Mohon tunggu...
Petrus NaekBresman
Petrus NaekBresman Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar Bidang Ilmu Agama/Teologia Agama-agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafsir Transformatif Kitab Suci

10 Maret 2023   23:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   00:01 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh dalam merekonstruksi kembali Indonesia sebagai rumah bangsa (apalagi setelah lebih sewindu era reformasi) adalah bagaimana mendudukkan kembali hubungan antara agama dan negara. 

Ini juga masalah mendasar yang harus dibuka kembali sebagai wacana bangsa yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan tentang desentralisasi kekuasaan, menyangkut hubungan antara "pusat" dan "daerah" yang sekarang dituangkan dalam kebijakan otonomi daerah. Sejak merdeka, karena negara hanya mengakui lima agama secara resmi, maka nasib "agama suku-suku bangsa", terutama mereka yang berasal dari suku kecil di pegunungan, sungguh memprihatinkan. 

Di samping itu dari sejarah kemerdekaan mereka memang dianggap tidak memiliki "hero", mereka juga diharuskan berafiliasi dengan lima agama resmi yang diakui oleh negara. Agama suku-suku bangsa dengan adatnya masing-masing memang sejarahnya selalu menjadi objek penaklukan, mulai dari tatkala agama besar datang mereka harus melakukan konversi atas desakan kekuasaan politik, sampai datang nasionalisme dan modernitas. Akhirnya, mereka dianggap sebagai suku terasing yang harus dimukimkan agar merasa menjadi warga negara, sekaligus oleh agama-agama besar ini mereka juga dipandang sebagai orang primitif yang harus disivilisasikan (civilized).

Sedikit terobosan yang barangkali pantas dicatat adalah apa yang pernah dilakukan di zaman pemerintahan Gus Dur. Saat itu ada usulan pengakuan negara terhadap Khong Hu Cu sebagai agama. Mungkin karena kelompok pengikutnya mempunyai suara dan desakan politik yang signifikan di pusat. Namun tidak begitu yang terjadi dengan agama suku bangsa yang lain, misalnya Kaharingan bagi orang Dayak. 

Lebih dari soal perlunya meninjau kembali politik kebudayaan nasional yang multi-etnik dalam rangka multikulturalisme, kembali perihal mendudukkan hubungan agama dan negara, saya kira kita tidak boleh ragu menjawab munculnya kekuatan baru theo-politik yang sekarang mulai merebak (misalnya dengan upaya menjadikan NKRI berjubah syariah, atau munculnya perda-perda dengan delik agama) sehingga perlu menegaskan kembali bahwa negara Indonesia secara konstitusional menganut demokrasi dan paham kebangsaan. 

Dengan demikian, tidak boleh ada undang-undang atau peraturan daerah yang lahir dan hanya berlaku untuk sebagian atau kelompok masyarakat tertentu secara terpisah karena ini berarti terjadi perlakuan diskriminatif.

Jika sudah terlanjur ada undang-undang atau peraturan yang telah ditetapkan, maka negara harus meninjau kembali dan segera dibatalkan. Kalau tidak ada prinsip dasar yang tegas seperti ini, dikhawatirkan akan selalu terjadi upaya menggunakan negara secara manipulatif dalam rangka enforcement kesadaran communalism (dari mana pun asalnya) yang tidak sehat bagi penumbuhan iklim demokrasi dan cita-cita kebangsaan. 

Sudah saatnya kita memisahkan secara kultural antara domain agama dan negara. Dengan begitu, agama, sebagai kekuatan moral korektif dan sebagai kesadaran kolektif, menegakkan al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahy 'an al-munkar akan lebih otonom dari kekuasaan politik yang cenderung korup, sekaligus mampu menyumbangkan kekuatan dakwahnya dalam membangun etos dan etika masyarakat berperadaban untuk kemajuan bangsa di masa depan.

Masalah berikut yang perlu dibenahi dalam era sekarang adalah soal pendidikan. Secara pedagogis, sesungguhnya seluruh pengertian pendidikan nasional selama ini hanya ditekankan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah. Sedangkan tujuan pendidikan sebagai proses a cultural reproduction yang sekaligus memiliki implikasi politik sebagai a sosial reform of the nation sering kali dilupakan. 

Contohnya, dalam kurikulum sekolah sangat miskin pelajaran yang berorientasi pada civic education, penanaman sikap toleran terhadap multikulturalisme, dan budi pekerti untuk membangun karakter humanis. Belum lagi program-program pendidikan nasional untuk orang dewasa yang biasanya hanya dimaksudkan sebagai upaya memberikan keterampilan untuk mencari nafkah sebagai life skill tambahan. Ini membuat pendidikan kehilangan makna pedagogisnya yang mendasar sebagai proses pembelajaran untuk mencari kemanusiaan manusia Indonesia sepanjang usianya dan dalam bingkai makna kebudayaannya sendiri.

Dalam konteks kebangsaan ini, seharusnya pendidikan menjadi arena mencari kesadaran baru yang lebih luas daripada sekedar menempatkan peserta pembelajarannya untuk mengkonsumsi ilmu pengetahuan dengan ukuran evaluasi hasil belajar mengajar dengan mengikuti standar tertentu. Sebab, menumbuhkan kesadaran kritis (self-critical reflextive)  sebagai warga negara dan bangsa dalam era global yang fleksibel terhadap tuntutan multiple-identities sangatlah diperlukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun