Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena ini seakan mengatakan pada publik bahwa biarpun kita sepaham negara ini tetap berbentuk kesatuan dan berasaskan kebangsaan, tapi karena penduduknya mayoritas muslim, mengapa NKRI ini tidak berbaju syariah?. Dan, apa salahnya kalau wilayah-wilayah kota dan kabupaten yang zona penduduknya memang berbasis Islam juga menerapkan perda-perda syariah?. Toh, mekanismenya mengikuti prosedur demokrasi yang berlaku di negeri ini.

Memang, pelaksanaan syariah belum tentu berujung pada berubahnya NKRI menjadi sebuah negara Islam. Tetapi dalam negara kebangsaan yang memilih demokrasi (bukan "syurokrasi") ini, tentu saja lahirnya undang-undang atau peraturan daerah yang bersifat diskriminatif dengan delik agama tertentu pasti akan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan NKRI. Hal yang bersifat diskriminatif ini telah kita rasakan, misalnya sejak negara membuat undang-undang yang mengatur perkawinan, sehingga menyulitkan warga negaranya sendiri yang realitas objektifnya sungguh majemuk. 

Atau, undang-undang Sisdiknas atau juga aturan negara tentang pendirian rumah ibadah di mana negara ikut campur terlalu jauh di luar domain politiknya. Kalau hal-hal seperti ini tidak disikapi secara tegas (khususnya oleh kalangan Islam sendiri sebagai penghuni terbesar dari rumah bangsa ini), kita  khawatir pengalaman pahit di zaman politik aliran akan terulang kembali. 

Sebab, Islam bukannya menyumbangkan dialog yang kontributif terhadap proses berbangsa di masa depan, namun lagi-lagi memaksakan benderanya di masa depan, namun lagi-lagi memaksakan benderanya sendiri sebagai identifikasi "me-lain-kan orang" lain (otherness), termasuk kepada umat Islam sendiri yang membela paham kebangsaan dan memilih sistem demokrasi sebagai pilihan hidup bersama dengan orang lain.

Oleh karena itu, demokrasi tidak akan banyak bermanfaat untuk mengembalikan harga diri dan martabat bangsa, sekiranya yang dilaksanakan hanya prosedur, tanpa dibarengi dengan munculnya keinginan untuk "mimpi bersama" sebagai a new nation within a new culture. Dan hal ini tidak mungkin tumbuh kalau proses demokratisasi berjalan secara pragmatik, tanpa lahirnya kultur demokrasi (bukan sekadar maraknya struktur kepartaian yang kehilangan orientasi ideologis dan gampang pecah karena soal sepele). Apalagi kalau demokrasi tidak mengindahkan soal yang lebih mendasar, yaitu tentang a more just distribution of national wealth. Persoalan struktur basis ekonomi ini menjadi persoalan utama yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh dalam rangka mengutuhkan kembali "rumah bangsa" yang mulai rapuh sendi-sendinya. 

Sebab, harus diingat bahwa dalam era pasar global sekarang ini tidak ada bangsa yang bisa lari dari proses menggabungkan diri dengan "the universal high culture of industrialization". Bahkan, boleh dibilang sekarang ini semua pencarian bentuk dari model kehidupan dalam perebutan ruang sosial yang baru dan munculnya jenis kekuasaan haruslah ditransformasikan dari ideologi ke hegemoni kapital.

Jika demikian, maka tidak mungkin kita dapat menjaga pilar kebangsaan, misalnya dengan berharap lewat pendidikan (termasuk dalam arti seluas-luasnya memberikan pendidikan citizenship) saja sebagai mekanisme untuk menyatukan budaya-budaya suku bangsa menuju homogenitas budaya bangsa yang baru untuk mentransendensikan kesadaran agama dan ethnolocal nationalism, atau sekedar memanfaatkan penyebaran media untuk alat membangun bangsa sebagai komunitas imajinatif.

Oleh karena itu, demokrasi kita harus memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi cita-cita keadilan. 

Demokrasi mencari dan menggalang kekuatan untuk mencapai konsensus politik, bagaimana agar lapangan kerja untuk mencapai konsensus politik, bagaimana agar lapangan kerja untuk rakyat lebih terbuka luas agar anak-anak bangsa mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, dan agar terjadi perluasan infra-struktur sehingga daerah-daerah bisa berkembang secara bersama-sama. 

Bukan sekedar demokrasi yang mengandalkan kebebasan, yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dengan kata lain, demokrasi tidak sesederhana sebagai prosedural dan bukan sekedar jadwal kegiatan karnaval-karnaval politik nasional. 

Demokrasi adalah alat politik untuk menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial tersebut, sebab inti yang paling inti di dalam cita-cita demokrasi adalah agar terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan agar selain cara-cara kekerasan dalam mengambil keputusan bisa dihindari, lebih penting dari itu dimaksudkan agar solidaritas tetap hidup dan terjaga sebagai moral dan etis kehidupan sosial secara bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun