Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap buku Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan Suara Pemerdekaan : Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara

Harus diyakini, agama memang sumber moralitas. Setiap kitab suci tentu berisi ajaran akhlak dan humanitas. Tetapi baik agama ataupun kitab sucinya, pada kenyataannya tidak berbicara sendiri. Sebab, makna-makna ataupun etikanya secara hermeneutik muncul dari proses tafsiran para pengikutnya melalui desakan sejarah yang berbeda-beda, bahkan sesuai dengan minat dan kepentingan kelas sosial masing -- masing. 

Idealnya, dalam keadaan normal, nilai-nilai agama akan berbicara tentang humanisme, tentang tatanan sosial yang harmonis, dan kehidupan ekonomi yang adil. Namun, jika secara pedagogis pembicaraan agama hanya sekedar menghidupkan romantisme spiritual, sudah barang tentu soal ketimpangan struktur sosial misalnya (yang menjadi sebab utama ketidakadilan), jangan harap akan menjadi bagian yang sangat mendasar bagi panggilan atau tantangan iman. 

Dengan demikian, biarpun Al-Quran selalu menekankan tentang pentingnya tauhid sebagai landasan ummatan wahidah, tapi pada kenyataannya kesalehan dan ketakwaan kita belum mampu menghadapi proses terkeping-kepingnya manusia akibat dibelah oleh garis kelas ketimpangan sosial yang disparitasnya semakin curam.

Itulah, sekali lagi, sebuah gambaran singkat mengenai wajah kesalehan kita. Kesalehan yang citranya sangat ditentukan oleh daya beli dan kemampuan material. Semakin miskin, semakin bersahaja seseorang dalam mengungkapkan kesalehannya dalam ekspresi publik. 

Begitu pula semakin kaya seseorang, maka orang tersebut akan semakin mampu menampilkan ketakwaannya yang lebih bergengsi di mata publik. 

Jika demikian, ke manakah hilangnya kesadaran korektif dan kolektif agama untuk membangun masyarakat yang lebih bermartabat dan lebih adil?. Dalam hal ini tidak ada yang salah dengan kitab suci manapun. Tetapi yang harus disalahkan mungkin adalah mengapa tafsiran agama yang liberatif, yang berwatak emansipatoris, menjadi redup dan tidak berdaya menghadapi proses dehumanisasi, kemiskinan struktural, dan berbagai krisis kemanusiaan yang dewasa ini semakin menonjol. 

Namun, sebelum masalah ini kita kembalikan ke soal tafsir agama yang memihak pentingnya transformasi sosial, hal penting yang harus kita persoalkan terlebih dahulu adalah tentang cara kita memandang realitas secara objektif. Tidak setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat harus dicari sebabnya semata-mata sebagai persoalan agama. Apalagi kemudian seolah-olah masalah ini, atau krisis sosial ini, bisa diselesaikan dari sudut pemecahan teologis belaka.

Tidak bisa dipungkiri, memang, sejarah telah membuktikan bahwa peran Islam dalam proses pembentukan negara bangsa ini sungguh besar. Sebelum kita memiliki kesadaran politik kebangsaan, Islam telah menyumbangkan identifikasi budaya nusantara yang luas, melintasi batas-batas etnisitas. 

Sayangnya, peran Islam yang kontributif ini agak lain manakala dalam sejarah perkembangan pergulatan ideologis partai-partai nasional tempo hari harus menentukan apa yang menjadi dasar negara. Dalam hal ini, ternyata Islam terjebak menjadi bendera partai politik dan Islam yang telah kuat sekali menjadi pilar budaya nusantara akhirnya dibawa ke tingkat pertikaian di sektor politik kekuasaan negara secara berkepanjangan.

Oleh karenanya, jangan heran, di samping muncul budaya baru Islam yang ekspresif ini dari bagian pembentukan agama sebagai ide spiritual dan "kesurgaan", bangkitnya konservatisme Islam juga ditandai dengan meluapnya politik "massa" yang menggulung bagaikan awan zaman kebebasan reformasi ini. 

Fenomena ini seakan mengatakan pada publik bahwa biarpun kita sepaham negara ini tetap berbentuk kesatuan dan berasaskan kebangsaan, tapi karena penduduknya mayoritas muslim, mengapa NKRI ini tidak berbaju syariah?. Dan, apa salahnya kalau wilayah-wilayah kota dan kabupaten yang zona penduduknya memang berbasis Islam juga menerapkan perda-perda syariah?. Toh, mekanismenya mengikuti prosedur demokrasi yang berlaku di negeri ini.

Memang, pelaksanaan syariah belum tentu berujung pada berubahnya NKRI menjadi sebuah negara Islam. Tetapi dalam negara kebangsaan yang memilih demokrasi (bukan "syurokrasi") ini, tentu saja lahirnya undang-undang atau peraturan daerah yang bersifat diskriminatif dengan delik agama tertentu pasti akan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan NKRI. Hal yang bersifat diskriminatif ini telah kita rasakan, misalnya sejak negara membuat undang-undang yang mengatur perkawinan, sehingga menyulitkan warga negaranya sendiri yang realitas objektifnya sungguh majemuk. 

Atau, undang-undang Sisdiknas atau juga aturan negara tentang pendirian rumah ibadah di mana negara ikut campur terlalu jauh di luar domain politiknya. Kalau hal-hal seperti ini tidak disikapi secara tegas (khususnya oleh kalangan Islam sendiri sebagai penghuni terbesar dari rumah bangsa ini), kita  khawatir pengalaman pahit di zaman politik aliran akan terulang kembali. 

Sebab, Islam bukannya menyumbangkan dialog yang kontributif terhadap proses berbangsa di masa depan, namun lagi-lagi memaksakan benderanya di masa depan, namun lagi-lagi memaksakan benderanya sendiri sebagai identifikasi "me-lain-kan orang" lain (otherness), termasuk kepada umat Islam sendiri yang membela paham kebangsaan dan memilih sistem demokrasi sebagai pilihan hidup bersama dengan orang lain.

Oleh karena itu, demokrasi tidak akan banyak bermanfaat untuk mengembalikan harga diri dan martabat bangsa, sekiranya yang dilaksanakan hanya prosedur, tanpa dibarengi dengan munculnya keinginan untuk "mimpi bersama" sebagai a new nation within a new culture. Dan hal ini tidak mungkin tumbuh kalau proses demokratisasi berjalan secara pragmatik, tanpa lahirnya kultur demokrasi (bukan sekadar maraknya struktur kepartaian yang kehilangan orientasi ideologis dan gampang pecah karena soal sepele). Apalagi kalau demokrasi tidak mengindahkan soal yang lebih mendasar, yaitu tentang a more just distribution of national wealth. Persoalan struktur basis ekonomi ini menjadi persoalan utama yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh dalam rangka mengutuhkan kembali "rumah bangsa" yang mulai rapuh sendi-sendinya. 

Sebab, harus diingat bahwa dalam era pasar global sekarang ini tidak ada bangsa yang bisa lari dari proses menggabungkan diri dengan "the universal high culture of industrialization". Bahkan, boleh dibilang sekarang ini semua pencarian bentuk dari model kehidupan dalam perebutan ruang sosial yang baru dan munculnya jenis kekuasaan haruslah ditransformasikan dari ideologi ke hegemoni kapital.

Jika demikian, maka tidak mungkin kita dapat menjaga pilar kebangsaan, misalnya dengan berharap lewat pendidikan (termasuk dalam arti seluas-luasnya memberikan pendidikan citizenship) saja sebagai mekanisme untuk menyatukan budaya-budaya suku bangsa menuju homogenitas budaya bangsa yang baru untuk mentransendensikan kesadaran agama dan ethnolocal nationalism, atau sekedar memanfaatkan penyebaran media untuk alat membangun bangsa sebagai komunitas imajinatif.

Oleh karena itu, demokrasi kita harus memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi cita-cita keadilan. 

Demokrasi mencari dan menggalang kekuatan untuk mencapai konsensus politik, bagaimana agar lapangan kerja untuk mencapai konsensus politik, bagaimana agar lapangan kerja untuk rakyat lebih terbuka luas agar anak-anak bangsa mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, dan agar terjadi perluasan infra-struktur sehingga daerah-daerah bisa berkembang secara bersama-sama. 

Bukan sekedar demokrasi yang mengandalkan kebebasan, yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dengan kata lain, demokrasi tidak sesederhana sebagai prosedural dan bukan sekedar jadwal kegiatan karnaval-karnaval politik nasional. 

Demokrasi adalah alat politik untuk menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial tersebut, sebab inti yang paling inti di dalam cita-cita demokrasi adalah agar terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan agar selain cara-cara kekerasan dalam mengambil keputusan bisa dihindari, lebih penting dari itu dimaksudkan agar solidaritas tetap hidup dan terjaga sebagai moral dan etis kehidupan sosial secara bersama-sama.

Yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh dalam merekonstruksi kembali Indonesia sebagai rumah bangsa (apalagi setelah lebih sewindu era reformasi) adalah bagaimana mendudukkan kembali hubungan antara agama dan negara. 

Ini juga masalah mendasar yang harus dibuka kembali sebagai wacana bangsa yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan tentang desentralisasi kekuasaan, menyangkut hubungan antara "pusat" dan "daerah" yang sekarang dituangkan dalam kebijakan otonomi daerah. Sejak merdeka, karena negara hanya mengakui lima agama secara resmi, maka nasib "agama suku-suku bangsa", terutama mereka yang berasal dari suku kecil di pegunungan, sungguh memprihatinkan. 

Di samping itu dari sejarah kemerdekaan mereka memang dianggap tidak memiliki "hero", mereka juga diharuskan berafiliasi dengan lima agama resmi yang diakui oleh negara. Agama suku-suku bangsa dengan adatnya masing-masing memang sejarahnya selalu menjadi objek penaklukan, mulai dari tatkala agama besar datang mereka harus melakukan konversi atas desakan kekuasaan politik, sampai datang nasionalisme dan modernitas. Akhirnya, mereka dianggap sebagai suku terasing yang harus dimukimkan agar merasa menjadi warga negara, sekaligus oleh agama-agama besar ini mereka juga dipandang sebagai orang primitif yang harus disivilisasikan (civilized).

Sedikit terobosan yang barangkali pantas dicatat adalah apa yang pernah dilakukan di zaman pemerintahan Gus Dur. Saat itu ada usulan pengakuan negara terhadap Khong Hu Cu sebagai agama. Mungkin karena kelompok pengikutnya mempunyai suara dan desakan politik yang signifikan di pusat. Namun tidak begitu yang terjadi dengan agama suku bangsa yang lain, misalnya Kaharingan bagi orang Dayak. 

Lebih dari soal perlunya meninjau kembali politik kebudayaan nasional yang multi-etnik dalam rangka multikulturalisme, kembali perihal mendudukkan hubungan agama dan negara, saya kira kita tidak boleh ragu menjawab munculnya kekuatan baru theo-politik yang sekarang mulai merebak (misalnya dengan upaya menjadikan NKRI berjubah syariah, atau munculnya perda-perda dengan delik agama) sehingga perlu menegaskan kembali bahwa negara Indonesia secara konstitusional menganut demokrasi dan paham kebangsaan. 

Dengan demikian, tidak boleh ada undang-undang atau peraturan daerah yang lahir dan hanya berlaku untuk sebagian atau kelompok masyarakat tertentu secara terpisah karena ini berarti terjadi perlakuan diskriminatif.

Jika sudah terlanjur ada undang-undang atau peraturan yang telah ditetapkan, maka negara harus meninjau kembali dan segera dibatalkan. Kalau tidak ada prinsip dasar yang tegas seperti ini, dikhawatirkan akan selalu terjadi upaya menggunakan negara secara manipulatif dalam rangka enforcement kesadaran communalism (dari mana pun asalnya) yang tidak sehat bagi penumbuhan iklim demokrasi dan cita-cita kebangsaan. 

Sudah saatnya kita memisahkan secara kultural antara domain agama dan negara. Dengan begitu, agama, sebagai kekuatan moral korektif dan sebagai kesadaran kolektif, menegakkan al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahy 'an al-munkar akan lebih otonom dari kekuasaan politik yang cenderung korup, sekaligus mampu menyumbangkan kekuatan dakwahnya dalam membangun etos dan etika masyarakat berperadaban untuk kemajuan bangsa di masa depan.

Masalah berikut yang perlu dibenahi dalam era sekarang adalah soal pendidikan. Secara pedagogis, sesungguhnya seluruh pengertian pendidikan nasional selama ini hanya ditekankan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah. Sedangkan tujuan pendidikan sebagai proses a cultural reproduction yang sekaligus memiliki implikasi politik sebagai a sosial reform of the nation sering kali dilupakan. 

Contohnya, dalam kurikulum sekolah sangat miskin pelajaran yang berorientasi pada civic education, penanaman sikap toleran terhadap multikulturalisme, dan budi pekerti untuk membangun karakter humanis. Belum lagi program-program pendidikan nasional untuk orang dewasa yang biasanya hanya dimaksudkan sebagai upaya memberikan keterampilan untuk mencari nafkah sebagai life skill tambahan. Ini membuat pendidikan kehilangan makna pedagogisnya yang mendasar sebagai proses pembelajaran untuk mencari kemanusiaan manusia Indonesia sepanjang usianya dan dalam bingkai makna kebudayaannya sendiri.

Dalam konteks kebangsaan ini, seharusnya pendidikan menjadi arena mencari kesadaran baru yang lebih luas daripada sekedar menempatkan peserta pembelajarannya untuk mengkonsumsi ilmu pengetahuan dengan ukuran evaluasi hasil belajar mengajar dengan mengikuti standar tertentu. Sebab, menumbuhkan kesadaran kritis (self-critical reflextive)  sebagai warga negara dan bangsa dalam era global yang fleksibel terhadap tuntutan multiple-identities sangatlah diperlukan. 

Tatkala hubungan antara yang lokal-nasional dan global semakin kompleks, maka di situ semakin tidak tepat jika mengidentifikasi warga negara hanya melalui warna bendera kebangsaan, peta tanah air, atau perbedaan karena menggunakan bahasa nasional. 

Dengan begitu, maka jendela pendidikan tidak mungkin lagi menutup pintunya dari tugasnya yang paling penting untuk mengantarkan anak-anak bangsa, sebagaimana mereka mencari a new sense of equality, democracy ,individualism and community sehingga menjadi bagian yang kritis dari proses rekonstruksi baru "the main-stream of world civilization".

Masalah selanjutnya yang harus menjadi perhatian adalah tentang peran media sebagai bagian untuk menumbuhkan a healthty public sphere untuk memperbincangkan gagasan-gagasan a good society dalam rangka mencari konstruk ideal yang kita namakan "Indonesia Baru". Masih banyak orang mengeluh bahwa media yang ada sekarang ini, selain lebih mementingkan mencari keuntungan laba perusahaan, yang lebih menyedihkan juga ikut-ikutan represif. 

Orang yang diwawancarai oleh sebuah TV, misalnya, kadang-kadang terasa sama seperti diinterogasi. Ada semacam trial by the press yang sering membuat suasana tidak imparsial. Selain harus diingat bahwa tujuan media adalah memiliki peran yang penting dalam proses demokrasi untuk menumbuhkan the critical mass, bukan sekedar menciptakan masyarakat pemirsa dan pendengar yang pasif dan bisu, di mana mereka tidak mempunyai sikap dan tafsiran sendiri atas segala pemberitaan dan tayangan yang disuguhkan.

Di tahun 80-an, tatkala negara masih memiliki kekuasaan dan kekayaan yang berlebih, proses nasionalisme menuju integrasi bangsa "Unity in Diversity" dapat disponsori melalui program-program yang bersifat instruktif: dengan membangkitkan sentimen sejarah yang menggelorakan semangat berjuang dari bangsa yang terjajah menuju bangsa yang maju, dengan ekspose dimensi sosio-kultural tentang kekayaan budaya nusantara yang biasanya ditampilkan lewat acara pertunjukan kesenian, misalnya dalam program TVRI: dengan membangun media dan transportasi yang menghubungkan daerah yang satu dengan yang lainnya sehingga ada mobilitas penduduk dan informasi: serta dari segi dimensi ekonomi menciptakan keseimbangan ekonomi regional yang saling memiliki ketergantungan agar selain tumbuh lokasi-lokasi pertumbuhan industri yang baru juga bisa dilihat lebih nyata bahwa kualitas kehidupan dan kesejahteraan rakyat ternyata meningkat. 

Namun apa dikata, setelah negara kehilangan sumber-sumber kekayaannya, masyarakat yang dalam proses membangsa ini telah kehilangan pula prakarsanya sendiri dalam mencapai a sense of national belonging menjadi disorientasi dan kembali mencari akar pegangan pada kekuatan primordialismenya masing-masing. Dalam hal ini mereka kembali pada rumah lama, terutama rumah etnisitas, yang dianggapnya masih utuh dan aman sebagai tempat berlindung tatkala tenda bangsa mulai tersobek-sobek, dan banyak orang merasa dibuat tidak jelas lagi  apa yang menyatuhkan kita sebagai sebuah nation.

Agama apa pun, jika dibaca dari segi ajarannya, tentu menekankan pentingnya membangun kedamaian dan menegakkan keadilan. Namun sesungguhnya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana agama sebagai wacana keimanan mampu melakukan pergulatan sejarah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama tetap mempunyai kekuatan provetik untuk mengubah keadaan dan menjadi hidayah bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadilan. 

Kita berharap, dalam kaitan ini, semua kitab suci tidak saja bersenandung tentang pentingnya cita-cita luhur seperti itu, tetapi juga menjadi ruh teologis bagi gerakan yang memihak keadilan sosial, sehingga muncul kekuatan kolektif yang berangkat dari kesadaran bahwa setiap bentuk hegemoni kekuasaan yang ingin melestarikan kekerasan dan ketidakadilan merupakan kemungkaran yang selalu mengancam keutuhan sendi-sendi kemanusiaan. 

Masyarakat Indonesia yang kini masih mengalami sosial-breakdown sesungguhnya membutuhkan panggilan agama yang mampu mengonsolidasikan kembali terkeping-kepingnya rakyat sekarang ini yang sangat lemah untuk memperjuangkan cita-cita kehidupan yang lebih aman dan sejahtera. Persoalannya, apakah agama dalam kualitas panggilan spiritualnya dapat muncul seperti itu, jika pada kenyataannya agama masih lebih sadar tentang identitasnya masing-masing sebagai bendera "suku-suku Tuhan" yang terpisah satu sama lain ?

REINTELEKTUALISASI ISLAM. 

"Keislaman", seperti halnya "kekristenan", atau juga bentuk keberagamaan yang lainnya, tentu maknanya sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Kaum Muslimin, di mana-mana, termasuk di Indonesia, akan selalu menafsirkan kembali "keislaman" tersebut, sesuai dengan perjumpaan kultural, sosial, dan politiknya masing-masing. 

Oleh sebab itu, "keislaman" sebagai makna kepasrahan kepada Tuhan jelas sekali bukan merupakan sesuatu yang singular, tetapi mempunyai banyak tafsir, sesuai kemampuan interpretasi manusia sendiri. Pluralitas tentang makna "keislaman" ini harus diakui sebagai salah satu kekuatan yang selama ini dianggap menjadi unsur dinamis, sehingga ijtihad tidak saja merupakan mekanisme intelektual yang dijunjung tinggi dalam tradisi Islam, tetapi perbedaan tafsir mengenai makna "keislaman" juga diyakini sebagai rahmat peradaban Islam.

Dialog pemikiran Islam, oleh karenanya, kalau ditelaah, tidak hanya pada tingkat teks utamanya (Al Quran dan Sunnah) yang memang mendorong ke arah lahirnya tradisi tersebut. Namun juga kalau diperiksa dari sejarahnya, dapat dikatakan bahwa tidak pernah muncul kebangkitan umat Islam tanpa disertai dengan  proses reintektualisasi, sehingga Islam menjadi agama dan pandangan hidup (way of life) yang terbuka, yang mampu menyerap dan mengurangi kembali berbagai elemen peradaban yang sedang tumbuh dan berkembang. 

Di situlah sejatinya letak kekuatan peradaban Islam selama ini, sehingga Islam yang pernah menyumbangkan suatu kejayaan peradaban dan keunggulan peradaban Islam itu bisa dirasakan bukan hanya sebagai rahmat bagi kaum Muslimin sendiri, tetapi juga kehidupan umat-umat lain. Sebab, ini adalah suatu keyakinan bahwa Al Quran, yang diturunkan dalam bahasa Arab itu, merupakan bukti kewahyuan yang asli. 

Kendati demikian, ide-ide kewahyuan yang tersirat di dalamnya, telah berpengaruh melampaui batas-batas mereka yang bisa berbahasa Arab saja. Oleh sebab itu, para pemikir dan reformis Islam tidak harus terbatas pada mereka yang lahir dari wilayah hunian kaum Muslimin yang berbahasa Arab, tetapi bisa jadi siapa saja yang sanggup menghidupkan cita-cita Al Quran tersebut, sesuai lanskap zaman yang terus berubah.

Di masa kini, tatkala kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh globalisasi, sementara orang berbicara tentang meruncingnya benturan budaya Barat vis a vis Islam, adalah sebuah kenyataan bahwa jumlah kaum Muslimin yang bermigrasi dan menumpang hidup di negara-negara Barat jumlahnya semakin meningkat. Kenyataan ini, bagaimanapun, telah memaksa baik kaum Muslimin pendatang maupun bangsa Barat yang didatangi untuk saling memahami satu sama lain dan melakukan peminjaman budaya yang sehat dalam kehidupan multikulturalisme. 

Namun yang lebih menarik, tidak hanya gejala muslim diasporik di negara-negara Barat itu yang sekarang tampak menguat, bahkan tokoh-tokoh pemikir Islam kenamaan, seperti halnya Abdullahi An-Naim, Bassam Tibi, Arkoun, mereka boleh dibilang selain memperoleh kesempatan mengembangkan pemikiran Islam di Barat, juga mendapatkan audiens pemikiran mereka dalam lingkungan akademik dan masyarakat Barat secara intensif. 

Di luar berita-berita yang memojokkan Islam dengan labeling sebagai musuh Barat yang melansir pandangan dan sikap kelompok-kelompok fundamentalis, Islamis, dan teroris, gejala munculnya dialog pemikiran Islam dan Barat melalui pencarian bersama para pemikir Islam dan rekannya di Barat tersebut, yakni bagaimana umat Islam dan Barat membangun masa depan hidup dalam sebuah "a new community of civilization" adalah sesuatu yang menarik dan senantiasa ditunggu-tunggu sebagai proses dialog peradaban yang menjanjikan.

Di Indonesia sendiri, sebagai sebuah bangsa dengan penduduk kaum Muslimin terbesar, tradisi pemikiran Islam sesungguhnya telah berkembang, bahkan boleh dikatakan sekarang ini semakin memunculkan generasi yang kuat. Para pemikir muda sedang tumbuh memasuki berbagai isu kontemporer, dan karena mudahnya mencari informasi, sekarang ini mereka itu telah dengan gampangnya memperkaya bacaan dan memperlebar horizon intelektualnya. 

Perkembangan ini tentunya sangat menarik. Sebab, kalau dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi baru pemikir Islam ini lahir dari berbagai latar belakang subkultur Islam, baik mereka yang lahir dari kalangan tradisionalis maupun modernis. Inilah generasi "post-Nurcholish" dan "post-Abdurrahman Wahid", kalau tidak harus dibilang mereka tumbuh atas pengaruh kedua tokoh tersebut. 

Jika Cak Nur dan Gus Dur dengan obsesi kebebasannya telah membangun Indonesia sebagai negeri muslim yang adil dan toleran, maka para pemikir Islam muda ini tampaknya mempunyai perspektif yang lebih luas karena selain mencoba menyerap gagasan-gagasan global, seperti bagaimana memahami soal gender dan civil society yang bisa diterapkan di masyarakat Islam di sini, pencarian intelektual mereka juga melebar ke mana-mana. Termasuk misalnya, di antara mereka juga sangat kuat keinginannya untuk meminjam pendekatan hermeneutik sebagai alternatif untuk mereproduksi makna-makna baru di balik isyarat teks Al Quran.

Di Yogya, di bawah pengaruh Dr. Amien Abdullah misalnya, banyak pemikir muda yang bersemangat mempelajari hermeneutik ini, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang selama ini mencitrakan diri sebagai gerakan pemurnian Islam dan dikenal sangat fanatik dalam menggunakan pendekatan skripturalis dalam memahami teks Al Quran. 

Dr Amien sendiri adalah seorang pemikir dari Muhammadiyah yang sangat potensial, setelah tokoh Prof. Syafii Maarif. Pikiran-pikiran Amien, sewaktu memegang Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam di Muhammadiyah, sangat mewarnai dengan coraknya yang inklusif dan pluralis. 

Tokoh-tokoh seperti Syafii, Amien, dan Prof. Munir Mulkan boleh dikatakan telah memberi inspirasi pada anak-anak mudanya untuk lebih berpikir terbuka yang pada gilirannya melahirkan sebuah simpul intelektual yang dikenal dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). 

JIMM adalah sebuah jaringan, bukan organisasi resmi, yang mewadahi orang muda persyarikatan ini untuk mencari format intelektual Islam baru yang lebih segar. 

Secara garis besar, anak-anak muda yang tergabung dalam JIMM ini hendak mengembangkan hermeneutik tersebut sebagai kelengkapan alat intelektual dalam proses tafsir menafsir makna "keislaman", di samping konstruk ilmu-ilmu sosial kritis dalam rangka mencari model aksi yang baru bagi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial Islam. Sampai sekarang, anak-anak muda JIMM ini tampaknya dari segi jumlah masih relatif kecil, namun suara intelektualnya mulai terdengar dan berpengaruh luar biasa. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan menulis di media massa.

Sementara itu, kalau peta pemikir muda Islam ini boleh dilihat pertumbuhannya dari pengelompokan latar belakang basis subkulturnya, mereka yang lahir dari tradisi Nahdliyyin, dari segi jumlah memang lebih banyak dibandingkan subkultur Muhammadiyah dan Islam perkotaan. Tokoh NU muda, seperti Masdar Mas'udi, yang kental dengan tradisi pesantrennya, bisa disebut mewakili seorang pemikir Islam setelah Gus Dur. 

Dengan penguasaan kitab kuningnya, Masdar, selain berusaha menghidupkan kembali tradisi kitab kuning untuk membaca tantangan baru Islam, juga banyak hal yang dipertanyakannya untuk melakukan cultural reform terhadap komunitas kiai dan pesantrennya di daerah-daerah pedesaan. Kitab-kitab kuning selama ini menjadi rujukan sangat penting dalam kehidupan subkultur ini menjadi rujukan sangat penting dalam kehidupan subkultur pesantren ini, bersamaan dengan gagasan community development yang dikembangkan oleh kalangan LSM, dijadikan sebagai pendekatan bagaimana menguatkan kembali solidaritas petani Islam, sekaligus memberdayakan ekonomi mereka, lewat proyek-proyek income generating dalam kehidupan sosial baru yang lebih egaliter dan demokratis. 

Barangkali inilah yang dapat saya pahami dari obsesi pemikiran Masdar dan anak-anak muda yang lain di sekitarnya. Dengan gagasan "Islam Emansipatoris" yang mereka usung, sesungguhnya mereka memiliki cita-cita untuk menjaga semangat Islam populis dengan kekuatan tradisinya sendiri untuk selalu dijaga dan dipelihara.

Tokoh muda Nu yang tidak boleh diabaikan perannya di masa depan dan mulai membangun habitatnya sendiri adalah Ulil Abshar. Dengan menyatakan bahwa kelompoknya adalah pengikut "Islam Liberal", Ulil telah berani melakukan dialog pemikiran secara berhadap-hadapan dengan mereka yang gampangnya bisa disebut "gerakan syariah". Islam Liberal sering disalahpahami oleh lawan-lawannya sebagai gerakan "penyesatan" dan dianggap sangat mengagungkan pemikiran sekuler. Ada dua hal penting yang sungguh dirisaukan kalangan "Islam Liberal" ini. 

Pertama, JIL sangat merisaukan fenomena maraknya aspirasi "gerakan syariah" yang akhir-akhir ini lantang diteriakkan oleh sekelompok umat Islam. 

Melalui gerakan ini, JIL sangat merisaukan bahaya formalisasi hukum Islam lewat negara, yang tentunya sangat berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Kedua, fenomena menguatnya sikap eksklusif Islam yang mudah "me-lain-kan" (the otherness) orang di luar kelompoknya, bahkan gampang saja mengkafirkan orang lain. Kedua hal ini, kalau dibiarkan, tentunya dapat mengancam sendi-sendi pluralitas yang selama ini dijunjung tinggi oleh ajaran dan sejarah Islam. 

Di antara kelompok pembaharu pemikiran Islam, Ulil, menunjukkan yang paling kontroversial dan paling mendapat reaksi keras, termasuk juga dari beberapa kiai NU sendiri yang mengkhawatirkan autentisitas dan otoritas keulamaannya terganggu. Bahkan, saking curiganya terhadap kelompok ini, sampai-sampai tanpa harus memahami lebih dulu pandangan-pandangan yang paling esensial "keislaman" apa yang mereka perjuangkan, bagi mereka yang tidak setuju, kata "Liberal" di belakang kata "Islam" itu sendiri, seolah-olah sudah cukup untuk mencurigai bahwa kelompok ini mungkin merupakan agen "Barat".

Namun suatu proses yang harus disadari adalah bahwa di luar tradisi intelektual yang berasal dari Timur Tengah, pembentukan baru bangunan pemikiran Islam yang lebih terbuka di Indonesia (yang mampu menyerap gagasan kemanusiaan dan tidak apriori dari Barat atau Timur), sesungguhnya memang sedang terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini tidak bisa dihindari oleh siapa pun, tatkala kita semua sama-sama telah menghuni planet yang rusak, tatkala kemajuan kapitalisme ternyata menyisakan kemiskinan yang semakin meluas, dan tatkala di manamana agama mudah muncul sebagai pembenaran konflik. 

Oleh karena itu, jika transendensi pemikiran Islam bisa dimaksudkan untuk menjawab tantangan kemanusiaan semacam itu, "reintelektualisasi" Islam sebagai kerja peradaban adalah suatu keniscayaan. 

Masalahnya, bisakah Indonesia sebagai hunian kaum Muslimin terbesar di dunia ini dapat memberikan contoh dan kontribusi dalam pencarian intelektual itu?. Jawabnya, tentu hal ini tidak hanya menjadi harapan kita saja, tetapi tampaknya juga ditunggu oleh khalayak luas, apakah memang Islam Indonesia mampu memberikan sumbangan kekuatan dialog pemikiran yang esensial dalam rangka membangun masyarakat baru dunia yang lebih adil sekarang ini atau tidak.

  • SATU AL QURAN, BERAGAM TAFSIR KEBENARAN.

Tentu, tidak ada yang salah jika setiap pengikut agama mana pun berusaha memaknai apakah sesungguhnya arti kebenaran bagi kehidupan sehari-hari. Tuhan dan kebenaran, bagi manusia adalah bagian dari wilayah simbolik, sebuah wilayah keimanan, penghayatan, dan tafsiran yang bersivat privasi. Karenanya, semua ini menjadi sangat luas, bahkan tiada bertepi, seluas kemampuan masing-masing manusia dalam mendekati-Nya melalui cara tafsir dan daya imajinasinya masing-masing. Begitu pula tentang kehendak-Nya, yang kemudian disebut sebagai kebenaran. 

Tafsir mengenai hai ini tidak mungkin bisa dicari mana yang paling murni dari Tuhan dan mana yang katakanlah imajinasi. Sebab, dalam bentuknya yang paling aktual, keragaman tafsir mengenai kebenaran sangat tergantung pada kekayaan makna hidup dan kehidupan yang dimilik oleh budaya, tradisi, dan pengalaman sehari-hari. Namun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa keyakinan tentang Tuhan dan tafsiran mengenai kebenaran pada dasarnya merupakan fakta sejarah yang autentik dalam kemanusiaan, yang telah berlangsung seumur sejarah umat manusia itu sendiri.

Oleh sebab itu, Tuhan, kebenaran, dan kehidupan manusia sebenarya adalah suatu pergumulan tiada henti. Bahkan boleh dibilang merupakan kenyataan antropologis tatkala manusia atau sekelompok manusia menganggap ada yang suci, ada sumber spiritual dan keyakinan Yang Maha di luar kemampuan dan kekuatan dirinya sebagai manusia biasa. Sebuah gagasan kuno sekali bahwa dalam hidup harus ada yang disembah, yang ditakuti, dan yang bisa menjadi tujuan doa untuk meminta. Bukan sekadar itu, untuk menunjukkan kelemahan manusia di depan Penciptanya, Tuhan, selain sebagai sumber spiritual dan asal mula kebenaran, dalam praktiknya juga sangat penting untuk dijadikan sebagai "pembenar" untuk mengesahkan suatu tindakan. Itulah yang disebut "Tuhan legitimasi" yang bisa menyatakan umpamanya siapa saja yang berbuat baik untuk sesamanya akan diberikan pahala, dan siapa yang mencelakakan orang lain akan dimasukkan ke dalam neraka.

 Namun, "Tuhan legitimasi" ini anehnya juga dapat membenarkan orang untuk membunuh orang lain dengan dalih "karena panggilan-Nya", bahkan mengesahkan permusuhan yang berkepanjangan juga dengan alasan "karena ajaran-Nya. Maka, tidak heran, dalam berbagai pertikaian politik, seolah-olah yang terjadi adalah: "Tuhan menyerang Tuhan". Masing-masing "Tuhan" saling berebut menang. Pihak yang menang mengaku telah memperoleh bukti bahwa merekalah yang sesungguhnya mendapat pertolongan-Nya karena mereka di pihak yang benar. Bukan hanya pihak yang menang yang merasa dibela Tuhan, pihak yang kalah pun masih dapat mengaku bahwa mereka sebetulnya berada di pihak Tuhan. Hanya saja, pada saat itu mereka sedang dicoba Tuhan.

Tuhan memang unik. Namun yang lebih unik lagi adalah tentang bagaimana keyakinan manusia mempersepsi dan menyikapi Tuhannya masing-masing. Orang yang selamat bisa merasakan kasih sayang Tuhan karena telah berkenan melindunginya. Di balik itu, pada saat ia bersyukur tentang keselamatannya, sepertinya ia juga ingin mengatakan bahwa yang tidak selamat memang sejatinya sedang menerima hukuman dari-Nya. Namun demikian, bagi mereka yang terkena musibah pun tidak selamanya merasa bahwa semua itu merupakan kemarahan Tuhan. Mereka justru yakin bahwa hal itu pertanda Tuhan masih sayang. Anehnya, banyak juga orang yang terus saja melakukan maksiat dan dosa, tetapi Tuhan malah membiarkan tanpa berkenan menegurnya. Itulah uniknya perbedaan persepsi tentang Tuhan, dan beragamnya manusia dalam mendefinisikan realitas dunia ini. Masing-masing mendefinisikannya dari sudut pandangnya sendiri-sendiri yang merupakan pluralitas iman yang harus diterima. Ini adalah fakta bahwa keragaman hidup adalah bagian dari kehendak Tuhan Yang Maha Mutlak, di mana dengan kemutlakan-Nya itu memang sengaja membuat ciptaan hidup ini sangat indah dan majemuk. Sayangnya, kini banyak kelompok yang ingin merusak keragaman itu, membencinya dan dengan ganas ingin menguburnya dalam keyakinan monolitik, seolah ia ingin memaksa dan memasukkan semuanya dalam, "satu Tuhan dan satu tafsir kebenaran saja".

Hai ini mungkin disebabkan oleh mengerasnya kebutuhan untuk menegaskan identitas masing-masing. Masing-masing kelompok sedang bergerak untuk meneguhkan jati diri komunitas di atas komunitas yang lain. Itulah kelihatannya yang sedang terjadi saat ini. Timbulnya semangat penghayatan yang sempit terhadap agama menyebabkan bangkitnya sikap sektarian yang ternyata mengalahkan tidak hanya kekuatan manusia yang menganggap relatif dan lemah berhadapan dengan absolutisme Tuhan yang selama ini disadari keunikannya dalam batas budaya dan tradisi masing-masing, tetapi semangat ortodoksi semacam itu juga melemahkan bangunan kesadaran manusia universal yang telah diwariskan oleh peradaban selama ini. Persoalannya, bagaimana mungkin kita mau menghapus pilar-pilar peradaban itu hanya karena alasan politik?. Toh, ada hukum Tuhan yang tidak mungkin kita lawan bahwa seorang anak manusia pasti akan dilahirkan oleh ibunya dan seorang bayi sebelum lahir tidak mungkin berunding dulu dengan Tuhan, dari kandungan perempuan mana ia akan lahir, di kawasan budaya dan komunitas mana ia mau dibesarkan, termasuk permintaan misalnya janganlah Tuhan menitipkan ruhnya di keluarga yang miskin, sebab, akibat kemiskinan itu, mungkin bisa menghalangi tingkat kesalehan hidupnya di dunia nanti.

Ini sekadar bagian atau contoh dari kerumitan teologis, mengapa pluralitas sebenarnya adalah sebuah keniscayaan, sementara klaim kebenaran pada dasarnya adalah tafsiran yang terbatas karena sejak awal dibatasi oeh sejarah seseorang yang lahir dari komunitas yang memang berbeda-beda, di samping perbedaan struktur sosial yang menjadi lokus inkulturasi dan akulturasi agama dan keyakinannya. Dan, Tuhan yang "Objektif", tidak mungkin untuk tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi dan menjadi kendala setiap manusia untuk taqarrub, yakni berusaha mendekati-Nya, tentu dalam kapasitas masing-masing, dan dalam konsep Tuhan "Subjektif" yang dikenalnya dan pemahaman tentang kehendak-Nya sesuai dengan teks suci yang diwarisinya. Sebuah kekhawatiran pantas muncul tatkala proses globalisasi semakin mendekatkan jarak, bahkan meleburkan batas-batas komunitas, mengapa justru agama malah beradu dan rebutan "bener" sendiri yang di kedepankan, bukannya dialog-dialog yang mungkin bisa menjembatani semua perbedaan?. Bahkan, akhirnya malah sikap agama cenderung ingin menutup kerja sama antar peradaban. Padahal hal ini mutlak dibutuhkan oleh khalayak manusia dalam rangka membangun kebersamaan hidup.

Sejalan dengan turunnya wahyu (yang dianggap kebenaran referensi yang sah), Tuhan sesungguhnya tidak hanya bersabda, tetapi juga berbicara. Oleh sebab itu, wahyu tidaklah turun di atas altar sejarah yang kosong. Namun, ia turun dalam sejarah dengan setting historisnya sendiri. Di situlah ada konsep yang disebut dengan asbab an-nuzul. Konsep ini hendak menjelaskan mengapa Tuhan ikut berbicara dan menanggapi persoalan atas kasus kehidupan yang terjadi di zaman rasul-Nya itu. Tuhan, saat turunnya wahyu itu, memang dalam banyak kejadian terlibat langsung dalam perbincangan dan ikut menanggapi persoalan yang muncul. Itu artinya Tuhan terlibat dalam percakapan sejarah, percakapan dengan orang-orang yang secara aktual menghadapi permasalahan yang muncul saat itu yang kemudian percakapan Tuhan itu dalam perkembangannya lebih jauh menjadi dokumen kitab suci. Secara hermeneutik, persoalan ini memang rumit. Sebab, kehadiran Tuhan dalam percakapan itu (dalam dialog Tuhan dan pergumulan sejarah) memang tidak hadir sendiri. Kehadiran-Nya merupakan double discourse. Maksudnya, Rasul yang menyatakan bahwa ini lho, Tuhan bersabda, dan beginilah kehendak-Nya. Rasul menyampaikan itu atas nama Tuhan, dan kita, orang-orang beriman, percaya bahwa Rasul tidak berbohong. Sebab, Rasul itu ma'sum (terpelihara) dari perbuatan seperti itu.

Kita telah berada dalam lokus kehidupan aktual yang berbeda, biarpun sebagai orang yang beriman, tentu akan selalu menempatkan sabda Tuhan itu sebagai referensi normatif yang sangat penting. Masalahnya, apa sesungguhnya yang terjadi dengan wahyu sekarang ini tidak lain karena sabda itu telah terpenjara dalam kata-kata, dalam dokumentasi yang disebut kitab suci dan kehendak Tuhan itu, dan tidak lagi eksplisit karena maknanya baru kembali muncul jika diberikan tafsir-menafsir sesuai dengan spekulasi kita sendiri. Oleh karena itu, tafsiran kita mengenai kehendak Tuhan itu boleh jadi bisa benar dan bisa salah. Sebab, seperti kita ketahui, Tuhan telah berhenti bercakap dengan sejarah, dan sabda-Nya telah menjadi kitab suci yang literal.

Tuhan, sebagai pemilik kebenaran, memang tidak membutuhkan interpretasi. Namun, kita, umat manusia, membutuhkannya karena kita telah jauh dari akar teologi yang awal dan kita harus melintasi berbagai penjumlahan sejarah dan peradaban. Oleh karena itu, the sense of the text tidak mungkin terdapat dalam bunyi literalnya. Akan tetapi, selalu dipungut oleh manusia sendiri melalui pergumulan sejarah di luar inskripsi ayat-ayat suci itu. Sekadar contoh, tatkala kaum Muslimin menjumpai sejarah munculnya ideologi sebagai utopian, maka Al Quran tentulah dibaca dalam kaitan mencari dasar-dasar ideologis tersebut. Begitu pula tatkala zaman baru mulai menganggap bahwa negara bangsa yang modern dipandang sebagai pencarian bentuk politik hidup bersama yang lebih demokratis, maka tidak lain konsep seperti itu juga dicarikan rujukannya ke kitab suci. Tak pelak, tatkala kaum Muslimin menganggap sistem pemilihan umum adalah bentuk pencarian yang dianggap paling sesuai dan paling dekat dengan kehendak Tuhan agar kaum Muslimin menerapkan musyawarah dalam pengambilan keputusan kolektif, jelas sistem seperti itu akhirnya menjadi pilihan di mana-mana, juga dicarikan dasar-dasarnya dalam kitab suci. Dengan begitu, sesungguhnya makna wahyu memang merupakan "pemunculan baru", bukan sesuatu yang sudah tersedia sebelum sejarah baru akan mulai.

Perebutan makna-makna firman Tuhan ini, dalam sejarah, sering kali mendatangkan malapetaka kemanusiaan yang sangat tragis, utamanya jika itu terjadi dalam pergulatan politik dan relasi kekuasaan yang tidak adil. Di mana-mana, kekuasaan memang tidak ada yang netral. Jadi, kekuasaan cenderung menghadirkan Tuhan, bahkan menggunakan-Nya untuk melakukan manipulasi demi legitimasi yang diperlukan. Akibatnya, wajah Tuhan terseret dalam pertikaian. Tuhan menjadi topeng dehumanisasi dan dilibatkan dalam kegiatan untuk memperendah martabat kemanusiaan yang memalukan. Ini sungguh tidak masuk akal, apalagi kalau dipertimbangkan secara nurani. Misalnya, ada sementara orang mengaku memperjuangkan keyakinan atas nama Tuhan sambil dengan seenaknya melakukan teror kemanusiaan yang tidak beradab sama sekali. Tetapi, apa hendak dikata, kita memang sedang menjumpai zaman, di mana sejarah umat manusia sedang mengalami paradoks dan krisis, seolah-olah moralitas kemanusiaan dan prinsip-prinsip humanisme yang paling dasar pun telah hilang dari peradaban dan dari proses politik kita sehari-hari.

Pertanyaannya, masihkah proses politik dan keberagamaan kita memberikan sumbangan peradaban, jika di mana-mana malah terjadi konflik atas nama firman Tuhan (selain memang alasan sesungguhnya untuk memperebutkan identitas dan sumber-sumber kehidupan yang materialistik), sehingga kesadaran kolektif kemanusiaan sekarang ini terkeping-keping tidak lagi mencerminkan humanisasi?. Ini jelas bukan sekadar pertanyaan politis, tetapi juga persoalan teologis yang sangat mendasar, yang sedang terjadi dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. Suatu kebimbangan yang tragis tatkala kaum beriman yang meyakini firman Tuhan ternyata dibuat ragu, masihkah tindakan teror yang kriminal terhadap kemanusiaan bisa dibenarkan atas nama keadilan ?

Kebenaran di atas kebenaran, tentunya sebuah proses pencarian. Namun jelas, kekerasan dan setiap bentuk tindak kriminal kemanusiaan adalah lawan yang nyata dan pasti dari kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini, tidak ada ruang menafsir, misalnya tindakan kriminal kemanusiaan yang mana yang seharusnya kita pilih untuk melakukan hal itu. Setiap peradaban tidak mungkin ditegakkan tanpa sebuah pengakuan bahwasanya manusia memang hidup dalam pluralitasnya, dan tidak mungkin kebenaran diperjuangkan dalam bentuknya yang absolut. Sebab, pada dasarnya, kebenaran harus dicari bersama dan harus terus-menerus diperbincangkan. Kebenaran itu sendiri memiliki berbagai sudut, sama halnya alienasi kemanusiaan juga mempunyai keragamannya sendiri. Oleh karena itu, kebenaran tidak pernah ada dalam singularitasnya sendiri karena hal itu terdapat dalam kata-kata, dalam sejarah kebenaran yang dilingkari oleh budaya dan tradisi komunitasnya masing-masing. Dalam membangun dialog peradaban, tentunya sanagat dibutuhkan sikap terbuka dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya masing-masing, tanpa harus apriori terhadap pihak-pihak tertentu. Kedua hal ini adalah nilai yang paling esensial dalam proses pencarian kebenaran. Tidak mungkin suatu kebenaran diperbincangkan dengan meminggirkan keduanya.

Mungkinkah keberagamaan umat manusia dapat menumbuhkan peradaban yang toleran dalam mencari kebenaran?. Bisa, asalkan kita memiliki subjek Tuhan yang betul-betul Maha Akbar sebagai sumber imajinasi kebenaran, di luar keterbatasan manusia dengan sejarah komunitasnya masing-masing. Dalam hal ini, tentu kita tidak perlu membuang teks kitab suci masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa kebesaran Tuhan yang tidak terukur membuat interpretasi umat manusia tentang kebenaran di balik ayat-ayat-Nya akan selalu terbuka dan tidak bertepi, melampaui batas-batas anggapan, sangkaan, dan klaim setiap orang yang menemukannya. Suatu dialog mencari dan memperbincangkan kebenaran dalam subjek Tuhan Yang Maha Luas seperti itu tentu harus tetap memberi ruang bagi mereka yang kita duga telah "sesat". Sebab, pada dasarnya, "kesesatan" dan "kebenaran" adalah sisi yang berbeda dalam pencarian kebenaran itu sendiri. Bahayanya, sudah tentu merupakan suatu yang ironis jika mereka yang mengklaim telah memiliki "kebenaran" (atau "kesesatan") yang konstruktif itu malah menuhankan diri dalam wacana double dircourse (untuk membaca firman Tuhan), apalagi kalau hal itu disertai dengan tindakan represif yang sesungguhnya sangat melawan nilai-nilai moralitas kemanusiaan yang seharusnya dijunjung bersama. Cita-cita Tuhan dan kehendak-Nya, sekali lagi, memang absolut. Namun, tafsir manusia tentang itu jelaslah merupakan bagian dari sejarah kesadaran umat manusia yang relatif dan terbatas. Dan hanya arogansi politik atau kekuasaan sajalah yang biasanya sering tidak malu menutupi kejujuran ini.

  

  • TANGGAPAN.

Inti dari pemaparan buku Moeslim Abdurrahman ini adalah seruan kepada pengembangan "Tafsir Transformatif" Islam. Tafsir transformatif yang ditawarkannya sesungguhnya merupakan ajakan untuk membaca Al Quran bukan hanya dalam wujud "skriptural" saja, melainkan harus sampai pada tahap "double hermeneutics", di mana ia harus dikonfrontasikan dengan kenyataan sosial yang aktual.[1] Dalam model tafsir demikian, dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga wilayah interpretasi. Pertama, memahami konstruk sosial; kedua, membawa konstruk itu berhadapan dengan interpretasi teks (Al Quran); dan ketiga, hasil penghadapan konstruk sosial dan model ideal teks itu kemudian diwujudkan dalam aksi sejarah yang baru. [2]

 Berkaitan dengan hal tersebut, Syarif Hidayatullah mencoba menelaah dan memahami model tafsir transformatif yang dikembangkan oleh Moeslim. Baginya, "Islam Transformatif" atau "Tafsir Transformatif" menyuarakan kepentingan kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akibat modernisasi, ketimbang mempromosikan modernisasi itu sendiri. Upaya ini bermaksud membumikan ajaran Islam pada wilayah ranah sosial dan kesejarahan umat manusia. Berbagai persoalan pelik yang dihadapi masyarakat memerlukan tanggapan positif agama/Islam. Dengan demikian, perlu dihadirkan pembacaan agama yang kritis terhadap konteks sosial masyarakat, sehingga pemahaman yang dihasilkannya pun tidak lagi hanya mengandalkan peninggalan warisan tradisi masa lalu, tetapi berupa produk nalar agama yang baru dan disesuaikan pada masalah-masalah kontemporer.[3]

 Lebih lanjut, Moeslim menguraikan landasan pemikirannya dalam pembentukan tafsir transformatif, bahwa Islam adalah roh kemanusiaan yang menuntun perubahan, terutama dalam pemerdekaan, baik bagi kesadaran orang perorang maupun secara kolektif, untuk mewujudkan kebaikan dan perlawanan terhadap kejahatan (amar mahruf nahy munkar). Sejalan dengan itu, ia juga menjelaskan bagaimana pentingnya keadilan demi mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hanya keadilan yang dapat menjungjung harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

 Pemikiran Moeslim tersebut, menyiratkan makna dan korelasi yang begitu kental antara Islam, kemerdekaan hakiki manusia dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Apa yang diutarakan Moeslim di atas, sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Maududi dalam bukunya "Khilafah dan Kerajaan", bahwa "Seorang Muslim atau Non-Muslim berhak mendapatkan : Keselamatan jiwa (Q.S. 17:33), Pengamanan hak-hak pemilikan (Q.S. 2:188; Q.S. 4:29), Hak kebebasan mengkritik (Q.S. 5:78-79), Kebebasan berkumpul untuk kebaikan dan kebenaran, bukan menjadi penyebab pertengkaran atau perselisihan di antara rakyat (Q.S. 3:104-105), Hak kebebasan beragama (Q.S. 2:256; Q.S. 2:191; Q.S. 10:99), Hak keamanan dari penindasan keagamaan (Q.S. 6:108; Q.S. 29:46), Hak setiap orang untuk menerima perlakuan hukum dengan adil (Q.S. 49:6; Q.S. 17:36), Hak orang-orang yang membutuhkan bantuan dan yang tidak memiliki apa-apa, untuk dipenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka (Q.S. 51:19), Hak rakyat untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh negara, tidak ada pengutamaan ataupun keistimewaan atau perbedaan antara mereka semuanya (Q.S. 28:4)".[4]

 Menjadi Islam berarti harus percaya kepada Al Quran sebagai kebenaran Ilahi. Bagi yang percaya, maka dituntut kemampuan untuk memahami Al Quran dengan benar. Agar dapat memahami dengan benar, maka diperlukan kemampuan tafsir yang jujur, akurat dan kontekstual. Sehubungan dengan hal tersebut,  Moeslim mengingatkan, intelektualisasi dan reintelektualisasi sebagai kekuatan imajinatif mencari makna Islam memang harus selalu dijaga dan harus diberi ruang sepanjang masa dalam rangka membuka pintu ijtihad. Para alim ulama dan cendikiawan muslim tentu memiliki perbedaan tafsiran mengenai apa makna Islam di zaman kini sesuai dengan latarbelakang sosial, perspektif dan paradigmatik masing-masing. Namun kebenaran yang berlandaskan pemerdekaan bukanlah terletak pada kemampuan bagaimana hebatnya wacana dan nalar yang dirumuskan. Justru kriteria dasar untuk melihat apakah makna Islam telah menggerakkan emansipasi kemanusiaan haruslah dilihat dari proses empiris yang sedang berlangsung. Dengan demikian, Islam menjadi gagasan sejarah yang bergerak dan bukan sekedar memperkaya khazanah intelektualitik yang mengambang, yang tidak jelas-jelas memihak dan melakukan penghadangan terhadap proses dehumanisasi dan marginalisasi sosial.

 Kajian intelektual dan implementasi humanis kitab suci yang ditawarkan Moeslim ini, ternyata searah dengan intelektualis yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid. Menurut Madjid, bahwa tuntutan zaman yang semakin meningkat itu dapat dipenuhi hanya jika terdapat perkembangan intelektual Islam yang bercabang dua, yaitu : Pertama, suatu intelektualisme Islam yang mengambil inspirasi dari kekayaan Islam klasik. Kedua, suatu usaha pengembangan kemampuan menjawab tantangan jaman yang semakin meningkat. Tetapi tantangan utama ialah bagaimana menumbuhkan tradisi pengkajian masalah secara positif sambil membuka diri pada hal-hal baru yang lebih maju. Atau menurut jargon klasik kalangan ulama, "memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik".[5]

 Memang di satu sisi Islam adalah agama yang sarat dengan formulasi-formulasi ritualistik, namun di sisi yang lain juga memuat tentang tatanan social, politik dan ekonomi yang secara kultural dan struktural terjadi proses kohesi dan koeksistensi dengan kehidupan masyarakat luas.[6] Itu sebabnya, Moeslim menyebutkan Islam harus dikaitkan sebagai ideologi perubahan sosial, yang menggugah kesadaran emansipasi, dan bukan sebagai kegiatan dakwah yang terlalu mengutamakan kesalehan ritual. Dalam hal ini, ia mempertanyakan mengapa kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dalam publik dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi seolah-olah menjadi gaya hidup, dibandingkan sebagai kekuatan spiritual yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi. 

 Kritik Moeslim terhadap kesalehan-kesalehan ritualistik semata, ternyata sebelumnya juga telah mendapat tanggapan yang lebih pedas dari Asghar Ali. Berdasarkan QS. Al Baqarah : 5, Asghar Ali mengatakan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting dari ibadah individu. Pendusta-pendusta agama adalah orang-orang yang sama sekali tidak menunjukkan tanggungjawabnya terhadap keadaan anggota masyarakat yang lemah dan miskin.[7]

 Moeslim melihat hampir setiap hari kita mengikuti berita bahwa keterpurukan sosial semakin menyedihkan, jumlah orang miskin juga semakin membesar, sedangkan proses politik semakin larut dalam kultur uang dan agendanya terus menjauh dari keadaan objektif bahwa masyarakat makin sengsara dan solidaritas sosial semakin pudar.[8] 

 Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Moeslim berharap agar Indonesia sebagai rumah bangsa yang nasibnya terpuruk dan yang mayoritas dihuni kaum muslimin ini, bisakah Islam menjadi teks sosial yang memihak perubahan, yang dapat memunculkan kekuatannya sebagai moral korektif, sehingga Islam selalu memberikan dorongan yang meyakinkan bahwa tidak ada bentuk kesadaran kesalehan spiritual yang paling sejati, kecuali kesalehan tersebut harus ditegakkan dalam masyarakat yang adil dan setara.

 Masyarakat yang menggunakan kebebasan seraya memenuhi tanggungjawab atas aksi-aksinya, diatribusi sebagai masyarakat yang telah melakukan pencapaian makna. Inilah karakteristik masyarakat yang sehat, berangkat dari harmonisasi emosi dan kognisi, diaktualisasikan lewat konasi yang bebas dan disadari, kemudian mencapai puncaknya pada pemenuhan makna diri.[9]

 Pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwa perlu membangun teologi sosial yang memerdekakan, yang disebut juga sebagai Islam Transformatif, karena ide dan gagasan-gagasan perubahan haruslah dinegosiasikan dalam kerangka simbolik Islam, dan hal itu haruslah dari mereka sendiri yang tertindas dan menderita (people of subordination).Kesalehan-kesalehan ritualistik adalah kebohongan belaka jika tidak dibarengi usaha untuk menguatkan kebersamaan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun