Cerpen Yudha Adi Putra
"Harinya sudah tiba, kau harus segera mempersiapkan diri," ungkap Usi dalam sapaannya.
      "Apa ? Segera aku harus istirahat, aku tidak akan melakukannya," jawabku kesal.
      Aneh, ketika menjelang kelulusanku, aku malah mendapatkan sesuatu yang rumit. Padahal, sebagai salah satu orang tertua di keluarga ada tanggung jawab dalam kehidupanku. Bukan untuk pesta dan senang saja, untuk mempersiapkan masa depan keluarga. Persis seperti lelaki pada umumnya aku juga berharap bisa seperti itu.
      Sore hari, Usi mengajakku keliling Mlati, katanya mempersiapkan bahan yang diperlukan sebuah ritual. Suasana hujan menambah rasa malasku, tapi aku enggan membuat masalah. Tidak mau menuruti Usi, petaka siap aku terima. Bentuknya bisa apa saja, entah banku bocor, dompetku jatuh, bisa juga semalaman aku menjadi gatal-gatal. Dalam perjalanan, Usi nampak jeli melihat suatu tempat dan percakapan dengan perbandingan diungkapkannya.
      "Tempat ini tidak ramah, memang murah. Tapi, alatnya kuno dan kadang kotor," ujar Usi.
      "Kita ke tempat lain saja, kau masih punya bensin?" lanjutnya.
      Aku hanya mengangguk saja. Kami melanjutkan perjalanan, berkeliling menuju arah Godean, mencari suatu tempat. Perjalanan diisi dengan omelan Usi, aku tak paham. Hanya mengangguk dan mengiyakan saja. Selain itu, Usi benar-benar memakai semua inderanya untuk memilih tempat. Kejeliannya nampak melihat daftar layanan dan harga, belum benda-benda yang nampak asing bagiku. Ketelitian itu sesekali mencurigakan penjaga parkir dan satpam, karena Usi kadang sampai memfoto tempat yang kami kunjungi, sebelum akhirnya memilih untuk pindah ke tempat lain.
      Dengan pertimbangannya yang beragam, Usi sesolah memastikan apakah tempat yang akan digunakan itu bebas roh jahat atau tidak. Memang, hanya dengan berdiam sejenak lalu melihar sekeliling, Usi bisa merasakan roh itu. Jika tak ada wanita keluar dan kepulan asap memenuhi tempat itu, Usi segera mengucapkan rapalan doa untuk roh. Roh ada di berbagai tempat, sebelum akhirnya Usi mengajaknya berbicara.
      "Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri," desis Usis seraya membuka kitab kecil warna biru.
      Satpam dan orang berkain yang mendengarkan ucapan Usi itu segera mendekat. Mereka menjadi ingin tahu, apa lanjutan dari ucapan Usi. Seolah menjadi kabar sukacita, ucapan Usi itu membuat kumpulan orang dengan tujuan beragam. Sementara bagi pemilik tempat, tampak Usi dengan ucapan-ucapan aneh menjadi lebih mirip orang minta sumbangan daripada mau datang, segera ikut mendekat juga.
      "Sebenarnya kau ingin perawatan atau apa ? Mungkin perawatanmu tidak di sini ! Pergilah, kau membuat perkumpulan dan menganggu," pekik pemilik tempat.
      "Maaf, sebentar saja," Usi mulai merasa tidak nyaman. "Saya hanya melihat dan membawa sedikit kabar sukacita.
      Percakapan Usi dan perempuan berkain akhirnya membuat satpam mulai resah. Perhatian orang banyak mulai tertuju pada mereka. Dengan tidak hormat, Usi dan aku diusir supaya meninggalkan tempat itu.
      "Bisa tidak kita segera ke tempat penjual burung. Kalau begini caranya, aku juga malu. Kau membuat orang lain gelisah. Datang dengan cara wajar saja," gumamku kepada Usi.
      "Banyak dari mereka mengira kita orang gila dan menganggu,"
      "Sudah. Ayo pergi saja. Jangan pedulikan ucapan mereka," kata Usi.
      "Aku mencoba tanya lebih detail. Siapa tahu, mereka juga tertarik dengan tulisan bernada manis. Ini semua demi kebaikan keluarga juga. Kau harus tahu, leluhur memiliki pertimbangan baik soal hal seperti ini. Persembunyian roh jahat bisa menganggu kelancaran, makanya aku pastikan terlebih dahulu, tidak hanya bertanya. Semacam mengenali dengan kasih. Itu bermanfaat supaya tidak mudah kecewa, tidak banyak berharap karena sudah tahu."
      Aku mendengarkan seluruh ucapan Usi mengenai pembenaran akan perbuatannya. Karena malas bertemu masalah, aku hanya diam dan sesekali tersenyum. Hanya saja, aku masih bingung apa pentingnya semua yang dicari Usi itu. Mengenai perawatan entah apa namanya. Aku bahkan heran, kenapa dia sampai mendamba tempat-tempat aneh ini. Pandangan Usi untuk memperhatikan roh jahat juga membuat anggapan lain dariku. Aku beranggapan, tempat yang ditujunya harus benar-benar suci, setidaknya untuk Usi.
      "Sejak kapan ada tempat seperti itu ? Memangnya ada kondisi yang begitu nyaman seperti perkataanmu ?" tanyaku.
      Usi hanya mengerling dengan senyum penuh rahasia. Tapi dari sorot matanya, aku melihat ia begitu mendamba tempat itu, entah tempatnya atau suasananya. Mungkin bisa juga, orang yang berada di sana. Ketika dalam perjalanan, dugaanku ada benarnya. Usi mulai bercerita soal riasan penyelamat.
      "Kau tahu, dahulu tempat seperti yang kita cari ini adalah kunjungan wajib bagiku. Bahkan, ketika sakit bukan obat yang bisa membuatku sembuh. Tapi, sebuah tatap dan harap. Itu bisa menyelamatkan, apa kau percaya itu?" Usi mengingatkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan salon.
      "Salon inilah yang menyelamatkanmu,"
      Dahulu, uangku memang tidak banyak. Itu menyiksa sekali dan aku hampir tidak percaya kalau Usi membantuku. Uang banyak didapatnya dari tempat bernama salon itu. Obat dan tulisan yang biasa membuatku senang bahkan tidak berdaya dihadapkan sakitku, hingga Usi menawariku sebuah perjalanan, dimana ada kurungan burung di samping salon.
      Selain mengisahkan peristiwa masa lampau, Usi juga menceritakan sesuatu yang terjadi pada Om Hans. Om Hans sering merasa kesal dan marah, alasannya beragam. Tapi alasan marah sering tidak masuk akal. Karena hampir setiap hari, ada saja kejadian menyebalkan, seluruh orang menjadi jengkel sendiri. Om Hans juga membuat kisah dan perilakunya berlebihan, menurut Usi. Menariknya, ketika bertemu dengan tempat bernama salon itu. Om Hans ada harapan sukacita, membantu kematian terjadi lebih nikmat. Setidaknya, kelamnya kematian tidak menjadi kerepotan bagi pencari harapan lain. Om Hans menjadi bersemangat kembali dan harapan selalu muncul dalam peristiwa kematian.
      "Apa yang terjadi padamu dan Om Hans dalam masa lampau itu, sebenarnya bukan hal biasa. Itu ada sebagai gejala kemarahan leluhur. Serangan roh jahat bisa tiba ketika terlambat ke tempat ini, bukan salon biasa. Ini bagian dari ritual merawat riasan leluhur. Jadi, setelah kami bisa pergi ke tempat yang sesuai, roh jahat dan leluhur itu mau merawat kalian," jelas Usi kepadaku.
      "Tapi tidak hanya itu saja, pergi ke salon yang sesuai bisa menambah sukacita. Kesesuaian ini terus diperjuangakan. Ada kepedulian untuk berkunjung secara rutin. Kau harus tahu, berkunjung ke salon bisa memberikan umur panjang dan pujian pada riasan leluhur. Itu bentuk bakti kita,"
      "Bentuk bakti dan umur panjang serta ketentraman?" tanyaku heran/
      "Lalu, menurutmu mengapa Om Hans bisa berbagi sukacita sampai sekarang dan Emon bertambah kawan seperti dirimu?" lanjut Usi dengan wajah serius.
      "Itu ada alasannya. Karena Om Hans menyisihkan harapan untuk istrinya ke tempat bernama salon itu. Tidak dengan keluhan. Tapi sebagai bakti akan riasan leluhur yang memungkinkan banyak keberuntungan,"
      "Itu aneh. Bukan seperti itu juga, apa benar itu dapat digunakan untuk mengukur?" aku mulai berusaha menyanggah.
      "Memang, kau ada benarnya. Tapi apa salahnya mencari alternatif?" tambah Usi untuk mempertajam percakapannya.
      "Hanya saja, ada yang berbeda dari setiap salon. Salon itu menjadi jelmaan doa dan sapaan pada leluhur. Kalau salah, ada saja roh jahat yang menjadi gangguan ketika menuju ke salon. Salon juga bisa dipenuhi dengan roh jahat. Angker, bukan hanya tempatnya. Bisa orangnya juga,"
      Aku tidak peduli sebenarnya, cerita soal salon dari Usi. Aku juga mulai berpikir ada kemungkinan lain, tapi bukan karena salon. Usi dan Nasi bisa saja berjuang karena alasan lain dan kebahagiaan bisa hadir dengan sendirinya, tanpa adanya salon. Karena bagiku, mungkin salon menjadi cara merawat diri hingga sukacita datang. Itu alasan penting, sukacita membawa banyak keberuntungan selanjutnya, terutama karena dimulai dengan senyuman.
      Tapi, sepertinya Usi merasa belum puas terhadap apa yang diceritakannya. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu yang amat tidak bisa dimengerti oleh lelaki sepertiku. Apalagi, lelaki yang mulai menuju usia tiga puluh tahun.
      "Jadi, karena umurmu sudah mau tiga puluh tahun, cukup dewasa seharusnya," tegas Usi. "Aku harus mengajakmu ke tempat itu, salon yang tepat. Untuk melihat dan belajar. Riasan leluhur itu nyata, kau harus belajar menunggu setidaknya.
      "Terserah, aku mulai lelah berkeliling sebenarnya," aku mengangkat kedua bahuku.
      "Kau sudah lapar lagi ?" tanya Usi.
      "Pasti,"
      Aku menahan lapar sebenarnya, belum lagi menahan sabar akan cerita ini. Soal mengisi hari dengan berkeliling mencari tempat, bernama salon. Sudah sekian salon, munculnya hanya bualan saja. Soal roh jahat, leluhur, dan kemungkinan kemarahan mereka.
      Setelah memilih dengan tepat dan sesuai melalui pertimbangan Usi, aku istirahat. Usi mendapatkan salon sesuai keinginannya. Ternyata, itu membuatku harus turut masuk jugat. Sesampai di salon, Usi langsung masuk dan menutup pintu. Semua ruangan di salon itu, seolah sudah pernah dijamahnya. Usi meminta pada seorang perempuan untuk menyediakan kursi untukku, ia tidak mau aku berdiri. Semua sudah siap, Usi beranggapan leluhur bisa marah kalau tempat ini tidak dikunjungi dalam seminggu ke depan. Menyadari perangai Usi ini, aku lantas menjadi teringat banyak larangan dalam hidupku, termasuk laki-laki masuk salon. Itu tidak baik, salon untuk perempuan. Nanti, bisa dikira banci kalau masuk salon. Makanya, ajakan Usi untuk menemui leluhur di salon itu, menjadi sebuah tantangan bagiku.
      "Roh jahat bisa membuat anak laki-laki senang ke tempat ini," kata Usi. "Kau bisa melihat beberapa temanmu, mereka menghubungi perempuan dan meminta merubah kelamin mereka. Entah berapa rupiah dalam sejam. Jadi, lebih baik kau belajar atau menulis saja. Tempat ini berbahaya, terutama untuk orang tidak punya uang seperti dirimu,"
      Kalau sudah begitu, aku memohon awalanya supaya boleh masuk. Tapi, ketakutan kelaminku diubah menjadi pertimbangan. Entah, mungki karena sudah tua, sekarang pandangannya menjadi berbeda. Uang dan uang lebih terasa.
      Usi mulai mempersiapkan alat dan bahan untuk meramu, salon ternyata penuh dengan ramuan. Banyak tujuan, entah penuaan dini atau pencukuran rambut. Beragam. Aku keheranan.
      "Kau coba saja, siapa tahu menjadi tertarik. Semua diupayakan di sini untuk merawat tubuh. Awalnya, memang akan terasa aneh. Tapi, ketika sudah bertemu yang sesuai. Akan ada rasa nikmat. Selain itu, perawatan ini menjadi cara merawat riasan leluhur. Roh jahat menjadi takut dengan perawatan ini, tapi bisa juga turut merawat dengan semua yang ada di salon. Makanya, kau harus hati-hati. Amati dan pelajari, semua ada gunanya,"
      Aku hanya mengangguk dan mencoba meraih bacaan koran lama yang entah sejak kapan ada di sana. Namun, waktu bagiku terasa lama. Sejenak aku melihat buku, bosan datang. Aku berjalan berkeliling, nampak banyak perempuan. Mereka memanjakan dirinya, kata Usi itu menjadi bagian dari relasi dengan leluhur. Kalau terlambat, leluhur bisa marah dan roh jahat bisa menyerang kapan saja.
      "Sebisa mungkin, jaga matamu. Jangan sampai terlihat kuno, ini tempat untuk kontemplasi dan menjalin relasi," imbau Usi.
      "Jadi, kau bisa merasakan kehidupan dirawat tanpa kecemasan akan cicilan dan hari esok. Bisa saja, dalam diam mereka menjadi sapaan akan masa depan. Mereka memberi ruang pada misteri, karya riasan leluhur dapat menjelma menjadi apa saja. Damai sejahtera dapat dibawa kemana saja setelah dari salon ini. Karena itu, rawatan riasan leluhur itu merupakan perbuatan baik yang tidak bisa terlambat, untuk ke salon ini,"
      Aku mencoba saran Usi. Benar saja. Aku mulai menikmati, ada inspirasi dalam tatapan dengan mereka. Tapi yang lebih mencengangkan, aku melihat daftar harga yang harus dibayar setelah merawat diri di tempat ini. Itu menuntun diriku untuk segera keluar dan berjumpa dengan duniaku sendiri, bersama burung.
      "Kau jangan kaget melihat daftar harga itu," ungkap Usi tersenyum. "Itu sebuah rasa cinta, uang tidak lagi bermakna. Semua butuh cinta,"
      "Semua butuh cinta?"
      "Itu adalah harapan yang menghidupkan setiap riasan leluhur," lanjut Usi.
      "Kepekaan hatimu perlu dilatih, untuk menjaga riasan leluhur hingga tempat ini menjadi tempat berdoa ternyaman sebelum berjuang dalam kerasnya tuntutan kehidupan. Dengan cinta dan tatapan harapan akan hidup, itu memunculkan beragam rasa peduli."
      Setelah semua beres, Usi segera menuju tempat dimana perempuan duduk menghadap layar kotak. Mereka sesekali melemparkan senyuman. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Dan sekali lagi, Usi menyemprotkan minyak wangi di sekujur tubuhnya sebelum berkeliling. Sebuah harapan muncul, riasan leluhur sudah terawat dengan baik. Aku melihat ada senyum, tapi bukan senyum Usi. Senyum itu manis sekali, ada tepat di atas Usi. Kadang nampak, kadang menghilang.
      Dahulu, aku sempat bingung kenapa perempuan harus pergi ke salon, dan mengapa harus ada beragam perawatan aneh itu ? Apalagi waktu yang digunakan bisa berjam-jam dan itu menyebalkan sekali. Tidak ada tempat bagi laki-laki di salon dan kalau ada pasti penuh dengan keluhan. Aku ketika itu tidak bisa menyadarinya. Tapi untungnya, Usi menjelaskan dengan sabar bahwa dalam tempat itu ada ruang harapan dan dambaan.
      "Kita harus terus melanjutkan perawatan, riasan terhadap diri kita juga menjadi bagian dalam prosesi merawat riasan leluhur" kata Usi menyela lamunanku.
      "Rawatan memunculkan banyak kepedulian hingga masa kini, bisa dirasakan banyak pihak, termasuk untuk semesta."
      Malam itu, laparku pada puncaknya. Apalagi, setelah menikmati prosesi masuk salon dan cerita menyebalkan lainnya. Secara spontan, ternyata riasan leluhur memang terjadi dalam salon. Ketepatan memilih salon, akan mempermudah riasan leluhur itu. Roh jahat tak akan menganggu. Usi kemudian mengajak ke warung pecel lele, tepat untuk merawat leluhur. Tapi, dalam riasan berbeda akan harapan hidup sehat.
      Demikianlah, lalapan dan gurihnya lele bakar menjadi pemaknaan akan merawat kelaparan setelah pergi ke salon. Termasuk, riasan leluhur yang akan dirawat dengan pergi ke salon.
                                    Konsisturi GKJ Rewulu, 23 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H