Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tatkala hubungan antara yang lokal-nasional dan global semakin kompleks, maka di situ semakin tidak tepat jika mengidentifikasi warga negara hanya melalui warna bendera kebangsaan, peta tanah air, atau perbedaan karena menggunakan bahasa nasional. 

Dengan begitu, maka jendela pendidikan tidak mungkin lagi menutup pintunya dari tugasnya yang paling penting untuk mengantarkan anak-anak bangsa, sebagaimana mereka mencari a new sense of equality, democracy ,individualism and community sehingga menjadi bagian yang kritis dari proses rekonstruksi baru "the main-stream of world civilization".

Masalah selanjutnya yang harus menjadi perhatian adalah tentang peran media sebagai bagian untuk menumbuhkan a healthty public sphere untuk memperbincangkan gagasan-gagasan a good society dalam rangka mencari konstruk ideal yang kita namakan "Indonesia Baru". Masih banyak orang mengeluh bahwa media yang ada sekarang ini, selain lebih mementingkan mencari keuntungan laba perusahaan, yang lebih menyedihkan juga ikut-ikutan represif. 

Orang yang diwawancarai oleh sebuah TV, misalnya, kadang-kadang terasa sama seperti diinterogasi. Ada semacam trial by the press yang sering membuat suasana tidak imparsial. Selain harus diingat bahwa tujuan media adalah memiliki peran yang penting dalam proses demokrasi untuk menumbuhkan the critical mass, bukan sekedar menciptakan masyarakat pemirsa dan pendengar yang pasif dan bisu, di mana mereka tidak mempunyai sikap dan tafsiran sendiri atas segala pemberitaan dan tayangan yang disuguhkan.

Di tahun 80-an, tatkala negara masih memiliki kekuasaan dan kekayaan yang berlebih, proses nasionalisme menuju integrasi bangsa "Unity in Diversity" dapat disponsori melalui program-program yang bersifat instruktif: dengan membangkitkan sentimen sejarah yang menggelorakan semangat berjuang dari bangsa yang terjajah menuju bangsa yang maju, dengan ekspose dimensi sosio-kultural tentang kekayaan budaya nusantara yang biasanya ditampilkan lewat acara pertunjukan kesenian, misalnya dalam program TVRI: dengan membangun media dan transportasi yang menghubungkan daerah yang satu dengan yang lainnya sehingga ada mobilitas penduduk dan informasi: serta dari segi dimensi ekonomi menciptakan keseimbangan ekonomi regional yang saling memiliki ketergantungan agar selain tumbuh lokasi-lokasi pertumbuhan industri yang baru juga bisa dilihat lebih nyata bahwa kualitas kehidupan dan kesejahteraan rakyat ternyata meningkat. 

Namun apa dikata, setelah negara kehilangan sumber-sumber kekayaannya, masyarakat yang dalam proses membangsa ini telah kehilangan pula prakarsanya sendiri dalam mencapai a sense of national belonging menjadi disorientasi dan kembali mencari akar pegangan pada kekuatan primordialismenya masing-masing. Dalam hal ini mereka kembali pada rumah lama, terutama rumah etnisitas, yang dianggapnya masih utuh dan aman sebagai tempat berlindung tatkala tenda bangsa mulai tersobek-sobek, dan banyak orang merasa dibuat tidak jelas lagi  apa yang menyatuhkan kita sebagai sebuah nation.

Agama apa pun, jika dibaca dari segi ajarannya, tentu menekankan pentingnya membangun kedamaian dan menegakkan keadilan. Namun sesungguhnya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana agama sebagai wacana keimanan mampu melakukan pergulatan sejarah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama tetap mempunyai kekuatan provetik untuk mengubah keadaan dan menjadi hidayah bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadilan. 

Kita berharap, dalam kaitan ini, semua kitab suci tidak saja bersenandung tentang pentingnya cita-cita luhur seperti itu, tetapi juga menjadi ruh teologis bagi gerakan yang memihak keadilan sosial, sehingga muncul kekuatan kolektif yang berangkat dari kesadaran bahwa setiap bentuk hegemoni kekuasaan yang ingin melestarikan kekerasan dan ketidakadilan merupakan kemungkaran yang selalu mengancam keutuhan sendi-sendi kemanusiaan. 

Masyarakat Indonesia yang kini masih mengalami sosial-breakdown sesungguhnya membutuhkan panggilan agama yang mampu mengonsolidasikan kembali terkeping-kepingnya rakyat sekarang ini yang sangat lemah untuk memperjuangkan cita-cita kehidupan yang lebih aman dan sejahtera. Persoalannya, apakah agama dalam kualitas panggilan spiritualnya dapat muncul seperti itu, jika pada kenyataannya agama masih lebih sadar tentang identitasnya masing-masing sebagai bendera "suku-suku Tuhan" yang terpisah satu sama lain ?

REINTELEKTUALISASI ISLAM. 

"Keislaman", seperti halnya "kekristenan", atau juga bentuk keberagamaan yang lainnya, tentu maknanya sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Kaum Muslimin, di mana-mana, termasuk di Indonesia, akan selalu menafsirkan kembali "keislaman" tersebut, sesuai dengan perjumpaan kultural, sosial, dan politiknya masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun