Lebaran ini, seperti lebaran yang lalu, kampungku mendadak ramai. Berbondong-bondong orang kembali ke kampung halamannya setelah lama tinggal di negeri asing. Banyak orang berkumpul baik di rumah-rumah, warung-warung atau di tempat biasa kami duduk-duduk ngobrol di pinggir jalan yang membelah desa. Bersenda gurau, melepas kangen dengan saudara, teman atau bekas tetangga adalah pemandangan biasa jika sore hari datang.
Rumah-rumah penduduk tampak terlihat.lebih hangat daripada biasanya. Kehangatan itu timbul karena penghuninya telah lengkap lagi, pulang kembali ke rumah setelah sekian lama tinggal di perantauan. Terdengar gelak tawa atau pecahnya tangisan adalah hiburan yang dinanti oleh rumah yang dulu sepi
Aku….Seperti mereka juga kembali ke tanah kelahiran. Berharap bersuka ria dengan saudara yang kukangeni, kebetulan ibuku tidak ikut pulang kampung. Namun, harapan tinggal harapan, tak ada sanak saudaraku yang menyambut kepulanganku. Dalam obrolan basa-basi, kurasakan dinginnya sikap mereka.
*****
Hari itu tiba, lebaran yang ditunggu telah datang. Semua berkumpul di rumahnya masing-masing, tertawa dan bertangisan bahagia. Memainkan segala sandiwara cinta diantara mereka. Tampak manusia berseliweran, ada yang pergi ke rumah tetangga untuk bersalam-salaman sambil mohon maaf atas segala kesalahan atau adapula yang pegi ke kampung lain untuk berkunjung ke saudara yang nun jauh disana demi silaturahmi.
Kulangkahkan kakiku ke rumah itu, rumah nenekku, di teras depan rumahnya kududuk. Tak ada uluran hangatnya tangan dari penghuni rumah yang menyuruh masuk ke dalam. Terasa hambar, penerimaan mereka, jiwa ini bisa merasakannya. Akupun melangkahkan kaki lagi, menuju rumah saudara yang lain. Sama, hanyalah kekosongan yang aku dapatkan dari sikap mereka.
Hingga akhirnya ku terduduk di pinggiran rel kereta api, sendiri, sepi. Merenung, kenapa ini harus terjadi, bukankah lebaran itu semua orang berkumpul dengan keluarganya. Mengapa aku tidak? Lama kesendirian ini kunikmati. Terkadang, jika kereta lewat, ada kesenangan yang mengaliri pikiranku. Ah, mereka juga seperti aku, masih dalam kesendirian di kereta api menuju keluarganya untuk pulang.
*****
5 tahun berlalu.
"Kamu sudah ke rumah Bapakmu belum?", tanya kakak misanku ketika kami duduk mengobrol di ruang tengah rumahnya.
"Belum", jawabku datar.
"Kesana dulu", suaranya mengandung ketegasan memerintah.
"Nanti saja", ucapku acuh tak acuh.
"Tidak, kamu harus ke sana. Nanti kamu bisa balik lagi ke sini, kalau perlu nginap disini"
"Nantilah"
"Tidak, Teteh tidak mau kamu begitu. Ayo sana berangkat", kali ini suaranya meninggi.
"Baiklah", rungutku sambil bangun dari kursi dan melangkah keluar.
Rumah Ayahku jaraknya kurang lebih 300 meter dari rumah kakak misan. Terhalang oleh lima rumah dan sawah yang terletak di jalan besar tepatnya. Rumah tersebut terlihat sepi ketika aku tiba di depan pagar rumahnya. Kubuka pagar rumah itu dan melangkah ke teras.
Tampak di dalam rumah Ibu tiriku sedang menonton televisi.
"Ah, untung ada orang", gumamku dalam batin.
"Assalamualaikum", ucapku sambil mengetuk pintu.
"Wa alaikum salam", jawab Ibu tiriku dari dalam rumah. Kulihat dia melangkahkan kakinya ke ruangan tamu, kemudian membuka pintu. Tampak wajah kaget yang timbul di raut mukanya.
"Oh, nyari Papah yah. Sebentar saya panggilkan, beliau ada di kamar, silahkan duduk dulu", ucapnya datar.
"Terimakasih", jawab saya sambil duduk.
Tak lama kemudian ayahku muncul dari dalam kamar. Tampak wajah yang dipenuhi oleh garis-garis tua dan kerutan di sekeliling matanya. Kemudian dia duduk di hadapanku tanpa sepatah katapun.
"Minal aidzin wal faidzin, Pah", ucapku sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman sambil membungkukkan tangan.
"Sama-sama", jawab ayahku sambil menerima uluran tanganku dingin.
"Mah, air", ucapnya ketika sudah duduk di kursi, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian Ibu Tiriku datang membawa air dan kue lebaran dan serta meletakannya di meja. Setelah itu dia berlalu dari hadapan kami, kembali asyik dengan acara tivi di ruang tengah.
"Ayo diminum", ucap ayahku. Kembali nada bicaranya datar tanpa ekspresi.
"Terimakasih", jawabku.
Setelah minum air putih yang disuguhkan, akupun merokok. Selama lima menit kami saling berdiam diri, hanya hembusan asap rokok yang saling berpautan mewakili keadaan kami saat itu.
"Gimana kabarnya Pah, baik-baik sajakah?", tanyaku. Kesal dengan kebisuan yang terjadi antara kami.
"Baik", jawabnya. Kembali kuterima sebuah jawaban yang dingin, hingga membuatku kebingungan. Apa yang harus kulakukan agar suasana kaku ini mencair.
Kembali, kami diam. Aku menunggu ayahku menanyakan keadaanku, menanyakan aku kerja dimana, kapan pulang atau pertanyaan apa saja layaknya seorang ayah kepada anaknya. Apalagi kami selama ini tidak pernah dekat. Bertahun-tahun, aku ditinggalkan bersama ibuku, tak pernah dia memperhatikan hidup apalagi memberi nafkah kepada anaknya, yaitu aku.
"Ayo diminum", ucapnya.
"Iyah"
Apakah hanya itu saja yang bisa engkau ucapkan ayah. Apakah kau tidak rindu padaku, apakah aku ini anakmu, apakah kita orang asing dan apakah-apakah lainnya bergelayut dalam pikiranku. Hingga setengah jam berlalu, kebisuan ini membuatku bosan, membuatku muak dan ingin menyudahinya.
"Pah, aku pamit", ucapku.
"Oh gituh. Mah, mau pamit nih", jawabnya. Tak ada namaku disebut dan aku tidak ditahannya untuk cepat-cepat pulang. Ingin rasanya aku berteriak dengan keadaan ini, mengapa bisa terjadi seperti ini.
Akhirnya aku keluar dari rumahnya dengan kesedihan yang tak terucap. Kututup pintu pagar itu sambil melangkah ke jalan. Tiba-tiba lewat motor dengan pengendara yang terdiri dari bapak-bapak di depan, anak kecil di tengah dan seorang ibu-ibu di belakang. Sepertinya mereka adalah keluarga. Tampak mereka tertawa-tawa sambil bercanda, terdengar hangat sekali. Suasana yang sangat kurindukan selama 15 tahun ini.
Tak terasa air mata mengalir di sudut mata berkaca-kaca.
"Lihat Pah, itu mereka. Itu keluarga yang kuinginkan. Biarlah kau tidak mengurus hidupku selama bertahun-tahun. Biarlah kau tidak tahu ketika aku sakit, kepayahan, menangis dan berjuang sendirian. Biarlah itu kesalahanmu di masa lalu aku sudah memaafkanmu. Namun, saat ini aku ada di sini, di rumahmu. Mencari kehangatan yang tak kau berikan selama itu, tak kau berikan juga kepadaku walau setitik. Pah, apakah engkau ayahku", tangisku dalam batin.
Duhai Engkau yang mempunyai lara.
Tidakkah engkau memberikanku bahagia
Hanya setitik yang aku butuhkan
Agar kosongnya hati ini sirna
Kau berikan aku kekuatan
Untuk menghadapi lara musim ini
Namun mengapa musim duka ini selalu datang
Tidakkah kau berikanku musim bahagia walau hanya sekali
Aku ingin pelukannya
Ingin belaian tangannya di kepalaku
Ciuman mesra di keningku
Sambil berucap "Anakku sudah pulang"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H