[20]Â
- Agama Metakosmis
Agama metakosmis[21] adalah agama-agama yang merumuskan soteriologinya sebagai daya yang ada "di seberang" alam semesta. Daya tersebut membawa keselamatan dan pembebasan bagi manusia. Pieris menyebut tiga agama metakosmis di Asia: Budhisme, Hinduisme dan Taoisme. Tiga agama tersebut agama-agama non semitis yang memiliki Kitab Suci. Ketiga agama itu telah menyerap agama-agama suku yang tidak mempunyai Kitab Suci sehingga menghasilkan Budhisme populer, Hindiusme populer, dan Taoisme populer.[22]Â
Agama-agama metakosmis di atas harus dibedakan dengan agama-agama semitis, yakni agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Ketiga agama semitis tersebut bersifat agapeis. Artinya, realisasi penyelamatan bagi manusia terlaksana melalui cinta kasih. Oleh karena itu, agama-agama semitis ini juga dapat digolongkan ke dalam soteriologi metakosmis. Ketiga agama semitis juga mampu menyerap keagamaan rakyat atau kosmis, sehinga melahirkan Islam populer atau Kekristenan populer.[23]
- Kekhasan Religius-Kultural Asia
Pieris menyebut tiga kekhasan Asia yang membentuk etos Asia, yaitu heterogenitas bahasa, pencampuran unsur kosmis dan metakosmis dalam perfektif agama Budha dan kehadiran soteriologi non-Kristiani.
- Heterogenitas Bahasa
Bagi Pieris, setiap bahasa mempunyai kekhasan dalam mengalami kebenaran. Pemikiran ini berlawanan dengan pandangan kaum nominalis[24], yang menyatakan bahwa kebenaran ditangkap secara intuitif dan diungkapkan lewat bahasa. Pieris berkesimpulan bahwa agama sebagai pengalaman akan realitas dan bahasa adalah pengungkapannya; tetapi sebaliknya lebih tepat, bahasa merupakan pengalaman akan realitas dan agama adalah pengungkapannya. Di sini Pieris melihat bahasa sebagai suatu teologi yang baru mulai.[25]Â
- Percampuran Unsur Kosmis dan Metakosmis dalam Persfektif Agama Budha
Bagi Pieris, kekhasan kereligiulitas Asia adalah bahwa agama-agama kosmis tidak pernah muncul dalam bentuk yang murni dan primordial. Tetapi dijinakkan dan dipadukan dalam salah satu dari ketiga soteriologi metakosmis, yakni Hinduisme, Budhisme dan Taoisme.
Pieris memiih agama Budha untuk menggambarkan pencampuran unsur kosmis dan metakosmis bukanlah suatu kebetulan. Pieris melihat bahwa agama Budha adalah agama pan-Asia. Paling kurang ada dua puluh wilayah politis[26] yang menganut Budhisme sebagai agama resmi dan telah berakar dalam budaya setempat. Sesungguhnya, agama Budha adalah agama yang telah tersebar luas di Asia. Disamping itu, agama Budha adalah agama ulet secara politis dalam berjuang menuju kemerdekaan kolonialisme barat dan marxisme.
Istilah "kosmos" dan "metakosmos" sebenarnya berasal dari pemahaman orang Budha: lokiya dan lok'uttara. Lokiya menunjuk unsur kosmis yang bagi orang Budha melukiskan segala aktivitas sosial-politik dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lok'uttara sebagai unsur metakosmis merupakan segala sesuatu yang mendukung pembebasan batin manusia.[27] Tujuan metakosmis merupakan kesempurnaan terakhir yang meliputi tidak adanya ketamakan (alobha), penindasan dan kebencian (adosa), dan pengetahuan sempurna yang menyelamatkan (amoha). Sangha sebagai komiunisme religius[28] yang mejadi lambang komunitas religius dalam mencapai cita-cita hidup bersama dengan berbagi milik besama.
- Kehadiran Soteriologi Non-Kristiani
Pieris mengatakan bahwa semua agama di dunia yang memiliki Kitab Suci, termasuk agama Kristen, lahir di Asia. Hanya kemudian agama Kristen meninggalkan Asia, setelah bebrapa abad kembali sebagai orang asing di tanah kelahiranya yang kurang diterima oleh massa Asia. Hal ini menjadi keminoritasannya di Asia.Â
Dengan kehilangan rasa Asianya itu, Pieris bertanya, "apakah agama Kristen bisa menciptakan suatu teologi Asia?"[29] dalam kondisi demikian, Pieris masih menaruh harapan bahwa Gereja di Asia masih mempunyai ruang gerak untuk menciptakan teologi dunia ketiga. Agar sampai pada realitas demikian, maka gereja-gereja Asia dipanggil untuk hadir secara kreatif dengan ikut aktif penuh rendah hati dalam pengalaman pemerdekaan orang-orang non Kristiani. Dengan melihat situasi yang ada, Asia akan tetap sebagai benua bukan Kristen.[30]
- Kesatuan Agama dan Filsafat dalam Soteriologi Metakosmis
Pieris melihat bahwa komunis di Beijing (Cina) pernah mengatakan bahwa Budhisme sebagai suatu agama akan lenyap dalam perjalanan sejarah. Para misionaris Sri Lanka pun pernah mengatakan hal yang sama pada saat kolonial mendukung misi kekristenan melawan kaum Budhis. De facto Budhisme tetap hidup.[31] Setiap ajaran metakosmis di Asia serentak darsana dan pratifada dalam pengertian India, suatu interpretasi antara "pandangan hidup" dan "jalan hidup". Para teolog Asia harus memahami bahwa dalam budya Asia, metode dan jalan tidak bisa terpisah. Implikasi bagi teologi Asia menentukan pemahaman teologi itu sendiri dalam konteksnya.[32]
- RangkumanÂ
Misi merupakan tugas utama Gereja. Karena pada hakekatnya, misi Gereja adalah perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus sesuai dengan rencana Bapa. "Karena itu, pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu dan babtislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat 28:19).
Dalam melaksanakan misi di Asia, Gereja harus mengerti situasi Asia yang terletak pada keberagaman agamanya, yakni agama-agama kosmis dan agama-agama metakosmis. Keriligiusan berputar sekitar daya kuasa kosmis yang biasa disebut dengan nama dewa, ilah, roh, dan lain sebagainya. Sedangkan kerigiusan metakosmis mempunyai daya yang ada di seberang kosmis ini. Penyelamatan itu dicapai melalui gnosis (seperti dalam agama non-Semitis: Budhisme, Hinduisme, dan juga Taoisme) atau melalui jalan agape (seperti dalam agama Kristen, Islam dan agama Yahudi).
BAB III
MISI GEREJA DI TENGAH KERAGAMAN AGAMA ASIAÂ
MENURUT ALOYSIUS PIERIS
1. Pengantar
Gereja diutus oleh Kristus sebagai sakramen keselamatan bagi dunia. Misi Gereja adalah pewarisan misi Yesus Kristus, yakni pewartaan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah kerajaan cinta, damai, dan keadilan. Tugas yang sama juga diemban oleh Gereja di Asia, yang berada dalam kereligiusan yang majemuk, yakni keriligiusan metakosmis dan kosmis. Dua bentuk religiusitas tersebut saling terintegrasi satu sama lain.
2. Misi Dasar Gereja Asia
Misi dasar Gereja Asia adalah pelaksanaan tugas perutusan Kristus yang sungguh mengena dengan konteks Asia, yang khas dengan keragaman tradisi keagamaannya. Dalam konteks inilah Gereja harus merumuskan misi dasarnya. Hal ini sudah pasti tidak boleh bertentangan ajaran Magisterium Gereja universal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ajaran Magisterium Gereja universal berada dalam ketegangan mengenai pelaksanaan karya misi Gereja. Di satu pihak, Gereja menyatakan diri sebagai sakramen keselamatan universal. Akan tetapi, di lain pihak, Gereja membuka diri dan menghargai peranan agama-agama lain dalam sejarah keselamatan. Dalam agama-agama non-Kristen terdapat benih-benih Sabda yang mampu membawa keselamatan bagi umatnya. Alasannya, Roh Kudus juga berkarya dalam setiap individu, budaya, dan agam lain. Karya Roh tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.[33]
Dalam ketegangan tersebut, ajaran Pastoral Gereja di Asia merumuskan misi Gereja lokal dalam suatu paradigma yang baru. Misi seharusnya merupakan sebuah undangan untuk berpartisipasi bersama Roh Kudus untuk mewartakan Kerajaan Allah. Berhadapan dengan mereka yang non-Kristen Gereja dipanggil untuk memberi kesaksian imannya sekaligus menghargai keyakinan agama-agama lain. Dengan melihat bahwa Roh Kudus juga berkarya dalam setiap individu dan sinar kebenarannya ada pada agama non-Kristiani, maka Gereja di Asia dalam tugas perutusannya dapat membangun suatu teologi harmoni.[34]
Teologi harmoni bertolak dari misi yang dialogis. Dialog bukan alat bagi misi dan evangelisasi, tetapi dialog memengaruhi cara Gereja melaksanakan misinya dalam dunia yang pluralis. Dokumen FABC sangat mendukung, mengembangkan dan menghargai bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada orang Asia melalui agama-agama non-Kristen. Di sini tampak suatu persekutuan semua agama pada jalan menuju kerajaan Allah.[35]
Oleh karena itu, pewartaan Injil harus sungguh menyapa seluruh masyarakat Asia. Warta gembira hanya dapat dimengerti secara benar, jika sungguh masuk ke dalam realitas masyrakat setempat. Evangelisasi kehilangan kekuatan dan efektivitasnya bila tidak mempertimbangkan manusia actual terhadap siapa Injil itu diwartakan; bila tidak menggunakan bahasa, simbol-simbol, tanda-tanda dan bila tidak menjawab pertanyaan serat tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan konkret setempat.[36]
      Pieris sendiri merumuskannya sebagai berikut:
Gereja lokal Asia mempunyai pengutusan untuk berada pada titik pertemuan antara spiritualitas metakosmis dari agama monastic dan agama kosmis petani sederhana, menjadi tempat di mana kekuatan-kekuatan liberative dari kedua tradisi bergabung sedemikian sehingga meniadakan mentalitas klas bersenang-senang yang aristokratis dari agama metakosmis dan ketakhayulan agama kosmis. [37]Â
3. Masalah dalam Misi Gereja Asia
Pieris mempersoalkan bahwa Gereja Asia belumlah Gereja yang sungguh-sungguh dari Asia, tetapi Gereja yang ada di Asia. Kebanyakan Gereja dari benua lain yang selama berabad-abad berjuang untuk menyesuaikan diri dengan etos Asia. Â Di sini Pieris menunjuk pada apa yang disebut misi barat.[38]
Menurut Pieris, Gereja adalah minoritas yang amat kecil di Asia dan hidup di tengah kaum miskin dan aneka tradisi keagamaan. Gereja lokal dari Asia adalah Gereja yang menerima agama-agama lain sebagai rekan seperjuangan dalam pengutusan bersama, bukan melihatnya sebagai saingan.[39] Jadi, masalah misi Gereja di Asia menyangkut praktik pendekatan misi yang tidak lagi memadai di tengah aneka tradisi keagamaan Asia.
 3.1. Kritik Pieris terhadap Pendekatan Misi yang Tidak Memadai di Asia
 3.1.1. Pendekatan Penaklukan
 Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat dunia yang eksklusif dan absolut. Kristus adalah satu-satunya penyelamat dunia dan karya penyelamatan-Nya hanya ditunjukkan dalam Gereja. Di sini sangat laku adagium Extra ecclesiam nulla sallus, di luar Gereja tidak ada keselamatan.[40] Gereja dipandang sebagai pintu masuk menuju keselamatan. Yesus Kristus hadir di dunia melalui Gereja dan oleh karenanya sangat dibutuhkan iman dan pembaptisan.
Dalam suatu kesimpulan tentang sikap eksklusivistis, Pieris menyatakan bahwa setiap orang merasa agamanya sendiri memiliki realitas penyelamatan yang eksklusif. Orang Kristen merefleksikannya dalam adagium: "Extra ecclesiam nulla salus." Pieris melihat bahwa ajaran misi semacam ini sangat keras dan menyakitkan, karena "penaklukan dunia kafir" masih merupakan cara berpikir Kristiani.
 3.1.2. Pendekatan Pemenuhan
Pendekatan pemenuhan merupakan satu langkah lebih maju bila dibandingkan dengan pendekatan penaklukan. Dalam pendekatan pemenuhan, dipegang suatu aksioma bahwa Kristus berkarya dalam semua agama non-Kristen (di Asia). Kristus adalah pemenuhan terakhir kerinduan umat manusia akan keselamatan.[41]
 (Paragraf berikutnya berisi tentang kajian dasar biblisnya dan kaitannya dgn extra ecclesiam nulla salus. Yg ini kw lha yg atur, karna menurutku gk perlu).
Pieris menilai bahwa pendekatan pemenuhan telah menjadi boomerang bagi Gereja di Asia. Penegasan Gereja bahwa Yesus Kristus adalah Putera Allah, Kristus dan Tuhan di hadapan pendiri agama-agama lain, yang hanya dianggap sebagai pendahulu atau hanya seorang nabi, persis menjadi klaim saingan dari pernyataan agama-agama non-Kristiani yang juga beranggapan sama mengenai pendiri agama mereka masing-masing. Maka Pieris mengkritik bahwa teologi agama-agama yang mengaplikasikan pendekatan dengan suatu triumpalis sebenarnya telah gagal di Asia.[42]
 3.2. Pengaruh Inkulturasi Model Yunani-Romawi yang Tidak Sesuai dengan Konteks AsiaÂ
Model Yunani-Romawi telah mewariskan kepada Gereja suatu teori instrumental inkulturasi. Filsafat Yunani, dari konteks religiusnya, menjadi hamba teologi, yang dalam praktik Latin. Model ini sungguh tidak produktif di Asia. Tindakan ini bisa menimbulkan vandalism teologi.
Praksis model inkulturasi di atas, mengakibatkan Gereja gagal mengakarkan diri di tanah Asia. Orang-orang non-Kristen bahkan sering mencurigai bahwa semua praktik inkulturasi Gereja hanyalah taktik dari Gereja demi keuntungan dirinya. Akibat kecurigaan itu, maka tidak heran selama empat abad, kekristenan tumbuh bagaikan bonsai yang dikerdilkan, karena tidak seorang pun mampu memecahkan bejana Yuni-Romawi tersebut di Asia.[43]
 3.3. Pandangan tentang Kekristenan Anonim
Menurut Karl Rahner, orang Kristen anonim[44] adalah orang yang de facto di satu pihak secara bebas menerima tawaran keselamatan dari Allah dengan menghayati hidup dalam iman, harapan, dan cinta; tetapi di lain pihak, mereka sama sekali belum menjadi Kristen. Iman yang mereka miliki adalah iman implisit, yaitu tanpa ada hubungan yang sadar dan diungkapkan secara implisit.[45] Iman Kristen anonym atau iman implisit mau melukiskan pandangan Gereja bahwa semua orang yang tidak percaya dan tidak mengenal Kristus, tidak berarti tidak memiliki hubungan dengan Kristus, penyelamat semua manusia.[46]
Pieris dengan singkat mengutarakan bahwa inklusivistis hendak mengkonkretkan penyelamatan (seperti Kristus) dalam agama mereka sendiri dan agama-agama lain mengalami penyelamatan secara tidak langsung. Penganut agama lain diselamatkan sejauh mereka adalah Kristen secara potensial (menantikan pemenuhan dalam Kristus) atau Kristen anonim (membutuhkan pengeksplisitan identitas mereka yang sebenarnya dalam dan melalui kekristenan).[47]
Dalam pandangannya tentang kekristenan anonim, Pieris mengetengahkan bahwa secara halus terdapat Kristologi Kripto-kolonialis. Dalam konteks ini, Pieris sebenarnya mengkritik pandangan kekristenan anonim dari Karl Rahner, sebab Rahner hanya memindahkan teologi Kristiani tentang agama-agama dari eksklusif menjadi inklusif. Pandangan tentang kekristenan anonim tersebut dapat dengan mudah direalatifkan oleh klaim inklusif dari agama-agama lain, misalnya Budhisme anonim atau Hinduisme anonim.
Dengan melihat masalah dalam misi Gereja yang ada, Pieris menyerukan sambil menawarkan agar kehadiran Gereja di Asia lebih kreatif dalam karya misinya. Gereja harus berani mencelupkan diri dalam tradisi keagamaan Asia, mengakomodasikan diri ke dalamnya, dan berpartispasi dalam spiritualitas non-Kristiani. Tawaran ini salah satu jalan keluar yang ditempuh Pieris dengan melihat problem yang dihadapi Gereja dalam mewujudkan karya perutusannya di Asia.
 4. Misi Gereja yang Relevan di Tengah Keragaman Agama Asia menurut Pieris
Usaha memikirkan praksis misi Gereja di tengah keragaman tradisi keagamaan Asia bertolak dari kenyataan minoritas jemaat Kristen di Asia. Pieris bertanya, bagaimana Gereja sebagai locus pemenuhan dalam Kristus diutus kepada agama-agama lain? Dasar pemikirannya berangkat dari keyakninan bahwa karya ilahi juga bekerja pada mereka yang belum mengenal Kristus, yang tanpa kesalahan mereka belum sampai pada pengenalan akan Allah. Konsili mengatakan bahwa para misionaris bertanggung jawab mengembalikan nilai-nilai agama lain yang mereka gunakan kepada Kristus, karena nilai-nilai tersebut juga mencapai pemenuhan pada akhir zaman (AG 9).
 4.1. Sakramen Baptis dalam Yordan dan Salib Asia
Menurut Pieris, sakramen baptis dalam Yordan dan Salib Asia harus dijadikan prinsip bagi Gereja dalam tugas perutusannya di tengah keragaman agama di Asia., Pieris mencoba menjawabnya dari sudut pandang Kristiani. Gereja adalah sakramen keselamatan universal. Kata 'sakramen' adalah suatu tanda pengunkapaan aktivitas penyelamatan Allah dan suatu instrument dalam mana karya penyelamatan dinyatakan.
Dengan melihat keragaman agama di Asia, Pieris memandang perlu Gereja untuk dibaptis dalam Yordan Asia. Dibaptis dalam religiositas dan kemiskinan Asia menjadi suatu pra-kondisi bagi evangelisasi dan dialog, bagi misi Gereja. Pieris menginterpretasikan baptisan Yesus dalam term situasi Gereja di Asia. Seperti Yesus dibaptis dalam air dan darah, begitu pula dengan Gereja harus pergi melalui Kalvari kemiskinan Asia jika dia ingin mengikuti Yesus.
 4.2. Akomodasi kepada Religiositas Non-Kristiani
Di sini, teologi lebih dilihat sebagai suatu penemuan  dariapada suatu penciptaan, yakni semua ekspisitasi kristik yang merupakan bagian dari etos konkret keagamaan dan kemiskinan yang setiap dimensi pembebasannya bergabung menuju tempaan bersama mamon. Bagi Pieris, kristianisasi Eropa Utara merupakan suatu contoh akomodasi kereligiusan yang sudah terjadi sekarang. Maka Pieris melihat analisis proses akomodasi di Asia bisa dibuat dengan mengikuti pengamatan sebagai beriukut:
 Pertama, melihat agama dan budaya sepenuhnya serupa dalam praktik masyarakat kesukuan di mana saja dalam Dunia Ketiga. Dalam arti bahwa seseorang menemukan beberapa budaya dalam satu agama dan beberapa agama dalam satu budaya. Pieris menyatakan bahwa secara historis semua agama dalam kenyataannya mengambil keaslian dari kolam air spiritualitas Asia. Dari situ, kemudian dikembangkan dalam golongan agama yang berbeda-beada.
 Kedua, suatu pencapaian silang-penyuburan ini merupakan suatu proses tanpa henti antara agama-agama Ktiab Suci dan agama-agama kesukuan. Pieris membedakan agama metakosmis dan agama kosmis dan membuka silang-penyuburan antara keduanya. Silang-penyuburan tidak dilihat sebagai sinkretisme[48] tetapi akretisme.[49]
 Bentuk evangelisasi dan inkulturasi ini menggunakan pengertian Asia, di mana agama-agama kosmis bertahan dalam bentuk aslinya dan tidak dapat dijinakka oleh agama-agama metakosmis. Agama metakosmis yang telah diinkulturasikan, bagaimanapun juga tidak mudah dicabut oleh agama metakosmis lain, kecuali lewat pemaksaan.[50]
      Mengenai misi Kristiani dalam agama-agama metakosmis, Pieris menekankan suatu inkulturasi yang baru dalam empat cara, yakni:
Pertama, umat Kristen harus melihat bahwa agama-agama non-Kristiani sudah membuka soteriology kosmik mereka menuju dimensi metakosmis. Dua dimensi soteriology ini merupakan kerangka acuan yang telah jadi bagi spiritualitas, liturgi, keterlibatan sosial, dan perumusan teologi kristiani.
Kedua, teologi Asia harus lebih sebagai penyingkapan kritis dan bukan perjuangan interpretasi Kristiani bagi pemerdekaan.
Ketiga, prosedur yang diambil bukanlah 'memperalat' skema non-Kristiani, tetapi mengasimilasikan lewat partisipasi dalam etos non-Kristiani.
Akhirnya, dengan suatu pendekatan pneumatologis,[51] akan sangat penting untuk mendengarkan Roh yang menyatakan Sabda dalam Logos, Hodos, Tao, Dhama sebagai kenyataan penyelamatan. Bagi Pieris, pada akhirnya inkulturasi mengarah kepada kemampuan Gereja untuk mengakui suara Roh dalam tubuh Kristus Asia, yakni dalam diri orang-orang Asia yang sangat menderita dan yang tetap menjawab panggilan-Nya dalam ketaatannya.[52]
 4.3. Partisipasi dalam Spiritualitas Non-Kristiani
 Inti pemerdekaan dari agama-agama Asia adalah Pengajaran dasar yang konsisten sebagai Kebenaran yang membuat kita bebas dari keterikatan, yaitu pada sesuatu yang tidak dapat memberi kita kebebasan. Ini merupakan arti variragya dalam Hinduisme atau Alpecchata dalam Budhisme, dan itu hendak mengatakan secara tidak langsung tentang kepemilikan tanah dan kemiskinan sebagai anjuran dalam religiositas kosmis kesukuan dan klan kultur, yang menggunakan organisasi sosial dalam Buku Hakim-hakim atau dalam "Komunitas" Kristiani perdana yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul. [53]
Spiritualitas bersama ini akan menolong agama-agama untuk tidak mengkonkretkan pengajaran dalam dialog mereka, tetapi terutama dalam pemerdekaan dari kekuasaan mamon. Bagi Pieris, inkarnasi tidak hanya hipotesa yang unik antara yang ilahi dan yang insani, tetapi juga identifikasi perjanjian Allah dengan hamba atau kaum miskin di dunia ini. Hal ini berarti bahwa Gereja harus belajar kepada kaum miskin; ajaran ini merupakan magisterium bagi kaum miskin: Gereja perlu kembali menuju pertobatan kepada kemuridan. Pieris menamakannya "evangeliasasi integral."[54] Pewartaan ini terdiri dari kesadaran kaum miskin akan panggilan evangelisasi mereka berhadapan dengan kekuasaan Allah. [55]
Menurut Pieris, kesadaran tersebut merupakan suatu spiritualitas "evangelisasi integral." Prinsip yang harus dipegan adalah: pertama, partisipasi dalam kesetiaan Yesus kepada Allah dan dalam penolakan-Nya terhadap mamon. Kedua, persahabatan Yahwe dengan orang yang lemah di dunia ini; yang serentak menggambarkan misi Yesus dan misi para murid-Nya.[56]
Spiritualitas kemuridan mendorong Gereja untuk membangun sikap solidaritas antar-agama. Sikap solidaritas ini akan melahirkan kerjasama antar-agama. Dengan demikian, evangelisasi integral di Asia akan terwujud. Pieris sangat menekankan aspek tersebut, karena evangelisasi dalam Gereja (khususnya Gereja Roma) merupakan serangan halus atas peranan evangelisasi dari agama-agama lain.[57]
Bagi Pieris, spiritualitas pemerdekaan merupakan spiritualitas dari khutbah di bukit yang diformulasikan secara beranekaragam dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Secara kritis Pieris menegaskan bahwa spiritualitas pemerdekaan dapat dipadamkan eksistensinya karena gelombang kapitalistik budaya teknik telah mulai menggoyang dasar religius budaya. Maka, Gereja perlu menerima "peran evangelisasi" dari agama-agama non-Kristen yang mengajak Gereja untuk kembali kepada spiritualitas Yesus.
 5. Rangkuman
Gereja dalam tugas perutusannya di Asia memiliki tugas yang tidak ringan. Gereja tepat berada di tengah agama-agama lain yang juga memiliki perutusan yang sama. Gereja diutus untuk menjadi titik temu spiritualitas agama metakosmis agar ia dibebaskan dari mentalitas bersenang-senang klas elite religius dan agama kosmis massa sederhana dari ketakhayulannya.
Realitas yang terjadi adalah bahwa pelaksanaan misi Gereja di Asia masih terlelap dalam paradigma yang lama. Dengan melihat permasalahan misi Gereja yang ada di Asia, Pieris menawarkan solusi yang bisa ditemppuh Gereja agar Gereja semakin mengakar di Asia. Gereja perlu dibaptis dalam Yordan keberagamaan Asia dan salib Asia. Pembaptisan ke dalam kolam agama dan kemiskinan Asia adalah prinsip misiologis Gereja yang harus dibangun di Asia.
Wujud nyata tindakan Gereja dalam perutusannya di Asia adalah dengan jalan mengakomodasikan diri dan berpartisipasi dalam spiritualitas non-Kristiani. Pendekatan akomodatif memungkinkan Gereja untuk tidak melihat agama lain sebagai musuh. Pendekatan akomodatif berangkat dari kesadaran Gereja bahwa kereligiusan Asia telah berakar kuat di hati masyarakat Asia. Pieris mengambil contoh dari model inkulturasi Eropa Utara. Model inilah yang bisa dibuat oleh Gereja dalam perutusannya di Asia.
Partisipasi dalam spiritualitas non-Kristiani merupakan suatu pendekatan misi Gereja yang lain. Agama non-Kristiani juga memiliki misi pembebasan. Misi pembebasan Gereja berangkat dari misi Yesus yang memerhatikan kaum miskin dan kesetian-Nya kepada Allah dengan menolak mamon. Dalam iklim yang demikian, Gereja Asia dipanggil untuk melaksanakan evangelisasi integral dengan mengedepankan masalah keadilan yang didambakan kaum miskin. Spiritualitas inilah yang menghantar Gereja untuk bekerja sama dengan umat non-Kristiani dan membangun sikap solider antaragama. Partisipasi dalam spiritualitas non-Kristiani memungkinkan kehadiran Gereja yang semakin menyapa massa Asia, baik Kristen maupun non-Kristen.
Â
BAB IV
 PENUTUP
 1. Rangkuman Umum
Aloysius Pieris telah bergumul dengan dengan masalah kemiskinan dan persoalan keanekaragaman agama di Asia dalam refleksi-refleksinya dan menggagaskan suatu teologi yang khas Asia, yakn Teologi Pemerdekaan. Pemikiran Pieris tentang misi Gereja yang dialogal di tengah pluralitas agama disinggung bersama dalam tulisan-tulisan tentang Teologi Pemerdekaan. Misi yang dialogal merupakan salah satu bentuk konkret dari Teologi Pemerdekaan.
 Gereja bermisi untuk mewartakan Injil demi keselamatan dunia, yang selalu terjadi sesuai konteks situasinya. Dalam konteks Asia yang khas adalah adanya pluarlitas agama, yakni adanya agama kosmis dan metakosmis. Hal ini menunjukkan bahwa jalan menuju keselamatan tidak hanya ada dalam kekristenan melalui Kristus, tetapi terdapat juga dalam agama-agama lain. Maka, Gereja perlu berdialog dengan agama-agama lain, tanpa mengklaim bahwa agama sendirilah yang benar.
 Pieris melihat bahwa misi Gereja Asia tidak bisa eksklusif. Gereja harus hadir lebih kreatif di tengah-tengah agama lain dengan menemukan pendekatan baru yang lebih relevan dalam konteks Asia. Prinsip yang harsu dibangun Gereja adalah membaptis diri dalam Yordan keagamaan Asia dan Kalvari kemiskinan Asia. Pieris menawarkan suatu evangelisasi integral, yakni pewartaan Injil secara utuh degan memerhatikan masalah keadilan yang didasarkan pada kesetiaan Yesus pada Yahwe.
 2. Refleksi Kritis
 2.1. Keragaman Agama sebagai Ciri Ke-Asia-an
 Pieris berpendapat bahwa pluralitas agama, yang menjadi ciri khas wilayah Asia, masih menjadi perdebatan. Pada umumnya diterima bahwa ciri ke-Asia-an adalah kemisinan yang bertumpah-ruah sebagaimana yang terjadi dalam kawasan Dunia Ketiga. Bertolak dari pemikiran dasarnya, Pieris menghasilkan suatu gagasan segar bagi misi Gereja di Asia, yakni Gereja perlu membaptis diri dalam Yordan kereligiusan Asia dan Kalvari kemiskinan Asia. Dalam hal ini, penulis setuju dengan ide Pieris, sebab hal tersebut dapat membantu perkembangan misi Gereja di Asia. Dialog memungkinkan Gereja keluar dari diri sendiri dan memandang dengan penuh penghargaan.
 2.2. Visi Pieris tentang Misi Gereja yang Relevan
Konsekuensi lanjutan yang tidak dapat dielakkan adalah posisi Gereja dalam tugas perutusannya yang masih mengalami dilema, yakni penekanan misi yang lebih pada pewartaan Injil di satu pihak dan dialog pada lain pihak. Pewartaan Injil dalam teopraksis pemerdekaan Asia adalah mengembangkan kereligiusan dan kemiskinan dari semua bentuk perbudakannya.
Apa yang ditawarkan Pieris bukanlah suatu gagasan yang siap dipakai Gereja Asia, namun patut direnungkan juga. Pemikiran Pieris lebih merupakan suatu gagasan untuk dipikirkan lebih lanjut oleh Gereja Asia, dalam hal ini oleh para teolog Asia. Para teolog merasa ditantang untuk melakukan pendekatan yang lebih terpadu terhadap kenyataan Asia. Mereka menerima gagasan Pieris sebagai suatu kenyataan konkret Asia.
 2.3. Relevansi bagi Gereja Indonesia
Gereja Indonesia merupakan bagian dari Gereja Asia yang menghadapi kenyataan yang sama, yakni pluralitas agama dan masalah kemiskinan. Sebagai golongan minoritas di Indonesia, Gereja Indonesia masih dilihat sebagai Gereja "tiban." Hal ini diakibatkan oleh warisan masa silam di mana Gereja dipandang sebagai kelanjutan dari kolonialisme. Tidak disangkal bahwa pada awalnya Gerja dibawa oleh para misionaris bersamaan dengan bangsa penjajah. Fakta historis ini tidak dapat ditolak atau disangkal, akan tetapi lapisan luka yang membungkus Gereja perlu dilepaskan. Sebab, bungkusan adalah yang pertama tampak bagi umat di luar Gereja dan juga menanamkan persespi yang salah terhadap Gereja.
Menurut hemat penulis, dalam konteks yang demikianlah pemikiran Pieris mengenai misi cukup relevan untuk diaplikasikan. Menjadi Gereja yang sungguh dari Indonesia, paling tidak Gereja harus membaptiskan diri dalam keragaman agamanya dan kemiskinan massanya. Dalam hal ini, Gereja institusional dan Komunitas Basis Kristiani bisa berjuang bersama untuk menemukan dan mengembangkan Komunitas Basis Kemanusiaan bersama dengan komunitas-komunitas beriman lainnya sebagai pokok keprihatinan pastoralnya. Gereja harus menciptakan persaudaraan dan berdialog dalam seluruh lapisan kehidupan. Oleh karena itu, pendekatan yang diperlukan adalah pendekatan dari bawah, bukan dari atas.
Â
BIBLIOGRAFIÂ Dokumen Konsii Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993.
 Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia 1970-19991 (Seri Dokumen FABC no. 1). Diterjemahkan oleh Hardawiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.
 Farrugia, Edward G. dan O'Collins, Gerald. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
 Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia (Judul asli: An Asian Theology of Liberartion. Deliman, Quezon City: Claretian Publication [tanpa tahun terbit]). Diterjemahkan oleh Agus M. Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
 _______. Fire and Water: Basic Issues in Asian Budhism and Christianity. New York, Maryknoll: Orbis Books, 1996.
 _______. "Mission of the Local Church in Relation to Other Mayor Religious Traditions." Dalam Local Churches of Asia. (Seri Human Society no. 16). Metro-Manila: HDRD. 1982.
 _______. "The Church, The Kingdom and The Other Religions". Dalam Dialogue no. 2 (1970).
 _______. "Whither New Evangelism". Dalam East Asian Pastoral Review 3/29 (1992).
 Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus). Diterjemahkan oleh Frans Borgias dan Alfons S. Suhardi. Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI, 1991.
 Rubianto, Vitus. Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam Teologi Aloysius Pieris. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
 Sriyanto, M. Wujud Gereja Asia (Seri Pastoral no. 147). Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1988.
 Staf PPY. CAPPI -- 3 Berdialog dengan Pieris (Seri Pastoral no. 190). Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1992.
 Tschiggerl, Hans. "Missions and Dialogue: Aloysius Pieris Theory of Enreligiozation". Dalam East Asian Pastoral Review 4/34 (1997).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H