Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun suatu proses yang harus disadari adalah bahwa di luar tradisi intelektual yang berasal dari Timur Tengah, pembentukan baru bangunan pemikiran Islam yang lebih terbuka di Indonesia (yang mampu menyerap gagasan kemanusiaan dan tidak apriori dari Barat atau Timur), sesungguhnya memang sedang terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini tidak bisa dihindari oleh siapa pun, tatkala kita semua sama-sama telah menghuni planet yang rusak, tatkala kemajuan kapitalisme ternyata menyisakan kemiskinan yang semakin meluas, dan tatkala di manamana agama mudah muncul sebagai pembenaran konflik. 

Oleh karena itu, jika transendensi pemikiran Islam bisa dimaksudkan untuk menjawab tantangan kemanusiaan semacam itu, "reintelektualisasi" Islam sebagai kerja peradaban adalah suatu keniscayaan. 

Masalahnya, bisakah Indonesia sebagai hunian kaum Muslimin terbesar di dunia ini dapat memberikan contoh dan kontribusi dalam pencarian intelektual itu?. Jawabnya, tentu hal ini tidak hanya menjadi harapan kita saja, tetapi tampaknya juga ditunggu oleh khalayak luas, apakah memang Islam Indonesia mampu memberikan sumbangan kekuatan dialog pemikiran yang esensial dalam rangka membangun masyarakat baru dunia yang lebih adil sekarang ini atau tidak.

  • SATU AL QURAN, BERAGAM TAFSIR KEBENARAN.

Tentu, tidak ada yang salah jika setiap pengikut agama mana pun berusaha memaknai apakah sesungguhnya arti kebenaran bagi kehidupan sehari-hari. Tuhan dan kebenaran, bagi manusia adalah bagian dari wilayah simbolik, sebuah wilayah keimanan, penghayatan, dan tafsiran yang bersivat privasi. Karenanya, semua ini menjadi sangat luas, bahkan tiada bertepi, seluas kemampuan masing-masing manusia dalam mendekati-Nya melalui cara tafsir dan daya imajinasinya masing-masing. Begitu pula tentang kehendak-Nya, yang kemudian disebut sebagai kebenaran. 

Tafsir mengenai hai ini tidak mungkin bisa dicari mana yang paling murni dari Tuhan dan mana yang katakanlah imajinasi. Sebab, dalam bentuknya yang paling aktual, keragaman tafsir mengenai kebenaran sangat tergantung pada kekayaan makna hidup dan kehidupan yang dimilik oleh budaya, tradisi, dan pengalaman sehari-hari. Namun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa keyakinan tentang Tuhan dan tafsiran mengenai kebenaran pada dasarnya merupakan fakta sejarah yang autentik dalam kemanusiaan, yang telah berlangsung seumur sejarah umat manusia itu sendiri.

Oleh sebab itu, Tuhan, kebenaran, dan kehidupan manusia sebenarya adalah suatu pergumulan tiada henti. Bahkan boleh dibilang merupakan kenyataan antropologis tatkala manusia atau sekelompok manusia menganggap ada yang suci, ada sumber spiritual dan keyakinan Yang Maha di luar kemampuan dan kekuatan dirinya sebagai manusia biasa. Sebuah gagasan kuno sekali bahwa dalam hidup harus ada yang disembah, yang ditakuti, dan yang bisa menjadi tujuan doa untuk meminta. Bukan sekadar itu, untuk menunjukkan kelemahan manusia di depan Penciptanya, Tuhan, selain sebagai sumber spiritual dan asal mula kebenaran, dalam praktiknya juga sangat penting untuk dijadikan sebagai "pembenar" untuk mengesahkan suatu tindakan. Itulah yang disebut "Tuhan legitimasi" yang bisa menyatakan umpamanya siapa saja yang berbuat baik untuk sesamanya akan diberikan pahala, dan siapa yang mencelakakan orang lain akan dimasukkan ke dalam neraka.

 Namun, "Tuhan legitimasi" ini anehnya juga dapat membenarkan orang untuk membunuh orang lain dengan dalih "karena panggilan-Nya", bahkan mengesahkan permusuhan yang berkepanjangan juga dengan alasan "karena ajaran-Nya. Maka, tidak heran, dalam berbagai pertikaian politik, seolah-olah yang terjadi adalah: "Tuhan menyerang Tuhan". Masing-masing "Tuhan" saling berebut menang. Pihak yang menang mengaku telah memperoleh bukti bahwa merekalah yang sesungguhnya mendapat pertolongan-Nya karena mereka di pihak yang benar. Bukan hanya pihak yang menang yang merasa dibela Tuhan, pihak yang kalah pun masih dapat mengaku bahwa mereka sebetulnya berada di pihak Tuhan. Hanya saja, pada saat itu mereka sedang dicoba Tuhan.

Tuhan memang unik. Namun yang lebih unik lagi adalah tentang bagaimana keyakinan manusia mempersepsi dan menyikapi Tuhannya masing-masing. Orang yang selamat bisa merasakan kasih sayang Tuhan karena telah berkenan melindunginya. Di balik itu, pada saat ia bersyukur tentang keselamatannya, sepertinya ia juga ingin mengatakan bahwa yang tidak selamat memang sejatinya sedang menerima hukuman dari-Nya. Namun demikian, bagi mereka yang terkena musibah pun tidak selamanya merasa bahwa semua itu merupakan kemarahan Tuhan. Mereka justru yakin bahwa hal itu pertanda Tuhan masih sayang. Anehnya, banyak juga orang yang terus saja melakukan maksiat dan dosa, tetapi Tuhan malah membiarkan tanpa berkenan menegurnya. Itulah uniknya perbedaan persepsi tentang Tuhan, dan beragamnya manusia dalam mendefinisikan realitas dunia ini. Masing-masing mendefinisikannya dari sudut pandangnya sendiri-sendiri yang merupakan pluralitas iman yang harus diterima. Ini adalah fakta bahwa keragaman hidup adalah bagian dari kehendak Tuhan Yang Maha Mutlak, di mana dengan kemutlakan-Nya itu memang sengaja membuat ciptaan hidup ini sangat indah dan majemuk. Sayangnya, kini banyak kelompok yang ingin merusak keragaman itu, membencinya dan dengan ganas ingin menguburnya dalam keyakinan monolitik, seolah ia ingin memaksa dan memasukkan semuanya dalam, "satu Tuhan dan satu tafsir kebenaran saja".

Hai ini mungkin disebabkan oleh mengerasnya kebutuhan untuk menegaskan identitas masing-masing. Masing-masing kelompok sedang bergerak untuk meneguhkan jati diri komunitas di atas komunitas yang lain. Itulah kelihatannya yang sedang terjadi saat ini. Timbulnya semangat penghayatan yang sempit terhadap agama menyebabkan bangkitnya sikap sektarian yang ternyata mengalahkan tidak hanya kekuatan manusia yang menganggap relatif dan lemah berhadapan dengan absolutisme Tuhan yang selama ini disadari keunikannya dalam batas budaya dan tradisi masing-masing, tetapi semangat ortodoksi semacam itu juga melemahkan bangunan kesadaran manusia universal yang telah diwariskan oleh peradaban selama ini. Persoalannya, bagaimana mungkin kita mau menghapus pilar-pilar peradaban itu hanya karena alasan politik?. Toh, ada hukum Tuhan yang tidak mungkin kita lawan bahwa seorang anak manusia pasti akan dilahirkan oleh ibunya dan seorang bayi sebelum lahir tidak mungkin berunding dulu dengan Tuhan, dari kandungan perempuan mana ia akan lahir, di kawasan budaya dan komunitas mana ia mau dibesarkan, termasuk permintaan misalnya janganlah Tuhan menitipkan ruhnya di keluarga yang miskin, sebab, akibat kemiskinan itu, mungkin bisa menghalangi tingkat kesalehan hidupnya di dunia nanti.

Ini sekadar bagian atau contoh dari kerumitan teologis, mengapa pluralitas sebenarnya adalah sebuah keniscayaan, sementara klaim kebenaran pada dasarnya adalah tafsiran yang terbatas karena sejak awal dibatasi oeh sejarah seseorang yang lahir dari komunitas yang memang berbeda-beda, di samping perbedaan struktur sosial yang menjadi lokus inkulturasi dan akulturasi agama dan keyakinannya. Dan, Tuhan yang "Objektif", tidak mungkin untuk tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi dan menjadi kendala setiap manusia untuk taqarrub, yakni berusaha mendekati-Nya, tentu dalam kapasitas masing-masing, dan dalam konsep Tuhan "Subjektif" yang dikenalnya dan pemahaman tentang kehendak-Nya sesuai dengan teks suci yang diwarisinya. Sebuah kekhawatiran pantas muncul tatkala proses globalisasi semakin mendekatkan jarak, bahkan meleburkan batas-batas komunitas, mengapa justru agama malah beradu dan rebutan "bener" sendiri yang di kedepankan, bukannya dialog-dialog yang mungkin bisa menjembatani semua perbedaan?. Bahkan, akhirnya malah sikap agama cenderung ingin menutup kerja sama antar peradaban. Padahal hal ini mutlak dibutuhkan oleh khalayak manusia dalam rangka membangun kebersamaan hidup.

Sejalan dengan turunnya wahyu (yang dianggap kebenaran referensi yang sah), Tuhan sesungguhnya tidak hanya bersabda, tetapi juga berbicara. Oleh sebab itu, wahyu tidaklah turun di atas altar sejarah yang kosong. Namun, ia turun dalam sejarah dengan setting historisnya sendiri. Di situlah ada konsep yang disebut dengan asbab an-nuzul. Konsep ini hendak menjelaskan mengapa Tuhan ikut berbicara dan menanggapi persoalan atas kasus kehidupan yang terjadi di zaman rasul-Nya itu. Tuhan, saat turunnya wahyu itu, memang dalam banyak kejadian terlibat langsung dalam perbincangan dan ikut menanggapi persoalan yang muncul. Itu artinya Tuhan terlibat dalam percakapan sejarah, percakapan dengan orang-orang yang secara aktual menghadapi permasalahan yang muncul saat itu yang kemudian percakapan Tuhan itu dalam perkembangannya lebih jauh menjadi dokumen kitab suci. Secara hermeneutik, persoalan ini memang rumit. Sebab, kehadiran Tuhan dalam percakapan itu (dalam dialog Tuhan dan pergumulan sejarah) memang tidak hadir sendiri. Kehadiran-Nya merupakan double discourse. Maksudnya, Rasul yang menyatakan bahwa ini lho, Tuhan bersabda, dan beginilah kehendak-Nya. Rasul menyampaikan itu atas nama Tuhan, dan kita, orang-orang beriman, percaya bahwa Rasul tidak berbohong. Sebab, Rasul itu ma'sum (terpelihara) dari perbuatan seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun