Dr Amien sendiri adalah seorang pemikir dari Muhammadiyah yang sangat potensial, setelah tokoh Prof. Syafii Maarif. Pikiran-pikiran Amien, sewaktu memegang Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam di Muhammadiyah, sangat mewarnai dengan coraknya yang inklusif dan pluralis.Â
Tokoh-tokoh seperti Syafii, Amien, dan Prof. Munir Mulkan boleh dikatakan telah memberi inspirasi pada anak-anak mudanya untuk lebih berpikir terbuka yang pada gilirannya melahirkan sebuah simpul intelektual yang dikenal dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).Â
JIMM adalah sebuah jaringan, bukan organisasi resmi, yang mewadahi orang muda persyarikatan ini untuk mencari format intelektual Islam baru yang lebih segar.Â
Secara garis besar, anak-anak muda yang tergabung dalam JIMM ini hendak mengembangkan hermeneutik tersebut sebagai kelengkapan alat intelektual dalam proses tafsir menafsir makna "keislaman", di samping konstruk ilmu-ilmu sosial kritis dalam rangka mencari model aksi yang baru bagi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial Islam. Sampai sekarang, anak-anak muda JIMM ini tampaknya dari segi jumlah masih relatif kecil, namun suara intelektualnya mulai terdengar dan berpengaruh luar biasa. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan menulis di media massa.
Sementara itu, kalau peta pemikir muda Islam ini boleh dilihat pertumbuhannya dari pengelompokan latar belakang basis subkulturnya, mereka yang lahir dari tradisi Nahdliyyin, dari segi jumlah memang lebih banyak dibandingkan subkultur Muhammadiyah dan Islam perkotaan. Tokoh NU muda, seperti Masdar Mas'udi, yang kental dengan tradisi pesantrennya, bisa disebut mewakili seorang pemikir Islam setelah Gus Dur.Â
Dengan penguasaan kitab kuningnya, Masdar, selain berusaha menghidupkan kembali tradisi kitab kuning untuk membaca tantangan baru Islam, juga banyak hal yang dipertanyakannya untuk melakukan cultural reform terhadap komunitas kiai dan pesantrennya di daerah-daerah pedesaan. Kitab-kitab kuning selama ini menjadi rujukan sangat penting dalam kehidupan subkultur ini menjadi rujukan sangat penting dalam kehidupan subkultur pesantren ini, bersamaan dengan gagasan community development yang dikembangkan oleh kalangan LSM, dijadikan sebagai pendekatan bagaimana menguatkan kembali solidaritas petani Islam, sekaligus memberdayakan ekonomi mereka, lewat proyek-proyek income generating dalam kehidupan sosial baru yang lebih egaliter dan demokratis.Â
Barangkali inilah yang dapat saya pahami dari obsesi pemikiran Masdar dan anak-anak muda yang lain di sekitarnya. Dengan gagasan "Islam Emansipatoris" yang mereka usung, sesungguhnya mereka memiliki cita-cita untuk menjaga semangat Islam populis dengan kekuatan tradisinya sendiri untuk selalu dijaga dan dipelihara.
Tokoh muda Nu yang tidak boleh diabaikan perannya di masa depan dan mulai membangun habitatnya sendiri adalah Ulil Abshar. Dengan menyatakan bahwa kelompoknya adalah pengikut "Islam Liberal", Ulil telah berani melakukan dialog pemikiran secara berhadap-hadapan dengan mereka yang gampangnya bisa disebut "gerakan syariah". Islam Liberal sering disalahpahami oleh lawan-lawannya sebagai gerakan "penyesatan" dan dianggap sangat mengagungkan pemikiran sekuler. Ada dua hal penting yang sungguh dirisaukan kalangan "Islam Liberal" ini.Â
Pertama, JIL sangat merisaukan fenomena maraknya aspirasi "gerakan syariah" yang akhir-akhir ini lantang diteriakkan oleh sekelompok umat Islam.Â
Melalui gerakan ini, JIL sangat merisaukan bahaya formalisasi hukum Islam lewat negara, yang tentunya sangat berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Kedua, fenomena menguatnya sikap eksklusif Islam yang mudah "me-lain-kan" (the otherness) orang di luar kelompoknya, bahkan gampang saja mengkafirkan orang lain. Kedua hal ini, kalau dibiarkan, tentunya dapat mengancam sendi-sendi pluralitas yang selama ini dijunjung tinggi oleh ajaran dan sejarah Islam.Â
Di antara kelompok pembaharu pemikiran Islam, Ulil, menunjukkan yang paling kontroversial dan paling mendapat reaksi keras, termasuk juga dari beberapa kiai NU sendiri yang mengkhawatirkan autentisitas dan otoritas keulamaannya terganggu. Bahkan, saking curiganya terhadap kelompok ini, sampai-sampai tanpa harus memahami lebih dulu pandangan-pandangan yang paling esensial "keislaman" apa yang mereka perjuangkan, bagi mereka yang tidak setuju, kata "Liberal" di belakang kata "Islam" itu sendiri, seolah-olah sudah cukup untuk mencurigai bahwa kelompok ini mungkin merupakan agen "Barat".