Usi mulai mempersiapkan alat dan bahan untuk meramu, salon ternyata penuh dengan ramuan. Banyak tujuan, entah penuaan dini atau pencukuran rambut. Beragam. Aku keheranan.
      "Kau coba saja, siapa tahu menjadi tertarik. Semua diupayakan di sini untuk merawat tubuh. Awalnya, memang akan terasa aneh. Tapi, ketika sudah bertemu yang sesuai. Akan ada rasa nikmat. Selain itu, perawatan ini menjadi cara merawat riasan leluhur. Roh jahat menjadi takut dengan perawatan ini, tapi bisa juga turut merawat dengan semua yang ada di salon. Makanya, kau harus hati-hati. Amati dan pelajari, semua ada gunanya,"
      Aku hanya mengangguk dan mencoba meraih bacaan koran lama yang entah sejak kapan ada di sana. Namun, waktu bagiku terasa lama. Sejenak aku melihat buku, bosan datang. Aku berjalan berkeliling, nampak banyak perempuan. Mereka memanjakan dirinya, kata Usi itu menjadi bagian dari relasi dengan leluhur. Kalau terlambat, leluhur bisa marah dan roh jahat bisa menyerang kapan saja.
      "Sebisa mungkin, jaga matamu. Jangan sampai terlihat kuno, ini tempat untuk kontemplasi dan menjalin relasi," imbau Usi.
      "Jadi, kau bisa merasakan kehidupan dirawat tanpa kecemasan akan cicilan dan hari esok. Bisa saja, dalam diam mereka menjadi sapaan akan masa depan. Mereka memberi ruang pada misteri, karya riasan leluhur dapat menjelma menjadi apa saja. Damai sejahtera dapat dibawa kemana saja setelah dari salon ini. Karena itu, rawatan riasan leluhur itu merupakan perbuatan baik yang tidak bisa terlambat, untuk ke salon ini,"
      Aku mencoba saran Usi. Benar saja. Aku mulai menikmati, ada inspirasi dalam tatapan dengan mereka. Tapi yang lebih mencengangkan, aku melihat daftar harga yang harus dibayar setelah merawat diri di tempat ini. Itu menuntun diriku untuk segera keluar dan berjumpa dengan duniaku sendiri, bersama burung.
      "Kau jangan kaget melihat daftar harga itu," ungkap Usi tersenyum. "Itu sebuah rasa cinta, uang tidak lagi bermakna. Semua butuh cinta,"
      "Semua butuh cinta?"
      "Itu adalah harapan yang menghidupkan setiap riasan leluhur," lanjut Usi.
      "Kepekaan hatimu perlu dilatih, untuk menjaga riasan leluhur hingga tempat ini menjadi tempat berdoa ternyaman sebelum berjuang dalam kerasnya tuntutan kehidupan. Dengan cinta dan tatapan harapan akan hidup, itu memunculkan beragam rasa peduli."
      Setelah semua beres, Usi segera menuju tempat dimana perempuan duduk menghadap layar kotak. Mereka sesekali melemparkan senyuman. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Dan sekali lagi, Usi menyemprotkan minyak wangi di sekujur tubuhnya sebelum berkeliling. Sebuah harapan muncul, riasan leluhur sudah terawat dengan baik. Aku melihat ada senyum, tapi bukan senyum Usi. Senyum itu manis sekali, ada tepat di atas Usi. Kadang nampak, kadang menghilang.