Menjadi Islam berarti harus percaya kepada Al Quran sebagai kebenaran Ilahi. Bagi yang percaya, maka dituntut kemampuan untuk memahami Al Quran dengan benar. Agar dapat memahami dengan benar, maka diperlukan kemampuan tafsir yang jujur, akurat dan kontekstual. Sehubungan dengan hal tersebut,  Moeslim mengingatkan, intelektualisasi dan reintelektualisasi sebagai kekuatan imajinatif mencari makna Islam memang harus selalu dijaga dan harus diberi ruang sepanjang masa dalam rangka membuka pintu ijtihad. Para alim ulama dan cendikiawan muslim tentu memiliki perbedaan tafsiran mengenai apa makna Islam di zaman kini sesuai dengan latarbelakang sosial, perspektif dan paradigmatik masing-masing. Namun kebenaran yang berlandaskan pemerdekaan bukanlah terletak pada kemampuan bagaimana hebatnya wacana dan nalar yang dirumuskan. Justru kriteria dasar untuk melihat apakah makna Islam telah menggerakkan emansipasi kemanusiaan haruslah dilihat dari proses empiris yang sedang berlangsung. Dengan demikian, Islam menjadi gagasan sejarah yang bergerak dan bukan sekedar memperkaya khazanah intelektualitik yang mengambang, yang tidak jelas-jelas memihak dan melakukan penghadangan terhadap proses dehumanisasi dan marginalisasi sosial.
 Kajian intelektual dan implementasi humanis kitab suci yang ditawarkan Moeslim ini, ternyata searah dengan intelektualis yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid. Menurut Madjid, bahwa tuntutan zaman yang semakin meningkat itu dapat dipenuhi hanya jika terdapat perkembangan intelektual Islam yang bercabang dua, yaitu : Pertama, suatu intelektualisme Islam yang mengambil inspirasi dari kekayaan Islam klasik. Kedua, suatu usaha pengembangan kemampuan menjawab tantangan jaman yang semakin meningkat. Tetapi tantangan utama ialah bagaimana menumbuhkan tradisi pengkajian masalah secara positif sambil membuka diri pada hal-hal baru yang lebih maju. Atau menurut jargon klasik kalangan ulama, "memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik".[5]
 Memang di satu sisi Islam adalah agama yang sarat dengan formulasi-formulasi ritualistik, namun di sisi yang lain juga memuat tentang tatanan social, politik dan ekonomi yang secara kultural dan struktural terjadi proses kohesi dan koeksistensi dengan kehidupan masyarakat luas.[6] Itu sebabnya, Moeslim menyebutkan Islam harus dikaitkan sebagai ideologi perubahan sosial, yang menggugah kesadaran emansipasi, dan bukan sebagai kegiatan dakwah yang terlalu mengutamakan kesalehan ritual. Dalam hal ini, ia mempertanyakan mengapa kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dalam publik dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi seolah-olah menjadi gaya hidup, dibandingkan sebagai kekuatan spiritual yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi.Â
 Kritik Moeslim terhadap kesalehan-kesalehan ritualistik semata, ternyata sebelumnya juga telah mendapat tanggapan yang lebih pedas dari Asghar Ali. Berdasarkan QS. Al Baqarah : 5, Asghar Ali mengatakan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting dari ibadah individu. Pendusta-pendusta agama adalah orang-orang yang sama sekali tidak menunjukkan tanggungjawabnya terhadap keadaan anggota masyarakat yang lemah dan miskin.[7]
 Moeslim melihat hampir setiap hari kita mengikuti berita bahwa keterpurukan sosial semakin menyedihkan, jumlah orang miskin juga semakin membesar, sedangkan proses politik semakin larut dalam kultur uang dan agendanya terus menjauh dari keadaan objektif bahwa masyarakat makin sengsara dan solidaritas sosial semakin pudar.[8]Â
 Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Moeslim berharap agar Indonesia sebagai rumah bangsa yang nasibnya terpuruk dan yang mayoritas dihuni kaum muslimin ini, bisakah Islam menjadi teks sosial yang memihak perubahan, yang dapat memunculkan kekuatannya sebagai moral korektif, sehingga Islam selalu memberikan dorongan yang meyakinkan bahwa tidak ada bentuk kesadaran kesalehan spiritual yang paling sejati, kecuali kesalehan tersebut harus ditegakkan dalam masyarakat yang adil dan setara.
 Masyarakat yang menggunakan kebebasan seraya memenuhi tanggungjawab atas aksi-aksinya, diatribusi sebagai masyarakat yang telah melakukan pencapaian makna. Inilah karakteristik masyarakat yang sehat, berangkat dari harmonisasi emosi dan kognisi, diaktualisasikan lewat konasi yang bebas dan disadari, kemudian mencapai puncaknya pada pemenuhan makna diri.[9]
 Pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwa perlu membangun teologi sosial yang memerdekakan, yang disebut juga sebagai Islam Transformatif, karena ide dan gagasan-gagasan perubahan haruslah dinegosiasikan dalam kerangka simbolik Islam, dan hal itu haruslah dari mereka sendiri yang tertindas dan menderita (people of subordination).Kesalehan-kesalehan ritualistik adalah kebohongan belaka jika tidak dibarengi usaha untuk menguatkan kebersamaan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H