Mohon tunggu...
Bayu Segara
Bayu Segara Mohon Tunggu... Administrasi - Lihat di bawah.

Penulis saat ini tinggal di Garut. 0852-1379-5857 adalah nomor yang bisa dihubungi. Pernah bekerja di berbagai perusahaan dengan spesialis dibidang Layanan & Garansi. Sangat diharapkan jika ada tawaran kerja terkait bidang tersebut . Kunjungi juga blog saya di: https://bundelanilmu.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Papah, Apakah Engkau Ayahku

21 Maret 2011   13:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:35 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali, kami diam. Aku menunggu ayahku menanyakan keadaanku, menanyakan aku kerja dimana, kapan pulang atau pertanyaan apa saja layaknya seorang ayah kepada anaknya. Apalagi kami selama ini tidak pernah dekat. Bertahun-tahun, aku ditinggalkan bersama ibuku, tak pernah dia memperhatikan hidup apalagi memberi nafkah kepada anaknya, yaitu aku.

"Ayo diminum", ucapnya.

"Iyah"

Apakah hanya itu saja yang bisa engkau ucapkan ayah. Apakah kau tidak rindu padaku, apakah aku ini anakmu, apakah kita orang asing dan apakah-apakah lainnya bergelayut dalam pikiranku. Hingga setengah jam berlalu, kebisuan ini membuatku bosan, membuatku muak dan ingin menyudahinya.

"Pah, aku pamit", ucapku.

"Oh gituh. Mah, mau pamit nih", jawabnya. Tak ada namaku disebut dan aku tidak ditahannya untuk cepat-cepat pulang. Ingin rasanya aku berteriak dengan keadaan ini, mengapa bisa terjadi seperti ini.

Akhirnya aku keluar dari rumahnya dengan kesedihan yang tak terucap. Kututup pintu pagar itu sambil melangkah ke jalan. Tiba-tiba lewat motor dengan pengendara yang terdiri dari bapak-bapak di depan, anak kecil di tengah dan seorang ibu-ibu di belakang. Sepertinya mereka adalah keluarga. Tampak mereka tertawa-tawa sambil bercanda, terdengar hangat sekali. Suasana yang sangat kurindukan selama 15 tahun ini.

Tak terasa air mata mengalir di sudut mata berkaca-kaca.

"Lihat Pah, itu mereka. Itu keluarga yang kuinginkan. Biarlah kau tidak mengurus hidupku selama bertahun-tahun. Biarlah kau tidak tahu ketika aku sakit, kepayahan, menangis dan berjuang sendirian. Biarlah itu kesalahanmu di masa lalu aku sudah memaafkanmu. Namun, saat ini aku ada di sini, di rumahmu. Mencari kehangatan yang tak kau berikan selama itu, tak kau berikan juga kepadaku walau setitik. Pah, apakah engkau ayahku", tangisku dalam batin.

Duhai Engkau yang mempunyai lara.
Tidakkah engkau memberikanku bahagia
Hanya setitik yang aku butuhkan
Agar kosongnya hati ini sirna

Kau berikan aku kekuatan
Untuk menghadapi lara musim ini
Namun mengapa musim duka ini selalu datang
Tidakkah kau berikanku musim bahagia walau hanya sekali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun