Kita telah berada dalam lokus kehidupan aktual yang berbeda, biarpun sebagai orang yang beriman, tentu akan selalu menempatkan sabda Tuhan itu sebagai referensi normatif yang sangat penting. Masalahnya, apa sesungguhnya yang terjadi dengan wahyu sekarang ini tidak lain karena sabda itu telah terpenjara dalam kata-kata, dalam dokumentasi yang disebut kitab suci dan kehendak Tuhan itu, dan tidak lagi eksplisit karena maknanya baru kembali muncul jika diberikan tafsir-menafsir sesuai dengan spekulasi kita sendiri. Oleh karena itu, tafsiran kita mengenai kehendak Tuhan itu boleh jadi bisa benar dan bisa salah. Sebab, seperti kita ketahui, Tuhan telah berhenti bercakap dengan sejarah, dan sabda-Nya telah menjadi kitab suci yang literal.
Tuhan, sebagai pemilik kebenaran, memang tidak membutuhkan interpretasi. Namun, kita, umat manusia, membutuhkannya karena kita telah jauh dari akar teologi yang awal dan kita harus melintasi berbagai penjumlahan sejarah dan peradaban. Oleh karena itu, the sense of the text tidak mungkin terdapat dalam bunyi literalnya. Akan tetapi, selalu dipungut oleh manusia sendiri melalui pergumulan sejarah di luar inskripsi ayat-ayat suci itu. Sekadar contoh, tatkala kaum Muslimin menjumpai sejarah munculnya ideologi sebagai utopian, maka Al Quran tentulah dibaca dalam kaitan mencari dasar-dasar ideologis tersebut. Begitu pula tatkala zaman baru mulai menganggap bahwa negara bangsa yang modern dipandang sebagai pencarian bentuk politik hidup bersama yang lebih demokratis, maka tidak lain konsep seperti itu juga dicarikan rujukannya ke kitab suci. Tak pelak, tatkala kaum Muslimin menganggap sistem pemilihan umum adalah bentuk pencarian yang dianggap paling sesuai dan paling dekat dengan kehendak Tuhan agar kaum Muslimin menerapkan musyawarah dalam pengambilan keputusan kolektif, jelas sistem seperti itu akhirnya menjadi pilihan di mana-mana, juga dicarikan dasar-dasarnya dalam kitab suci. Dengan begitu, sesungguhnya makna wahyu memang merupakan "pemunculan baru", bukan sesuatu yang sudah tersedia sebelum sejarah baru akan mulai.
Perebutan makna-makna firman Tuhan ini, dalam sejarah, sering kali mendatangkan malapetaka kemanusiaan yang sangat tragis, utamanya jika itu terjadi dalam pergulatan politik dan relasi kekuasaan yang tidak adil. Di mana-mana, kekuasaan memang tidak ada yang netral. Jadi, kekuasaan cenderung menghadirkan Tuhan, bahkan menggunakan-Nya untuk melakukan manipulasi demi legitimasi yang diperlukan. Akibatnya, wajah Tuhan terseret dalam pertikaian. Tuhan menjadi topeng dehumanisasi dan dilibatkan dalam kegiatan untuk memperendah martabat kemanusiaan yang memalukan. Ini sungguh tidak masuk akal, apalagi kalau dipertimbangkan secara nurani. Misalnya, ada sementara orang mengaku memperjuangkan keyakinan atas nama Tuhan sambil dengan seenaknya melakukan teror kemanusiaan yang tidak beradab sama sekali. Tetapi, apa hendak dikata, kita memang sedang menjumpai zaman, di mana sejarah umat manusia sedang mengalami paradoks dan krisis, seolah-olah moralitas kemanusiaan dan prinsip-prinsip humanisme yang paling dasar pun telah hilang dari peradaban dan dari proses politik kita sehari-hari.
Pertanyaannya, masihkah proses politik dan keberagamaan kita memberikan sumbangan peradaban, jika di mana-mana malah terjadi konflik atas nama firman Tuhan (selain memang alasan sesungguhnya untuk memperebutkan identitas dan sumber-sumber kehidupan yang materialistik), sehingga kesadaran kolektif kemanusiaan sekarang ini terkeping-keping tidak lagi mencerminkan humanisasi?. Ini jelas bukan sekadar pertanyaan politis, tetapi juga persoalan teologis yang sangat mendasar, yang sedang terjadi dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. Suatu kebimbangan yang tragis tatkala kaum beriman yang meyakini firman Tuhan ternyata dibuat ragu, masihkah tindakan teror yang kriminal terhadap kemanusiaan bisa dibenarkan atas nama keadilan ?
Kebenaran di atas kebenaran, tentunya sebuah proses pencarian. Namun jelas, kekerasan dan setiap bentuk tindak kriminal kemanusiaan adalah lawan yang nyata dan pasti dari kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini, tidak ada ruang menafsir, misalnya tindakan kriminal kemanusiaan yang mana yang seharusnya kita pilih untuk melakukan hal itu. Setiap peradaban tidak mungkin ditegakkan tanpa sebuah pengakuan bahwasanya manusia memang hidup dalam pluralitasnya, dan tidak mungkin kebenaran diperjuangkan dalam bentuknya yang absolut. Sebab, pada dasarnya, kebenaran harus dicari bersama dan harus terus-menerus diperbincangkan. Kebenaran itu sendiri memiliki berbagai sudut, sama halnya alienasi kemanusiaan juga mempunyai keragamannya sendiri. Oleh karena itu, kebenaran tidak pernah ada dalam singularitasnya sendiri karena hal itu terdapat dalam kata-kata, dalam sejarah kebenaran yang dilingkari oleh budaya dan tradisi komunitasnya masing-masing. Dalam membangun dialog peradaban, tentunya sanagat dibutuhkan sikap terbuka dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya masing-masing, tanpa harus apriori terhadap pihak-pihak tertentu. Kedua hal ini adalah nilai yang paling esensial dalam proses pencarian kebenaran. Tidak mungkin suatu kebenaran diperbincangkan dengan meminggirkan keduanya.
Mungkinkah keberagamaan umat manusia dapat menumbuhkan peradaban yang toleran dalam mencari kebenaran?. Bisa, asalkan kita memiliki subjek Tuhan yang betul-betul Maha Akbar sebagai sumber imajinasi kebenaran, di luar keterbatasan manusia dengan sejarah komunitasnya masing-masing. Dalam hal ini, tentu kita tidak perlu membuang teks kitab suci masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa kebesaran Tuhan yang tidak terukur membuat interpretasi umat manusia tentang kebenaran di balik ayat-ayat-Nya akan selalu terbuka dan tidak bertepi, melampaui batas-batas anggapan, sangkaan, dan klaim setiap orang yang menemukannya. Suatu dialog mencari dan memperbincangkan kebenaran dalam subjek Tuhan Yang Maha Luas seperti itu tentu harus tetap memberi ruang bagi mereka yang kita duga telah "sesat". Sebab, pada dasarnya, "kesesatan" dan "kebenaran" adalah sisi yang berbeda dalam pencarian kebenaran itu sendiri. Bahayanya, sudah tentu merupakan suatu yang ironis jika mereka yang mengklaim telah memiliki "kebenaran" (atau "kesesatan") yang konstruktif itu malah menuhankan diri dalam wacana double dircourse (untuk membaca firman Tuhan), apalagi kalau hal itu disertai dengan tindakan represif yang sesungguhnya sangat melawan nilai-nilai moralitas kemanusiaan yang seharusnya dijunjung bersama. Cita-cita Tuhan dan kehendak-Nya, sekali lagi, memang absolut. Namun, tafsir manusia tentang itu jelaslah merupakan bagian dari sejarah kesadaran umat manusia yang relatif dan terbatas. Dan hanya arogansi politik atau kekuasaan sajalah yang biasanya sering tidak malu menutupi kejujuran ini.
 Â
- TANGGAPAN.
Inti dari pemaparan buku Moeslim Abdurrahman ini adalah seruan kepada pengembangan "Tafsir Transformatif" Islam. Tafsir transformatif yang ditawarkannya sesungguhnya merupakan ajakan untuk membaca Al Quran bukan hanya dalam wujud "skriptural" saja, melainkan harus sampai pada tahap "double hermeneutics", di mana ia harus dikonfrontasikan dengan kenyataan sosial yang aktual.[1] Dalam model tafsir demikian, dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga wilayah interpretasi. Pertama, memahami konstruk sosial; kedua, membawa konstruk itu berhadapan dengan interpretasi teks (Al Quran); dan ketiga, hasil penghadapan konstruk sosial dan model ideal teks itu kemudian diwujudkan dalam aksi sejarah yang baru. [2]
 Berkaitan dengan hal tersebut, Syarif Hidayatullah mencoba menelaah dan memahami model tafsir transformatif yang dikembangkan oleh Moeslim. Baginya, "Islam Transformatif" atau "Tafsir Transformatif" menyuarakan kepentingan kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akibat modernisasi, ketimbang mempromosikan modernisasi itu sendiri. Upaya ini bermaksud membumikan ajaran Islam pada wilayah ranah sosial dan kesejarahan umat manusia. Berbagai persoalan pelik yang dihadapi masyarakat memerlukan tanggapan positif agama/Islam. Dengan demikian, perlu dihadirkan pembacaan agama yang kritis terhadap konteks sosial masyarakat, sehingga pemahaman yang dihasilkannya pun tidak lagi hanya mengandalkan peninggalan warisan tradisi masa lalu, tetapi berupa produk nalar agama yang baru dan disesuaikan pada masalah-masalah kontemporer.[3]
 Lebih lanjut, Moeslim menguraikan landasan pemikirannya dalam pembentukan tafsir transformatif, bahwa Islam adalah roh kemanusiaan yang menuntun perubahan, terutama dalam pemerdekaan, baik bagi kesadaran orang perorang maupun secara kolektif, untuk mewujudkan kebaikan dan perlawanan terhadap kejahatan (amar mahruf nahy munkar). Sejalan dengan itu, ia juga menjelaskan bagaimana pentingnya keadilan demi mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hanya keadilan yang dapat menjungjung harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
 Pemikiran Moeslim tersebut, menyiratkan makna dan korelasi yang begitu kental antara Islam, kemerdekaan hakiki manusia dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Apa yang diutarakan Moeslim di atas, sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Maududi dalam bukunya "Khilafah dan Kerajaan", bahwa "Seorang Muslim atau Non-Muslim berhak mendapatkan : Keselamatan jiwa (Q.S. 17:33), Pengamanan hak-hak pemilikan (Q.S. 2:188; Q.S. 4:29), Hak kebebasan mengkritik (Q.S. 5:78-79), Kebebasan berkumpul untuk kebaikan dan kebenaran, bukan menjadi penyebab pertengkaran atau perselisihan di antara rakyat (Q.S. 3:104-105), Hak kebebasan beragama (Q.S. 2:256; Q.S. 2:191; Q.S. 10:99), Hak keamanan dari penindasan keagamaan (Q.S. 6:108; Q.S. 29:46), Hak setiap orang untuk menerima perlakuan hukum dengan adil (Q.S. 49:6; Q.S. 17:36), Hak orang-orang yang membutuhkan bantuan dan yang tidak memiliki apa-apa, untuk dipenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka (Q.S. 51:19), Hak rakyat untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh negara, tidak ada pengutamaan ataupun keistimewaan atau perbedaan antara mereka semuanya (Q.S. 28:4)".[4]