Oleh sebab itu, "keislaman" sebagai makna kepasrahan kepada Tuhan jelas sekali bukan merupakan sesuatu yang singular, tetapi mempunyai banyak tafsir, sesuai kemampuan interpretasi manusia sendiri. Pluralitas tentang makna "keislaman" ini harus diakui sebagai salah satu kekuatan yang selama ini dianggap menjadi unsur dinamis, sehingga ijtihad tidak saja merupakan mekanisme intelektual yang dijunjung tinggi dalam tradisi Islam, tetapi perbedaan tafsir mengenai makna "keislaman" juga diyakini sebagai rahmat peradaban Islam.
Dialog pemikiran Islam, oleh karenanya, kalau ditelaah, tidak hanya pada tingkat teks utamanya (Al Quran dan Sunnah) yang memang mendorong ke arah lahirnya tradisi tersebut. Namun juga kalau diperiksa dari sejarahnya, dapat dikatakan bahwa tidak pernah muncul kebangkitan umat Islam tanpa disertai dengan  proses reintektualisasi, sehingga Islam menjadi agama dan pandangan hidup (way of life) yang terbuka, yang mampu menyerap dan mengurangi kembali berbagai elemen peradaban yang sedang tumbuh dan berkembang.Â
Di situlah sejatinya letak kekuatan peradaban Islam selama ini, sehingga Islam yang pernah menyumbangkan suatu kejayaan peradaban dan keunggulan peradaban Islam itu bisa dirasakan bukan hanya sebagai rahmat bagi kaum Muslimin sendiri, tetapi juga kehidupan umat-umat lain. Sebab, ini adalah suatu keyakinan bahwa Al Quran, yang diturunkan dalam bahasa Arab itu, merupakan bukti kewahyuan yang asli.Â
Kendati demikian, ide-ide kewahyuan yang tersirat di dalamnya, telah berpengaruh melampaui batas-batas mereka yang bisa berbahasa Arab saja. Oleh sebab itu, para pemikir dan reformis Islam tidak harus terbatas pada mereka yang lahir dari wilayah hunian kaum Muslimin yang berbahasa Arab, tetapi bisa jadi siapa saja yang sanggup menghidupkan cita-cita Al Quran tersebut, sesuai lanskap zaman yang terus berubah.
Di masa kini, tatkala kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh globalisasi, sementara orang berbicara tentang meruncingnya benturan budaya Barat vis a vis Islam, adalah sebuah kenyataan bahwa jumlah kaum Muslimin yang bermigrasi dan menumpang hidup di negara-negara Barat jumlahnya semakin meningkat. Kenyataan ini, bagaimanapun, telah memaksa baik kaum Muslimin pendatang maupun bangsa Barat yang didatangi untuk saling memahami satu sama lain dan melakukan peminjaman budaya yang sehat dalam kehidupan multikulturalisme.Â
Namun yang lebih menarik, tidak hanya gejala muslim diasporik di negara-negara Barat itu yang sekarang tampak menguat, bahkan tokoh-tokoh pemikir Islam kenamaan, seperti halnya Abdullahi An-Naim, Bassam Tibi, Arkoun, mereka boleh dibilang selain memperoleh kesempatan mengembangkan pemikiran Islam di Barat, juga mendapatkan audiens pemikiran mereka dalam lingkungan akademik dan masyarakat Barat secara intensif.Â
Di luar berita-berita yang memojokkan Islam dengan labeling sebagai musuh Barat yang melansir pandangan dan sikap kelompok-kelompok fundamentalis, Islamis, dan teroris, gejala munculnya dialog pemikiran Islam dan Barat melalui pencarian bersama para pemikir Islam dan rekannya di Barat tersebut, yakni bagaimana umat Islam dan Barat membangun masa depan hidup dalam sebuah "a new community of civilization" adalah sesuatu yang menarik dan senantiasa ditunggu-tunggu sebagai proses dialog peradaban yang menjanjikan.
Di Indonesia sendiri, sebagai sebuah bangsa dengan penduduk kaum Muslimin terbesar, tradisi pemikiran Islam sesungguhnya telah berkembang, bahkan boleh dikatakan sekarang ini semakin memunculkan generasi yang kuat. Para pemikir muda sedang tumbuh memasuki berbagai isu kontemporer, dan karena mudahnya mencari informasi, sekarang ini mereka itu telah dengan gampangnya memperkaya bacaan dan memperlebar horizon intelektualnya.Â
Perkembangan ini tentunya sangat menarik. Sebab, kalau dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi baru pemikir Islam ini lahir dari berbagai latar belakang subkultur Islam, baik mereka yang lahir dari kalangan tradisionalis maupun modernis. Inilah generasi "post-Nurcholish" dan "post-Abdurrahman Wahid", kalau tidak harus dibilang mereka tumbuh atas pengaruh kedua tokoh tersebut.Â
Jika Cak Nur dan Gus Dur dengan obsesi kebebasannya telah membangun Indonesia sebagai negeri muslim yang adil dan toleran, maka para pemikir Islam muda ini tampaknya mempunyai perspektif yang lebih luas karena selain mencoba menyerap gagasan-gagasan global, seperti bagaimana memahami soal gender dan civil society yang bisa diterapkan di masyarakat Islam di sini, pencarian intelektual mereka juga melebar ke mana-mana. Termasuk misalnya, di antara mereka juga sangat kuat keinginannya untuk meminjam pendekatan hermeneutik sebagai alternatif untuk mereproduksi makna-makna baru di balik isyarat teks Al Quran.
Di Yogya, di bawah pengaruh Dr. Amien Abdullah misalnya, banyak pemikir muda yang bersemangat mempelajari hermeneutik ini, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang selama ini mencitrakan diri sebagai gerakan pemurnian Islam dan dikenal sangat fanatik dalam menggunakan pendekatan skripturalis dalam memahami teks Al Quran.Â